Kegiatan
Dharma setelah sahur bersama
istrinya Yatmi mengikuti kuliah
shubuh. Sepeda tua di parkirkan di bawah pohon suara pembawa acara telah
berkumandang yang menandakan acara telah dimulai.
“Bu
acara pengajiannya sudah dimulai ternyata”
“Iya
pak kok tepat waktu sekali ya, soalnya tadi kita sudah lebih awal jam 5 kurang”
“Ya
sudah Bapak mau langsung ke
jamaah laki-laki di depan”
“Ya
pak..nanti Ibu langsung ke parkiran ya kalo acaranya sudah selesai”
Pengajian
Ramadhan pun dimulai dengan membahas mengenai tauhid. Nada yang tidak sama
dengan dialek orang Jawa ternyata Pak Kiai yang memberikan ceramahnya berasal
dari Makassar tentunya nada bicaranya tidak sama dengan masyarakat lokal.
Merambah masalah kebiasaan masyarakat tentang tahlil dan sholawatan.
“Apa
itu kebiasaan yang tidak diajarkan oleh Rosululloh SAW dengan membaca tahlil 3
hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari, ngarang
bener tuh orang-orang” dengan
nada tegasnya berapi-api.
“Sholawatan…sholatuloh
salamulloh….ala toha Rosulillah” kemudian dilanjutkannya dengan pernyataan
tersebut.
Diantara
yang hadir ada salah satu yang bertanya mengenai tahlilan tersebut, Bapak yang
sudah berumur sekitar 60 tahunan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
“Seumpama
kita sudah tidak melakukan tahlilan di keluarga namun karena dimasyarakat masih
ada yang melakukannya dan saya diundang untuk menghadiri acara tersebut maka
langkah apa yang harus
dilakukan?”
Pak
Kiai tersebut kemudian menjawab “ Ya kalau diundang tidak usah datang. Lagian
jika menerima makanan dari acara tersebut maka hukumnya haram karena termasuk
juga memakan harta anak yatim”.
Semua
hadirin yang datang ikut merasakan suasana yang tegang atas pembahsan pengajian
yang kontroversi kebetulan mayoritas masyarakat masih menjunjung tinggi tradisi
tahlilan kematian yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun.
Dharma
dalam hati kecilnya sangat kecewa atas tema pada pengajian pagi itu. Tema yang
sama-sam mempunyai dasar hukum atas pembenaran yang diyakininnya. Apabila hal
ini diteruskan yang terjadi hanyalah adu keyakinan merasa paling benar diantara
keduanya. Kiai ini sangat tidak bisa memberikan kedamaian serta hikmah setelah
melakukan pengajian. Dharma merasakan kurang nyaman atas kebenaran yang dibawanya
oleh Pak Kiai tersebut dan
merasa keakuannya hampir mempunyai hak seperti Tuhan menghakimi sesorang atas
kebenarannya sendiri.
***
Saat kambing tidak melakukan
tradisi seperti kerbau
Maka bukan berarti kerbau lebih
rendah daripada kambing.
Bukan pula kambing harus menjadi kerbau.
Bukan pula kambing harus menjadi kerbau.
Keduanya telah ditinggalkan
penggembalanya
Pencarian jatidiri mereka
bersifat usaha untuk kebaikan.
Mempertahankan keyakinannya
membentuk jiwa ke-aku-an yang melupakan tujuan pencarian kepada AKU yang
sebenarnya.
Berlombalah menjadi kambing yg
baik.
Berlombalah menjadi kerbau yg
baik.
Agar Tuhan menjadi juri terbaik
bagi keduanya.
No comments:
Post a Comment