Dharma masih terasa entheng bekerja seperti biasanya suasana
jalanan masih sepi. Terlebih pagi menjelang subuh warung-warung makan belum
buka tapi entah lah jika fajar menyingsing mungkin jalanan ini sibuk dengan
penuhnya parkiran motor melingkupi sekitaran warung. Kicauan suara masyarakat
sekitaran telah reda atas azas keberadaan warung bagai gema disiang hari
memilukan bulan penuh kesucian.
Bagi Dharma semua yang dikicaukan
hanya tanggapan sebuah adegan sandiwara yang nanti melahirkan lakon-lakon
kewayangan bagi negara dongeng yang sesama wayangnya sibuk atas jatidirinya. Tetap
berjalan sesuai koridornya sebagai kepala keluarga Dharma memilih tersenyum
sehat bagi Angger anak semata wayang harapan besar kelak dihari tua. Udara
Ramadhan pun seakan berganti menyambut lebaran bulan yang penuh maaf.
Sepeda bututnya dipegangi berjalan
diantara barang dagangan dibelakang sebuah anyaman bambu besar disamping kanan
dan kirinya. Mata sayup terlalu dini untuk mengalah dengan ego membara. Hasratnya
menjadi petuah bagi Angger yang masih ingin melihat bapak tersenyum menghadap
sang fajar. Langkahnya memayung dari menghadapi keputusasaan hidup, mengeluhpun
bukan alasan utama untuk selalu berjuang demi sebuah kewajaran hidup nya tak
mengatakan tertatih bahkan merintih. Asa
terus diperbaharui mengalahkan untuk tunduk dari kemanjaan yang dinamakan
kesusahan.
Setengah jam berlalu berkayuh diatas
sepeda, Dharma terhenti di perempatan jalan kios penjaja burung kicauan.
Gantungan kotak terpasang di teras kios menjadi pusat pandangan kicau mania
sekedar bertegur sapa melihat kemolekan burung serta ketangguhan paruhnya
menyuarakan kelantangan. Rohman seakan tau rezekinya datang seiring pintu
kiosnya dibuka disaat itu pula Dharma datang melihat keasyikan memanjakan
burung dengan sebidang kolam kecil yang terbuat dari plastik kemudian kedua
sayapnya mengepakan kegirangan. Mangkok kecil berisikan jamu bagi burung agar tetap
menjadi kebanggaan kejuaraan hidup yang terus menjadi label dan burung menjadi
wajah eksploitasi dari kenyataan persaingan pemilik burung.
Jamu buatan bagi burung berkicau
sekali lagi menjadi pemaksaan kodrat alam agar berbondong-bondong turut masuk
menjadi sebuah program besar yang blur
baik tujuan dan kapasitasnya. Maka Dharma mencoba larut seakan tergiur atas
ajakan Rohman atas dasar ketangguhan dan sukses diajang yang katanya menuju
sukses dunia perkicauan. Kantong celana telah dimasuki tangan kembali keluar
sekonyong-konyongnya jumlah saku sesuatu didalam celana telah berkurang dalam
menebus jamu bagi kicuan. Perjalanan hidup terus berjalan dengan segala kegiatan
keseharian Dharma atas jual beli sebuah sistem dari perdagangan tradisional,
lalu lelahnya seakan terbayarkan dengan langkah menuju pulang bertemu istri
kedua yang hidup disebuah kotak bergelantung diatas atap rumah.
Yatmi wajah kesederhanaannya menyapa
Dharma penuh kelembutan tatkala ia pulang dengan kagetnya telah terlebih dahulu menyapa penghuni kotak,
kemudian turut bersiul menyambangi kegirangan disaat keadaan rumah sunyi senyap
melanda. Diambilnya jamu dari sakunya sembari menyiapkan seteguk air sebagai
penyela kicauan yang telah ada. Yatmi masih melihat Dharma seketika itu ia
menyebutkan telah adanya suara bahwa ada etikad orang yang tidak waras membuat
jamu palsu untuk kicauan. Tak menggubrisi ulasan kesungguhan Yatmi menceritakan
adanya ketidakwarasan kaum menjalani hidupnya atas penipuan yang terus bergulir
kabar menyebar seakan melukiskan sebuah tanda bahaya.
Dharma dingin mendengarkan semua
cerita Yatmi, bukan karena ketidakpercayaan atas beritanya melainkan masih berfikir
dongeng apa yang melatarbelakangi dari penebaran sebuah informasi. Dongeng
selalu muncul atas kepentingan besar yang masih abu-abu bahkan blur. Melayang sejenak melihat angkasa
lalu mulai menilik sebuah pengawasan
jamu maka pun patut diberikan sebuah kesempatan untuk bicara alasan mengenai
lolosnya kamuflase perdagangan. Sejak kapan merebak, untuk apa maksud
tujuannya, kemudian darimana asal bahan-bahan yang digunakannya, seakan harus
bertanggung jawab penuh atas kejadian. Lebih jauh melayang terlihat isu besar
atas penguasaan dunia disegala lini kehidupan. Terlepas terbukti ataupun tidak
pemainnya sangat halus menyusup direlung birokrasi yang bertindak kebenaran
atas pendapatnya sendiri kalaupun tidak, pembenaran yang bersifat absolut dunia
agar patuh atas doktrin-doktrin keilmuan.
Mengurangi jumlah koloni dengan
merubah cara berfikir dan bertindak menghadapi sebuah persoalan kehidupan. Perang
otak yang begitu halusnya tak menyadari bahwa sel-sel otak telah dirasuki
pembenaran yang belum tentu benar. Jika masih ragu maka keraguan akan lebih
bercondong untuk membenarkan dasar mereka yang terus dilindungi birokrasi yang
disusun tanpa sadar akan merusak koloni perkicuauan itu sendiri.
Dibuatnya sebuah strategi rencana
kecil dalam kurun waktu sangat singkat akan berdampak lama-lama membesar
kemudian tujuan utamanya pelan-pelan merasuk dalam merubah paradigma menjadi
instan berfikir dan bertindak. Silih bergilir dongeng-dongeng penghantar tidur
bergantikan tema dalam sepekan lalu membahasnya dalam pergolakan pro maupun
kontra, antara yang setuju maupun tidak dan sebagainya. Selayaknya anak kecil
yang terus berkhayal diruang mimpi dengan iming kemudahan, matrialisme, budaya
konsumtif, demokrasi bebas, dongeng terus diceritakan hingga mata tak mampu membuka, dengan
lelapnya seluruh tempat tidur telah beralih fungsi menjadi kekayaan resmi bagi
pendongengnya.
Berjalan dikesunyian berada dijalur
tengah dengan kealpaan informasi namun berjuang demi kehidupan dirinya.
Mengalahkan ego, meredakan amarah, luasan berfikir, memetakkan masalah termasuk
didalamnya usaha cara-cara menempuh rasa kesyukuran atas pencapaian dini hari
tanpa terlelap hingga fajar akan bersahabat menempuh esok pagi yang cerah bukan
keadaan yang sekarang dan terus dirayakan kelemahannya. Sebaik-baiknya masalah
maka kembali kepada Dzat yang bisa mengatasi masalahnya bahkan untuk selalu
bersyukur patut untuk diusahakannya.
No comments:
Post a Comment