Nasi yang sudah
tertata rapi di meja makan menjadi tanda Dharma sudah selesai
tugasnya. Yatmi yang sudah bangun jam 03.00 dini hari menyiapkan masakan
tak ada yang beda dengan hari biasanya mereka lakukan. Tempe goreng menu
kebiasaan yang tidak pernah tertinggal dengan khas bawang putih dan
sedikit garam sengaja Yatmi buatkan beserta kecap irisan lombok rawit sudah
membuat mereka mencapai kenikmatan hidup sesungguhnya.
Ramadhan membuat
Yatmi masih memilih untuk tidak berjualan seperti biasanya. Hidup kepasrahan
menerima nafkah dari Dharma seberapapun yang diperolehnya saat mencium
tangannya disore hari entah barang dagangan masih tersingkap di keranjang
sepeda maupun Dharma pulang lebih siang saat pasar ramai mencari barang
dagangannya. Menekan segala keinginannya membuat ia sadar bahwa menikmati hidup
bukan menurut orang lain melainkan membebaskan pilihan diri sendiri atas nikmat
dihari itu.
Yatmi tidak merasa
miskin meski orang lain menganggap hidupnya dibawah rata-rata orang
dikampungnya. Semisal pun orang menanyakan kepadanya mengenai kecukupan nafkah
yang diterimanya, maka hanya senyuman kecil yang tak bermakna selain
kebahagiaan hidup bersama suaminya Dharma. Laki-laki hampir tidak pernah
menandakan soerang yang mempunyai kehidupan religius di masyarakat. Bakti
yatmi begitu teguhnya kepadanya karena percaya bahwa hanya prinsip penghambaan
diri yang dilakukan Dharma sudah mendarah dalam sujud sepertiga malam
mensyukuri atas nikmat yang ia terimanya hari ini dan mengharap lebih lagi
mensyukuri atas nikmat esok yang belum pernah terjadi.
Jalan kehidupan
tidak mengharapkan mudah justru kesulitan menjadi buah kedewasaan Yatmi. Wujud
dari realitas kehidupan telah hadapi Yatmi menerima keadaan yang Tuhan berikan
kepadanya. Sore yang tak menentu terhadap hasil yang diterima Dharma menyisakan
cerita tersendiri saat keadaan terhimpit kebutuhan. Memang takaran dari
keluarga mereka hanya kebutuhan bukan keinginan, itu pun mereka masih terus
belajar memaknai hidup beserta kewajarannya. Mereka hanya menjalan Pikiran
mereka harus lebih diperas disaat kebutuhan mereka tidak bisa terbayar dengan
penghasilannya. Saudara Yatmi yang terkadang turut membantu meski suatu
saat bantuannya tersebut dikembalikan lagi.
Hanya satu sumur
didalam rumah mereka di bulan Ramadhan ungkapan tersebut sangat patut
bagi keluarga Dharma. Hanya mengandalkan penghasilan dari suaminya, semangat
Yatmi tentunya lebih leluasa untuk berkhidmad melayani suaminya. Sebelas bulan
yang Tuhan berikan kiranya sudah cukup untuk membantu perekonomian
suaminya. Keyakinan yang dalam terhadap pemberian rezeki tidak semata dinilai
dari penghasilan, keadaan hati yang damai dan legowo menikmati rasa syukur
senantiasa terbawa dalam hari-harinya. Tentunya hal tersebut tidak semua orang
dapat merasakannya karena kebahagiaan sejati terletak dalam hati untuk bisa
menerima kehendak-Nya.
No comments:
Post a Comment