Sebelum subuh Dharma telah
beranjak dari bangunnya, badan tidak terlalu capek maka dia lebih mudah untuk
melakukannya. Barang dagangan yang kemarin masih belum semuanya
terjual menjadikannya malamnya ia berada dirumah. Biasanya waktu malamnya
untuk kulakan barang dangangan di desa tetangga. Waktu istirahatnya lebih
panjang dari biasanya. Tidur 6 jam serasa sudah cukup untuk melepaskan
lelahnya. Tidurnya begitu lelap hingga puncaknya terdengar sayup
persiapan kumandang subuh mulai terdengar.
Yatmi yang masih tertidur pulas
dibiarkannya dalam kasur, yang tidak lagi berbentuk kasur hanya sebuah busa
terhampar dalam sebuah ranjang kayu. Anaknya, Angger pun disebelah kiri Yatmi
sama halnya Yatmi masih belum beranjak dari tidurnya. Sementara tengah malam
tadi hujan pun masih mengguyur kampungnya tidak mulai reda malah masih tetap
mengguyur meski tidak sebesar dari permulaannya.
Tubuh Dharma beranjak duduk
dari perbaringan matanya yang hendak membuka terasa mudah untuk dibelalakkan.
Udara malam yang dingin menerpa pori-pori dinding temboknya kian banyak pasir
yang mengelupas. Dharma turun dari kasurnya diraihnya sepatu boots kemudian ditaruh dibawah kakinya.
Suara lirih air lantai terhempas ujung sepatu saat kaki Dharma masuk ke lubang
sepatu yang tingginya 40 cm. Kaki kiri pun berusaha untuk meraihnya masuk
ke sepatu bagian kirinya. Sejenak ia berhenti mencapai titik kenyamanan kedua
kakinya telah rileks memenuhi ruang sepatunya.
Langkahnya pelan merambat diantara
dinding temboknya menuju tempat paling belakang rumahnya. Tujuan pertama untuk
mengambil air wudhu atau siap-siap sholat subuh. Niatnya untuk berjamaah ke
masjid tidak ada terbesit baginya. Sifat malaikatnya masih hilang hanya
keinginannya untuk lebih memilih keadaan hangat di rumah. Kedaaan luar rumah
yang masih hujan gerimis genangan air yang semakin tinggi keadaan gelap yang
masih susah untuk membedakan jalan depan rumah. Sumber air yang terbuat dari
tembikar atau tanah liat yang masyarakat lokal menyebutnya sebagai padhasan ia dekati kemudian ditariknya
tutup bagian bawahnya. Kedua telapak tangannya didekatkan untuk memperoleh air
kemudian dikumurnya hingga selesai seluruh wajah, tangan beserta kakinya telah
terbasuh semua.
Sepatu boots terdengar langkahnya yang diiringi
dengan hempasan riuk air yang menggenang 20 cm diatas telapak kaki. Dharma
berjalan ke dalam rumahnya merayap meniti batu cukup besar agar seluruh kakinya
terendam. Kaki kanannya menapak batu disusulnya kaki kiri melangkahkan kakinya
tepat di depan pintu belakang rumanhya. Suara riuk air menghempas langkah kaki
Dharma pintu belakang rumah pun ditutup. Dengan tenaga yang lumayan cukup berat
pintu belakang susah ditutup karena bagian paling bawah berisi tumpukan lumpur.
Dibalik pintu terdapat almari kayu yang bagian bawahnya telah kosong hanya
sekitar 30 cm air yang mengisi rak nya. Bagian tengah almari berisi pakaian,
bagian paling atas berisi tumpukan kardus barang-barang berupa televisi tabung
14 inci, Lampu 10 watt adalah penerang satu-satunya
didalam rumahnya yang mempunyai 2 kamar ini.
Dharma berjalan menuju ruang
tengah yang terdapat kursi panjang terbuat kayu membujur arah timur dan barat.
