Monday, 6 June 2016

Sesama Mamalia Jangan Menghina

Kegiatan Dharma  setelah sahur bersama istrinya Yatmi mengikuti  kuliah shubuh. Sepeda tua di parkirkan di bawah pohon suara pembawa acara telah berkumandang yang menandakan acara telah dimulai.
“Bu acara pengajiannya sudah dimulai ternyata”
“Iya pak kok tepat waktu sekali ya, soalnya tadi kita sudah lebih awal jam 5 kurang”
“Ya sudah Bapak mau langsung  ke jamaah laki-laki di depan”
“Ya pak..nanti Ibu langsung ke parkiran ya kalo acaranya sudah selesai”

Pengajian Ramadhan pun dimulai dengan membahas mengenai tauhid. Nada yang tidak sama dengan dialek orang Jawa ternyata Pak Kiai yang memberikan ceramahnya berasal dari Makassar tentunya nada bicaranya tidak sama dengan masyarakat lokal. Merambah masalah kebiasaan masyarakat tentang tahlil dan sholawatan.
“Apa itu kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rosululloh SAW dengan membaca tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari, ngarang bener tuh orang-orang” dengan nada tegasnya berapi-api.
“Sholawatan…sholatuloh salamulloh….ala toha Rosulillah” kemudian dilanjutkannya dengan pernyataan tersebut.

Diantara yang hadir ada salah satu yang bertanya mengenai tahlilan tersebut, Bapak yang sudah berumur sekitar 60 tahunan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

“Seumpama kita sudah tidak melakukan tahlilan di keluarga namun karena dimasyarakat masih ada yang melakukannya dan saya diundang untuk menghadiri acara tersebut maka langkah apa  yang harus dilakukan?”
Pak Kiai tersebut kemudian menjawab “ Ya kalau diundang tidak usah datang. Lagian jika menerima makanan dari acara tersebut maka hukumnya haram karena termasuk juga memakan harta anak yatim”.
Semua hadirin yang datang ikut merasakan suasana yang tegang atas pembahsan pengajian yang kontroversi kebetulan mayoritas masyarakat masih menjunjung tinggi tradisi tahlilan kematian yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun.
Dharma dalam hati kecilnya sangat kecewa atas tema pada pengajian pagi itu. Tema yang sama-sam mempunyai dasar hukum atas pembenaran yang diyakininnya. Apabila hal ini diteruskan yang terjadi hanyalah adu keyakinan merasa paling benar diantara keduanya. Kiai ini sangat tidak bisa memberikan kedamaian serta hikmah setelah melakukan pengajian. Dharma merasakan kurang nyaman atas kebenaran yang dibawanya oleh Pak Kiai  tersebut dan merasa keakuannya hampir mempunyai hak seperti Tuhan menghakimi sesorang atas kebenarannya sendiri.

 ***

Saat kambing tidak melakukan tradisi seperti kerbau
Maka bukan berarti kerbau lebih rendah daripada kambing.
Bukan pula kambing harus menjadi kerbau.

Keduanya telah ditinggalkan penggembalanya
Pencarian jatidiri mereka bersifat usaha untuk kebaikan.
Mempertahankan keyakinannya membentuk jiwa ke-aku-an yang melupakan tujuan pencarian kepada AKU yang sebenarnya.

Berlombalah menjadi kambing yg baik.
Berlombalah menjadi kerbau yg baik.

Agar Tuhan menjadi juri terbaik bagi keduanya.


No comments:

Post a Comment