Tangan Dharma memindahkan tumpukan pakaian yang berada diatasnya untuk digeser
agar sajadah dapat cukup untuk digelar. Tempat pakaian setelah dicuci sekaligus
tempat untuk sholat dikala pakaian belum sempat dirapikan maka disinilah
tempatnya. Dharma memulai sholat di atas kursi mencoba dengan ketulusan
menghadap Allah SWT. Gerimis masih menghiasi suasana luar rumah sesekali cahaya
pagi pun tidak tampak serasa malam itu tidak berganti.
Suasana pagi masih terlihat sangat
gelap tertutup oleh mendung kelabu awan-awan pagi yang terlukis pun tak satu
menampakkan wujudnya. Dharma hampir lupa bahwa ada waktu subuh akan segera
berakhir. Setelah Dharma mengucapkan kata Amien dia mengambil sajadahnya dengan
melipat pertengahannya dibagi menjadi menjadi 2 bagian. Bergegaslah ia menuju
kamarnya, dengan pelan ia membangunkan istrinya agar segera mengambil air wudhu.
Yatmi terjaga dari tidurnya matanya pun enggan
membuka disaat ia melihat jendela kamarnya tidak menampakkan cahaya langit pagi.
Niat untuk tidak menuruti keinginanya ia tepis dengan bergegas mengambil sandal
jepit di bagian samping tempat tidurnya. Rasa kantuk yang mendera ia jalani
dengan langkah suara riuk telapak kaki terhempas air menuju bagian belakang
rumahnya.
Air tetap
menggenang tanpa ada tanda menyusutnya, langkah Dharma ke ruang depan yang
penuh dengan sepeda tua beserta 2 keranjang besar disamping kanan kirinya. Lorong
sempit menuju pintu depan ia coba laluinya melangkah perlahan dengan posisi
tubuh menyamping, menuju pintu keluar rumahnya. Pintu dengan kesamaan yang
dialaminya yaitu bagian bawahnya terdapat tumpukan lumpur sehingga menyulitkan
baginya untuk membukanya. Kedua tangannya harus mengangkat daun pintu kemudian
menariknya. Sepeda tuanya mencoba untuk dilkeluarkannya, 2 keranjang besar
sangat mepet dengan kusen pintu sebagai akses utamanya.
Dharma
bersiap-siap bekerja, Yatmi sibuk dengan urusan dapurnya menyiapkan bekal nasi
yang harus dibawa Dharma ke pasar. Tabah
dan bersabar baginya semua harus dilaluinya dengan santai. Sudah menjadi
kebiasaan berkutat dengan air. Dikepung oleh berbagai tekanan hidup baginya
bersyukur adalah obat mujarab dari semua masalah yang dihadapinya. Sudah 2 bulan
air ini menjadi keluarga baginya. Bertempat tinggal satu rumah menjadi tambahan
keluarga baru yaitu keluarga air yang memang mereka sadari atas kebersaran-Nya.
Yatmi kembali
dengan aktifitasnya mengurus anaknya Angger yang akan berangkat sekolah. Meski
hampir sama waktu bangunnya dengan Yatmi, ketika itu juga Angger sedang duduk
diatas kursi menunggu ibunya menghampirinya. Saat itu Angger digendongnya
menuju bagian belakang rumahnya. Rasa kekhawatiran Yatmi muncul saat langkahnya
hampir tergelincir bagian lantai rumah penuh dengan air dengan alas kaki yang
licin menyebabkan ia berjalan merambat disepanjang tembok rumahnya.
Punggung Yatmi
serasa tidak pernah berkeluh capek menggendong Angger selanjutnya Yatmi harus
berjalan 800 meter menuju sekolahnya. Suasana jalan yang lebih dalam luapan
airnya setinggi lutut Yatmi. Langkahnya pun semakin berat melawan hempasan air. Angger tak merasa bahwa suasana
ini menyulitkan baginya. Tawa Angger kegirangan melihat air banjir yang
dilaluinya, seakan-akan ia akan turun bermain air di jalan. Sesampainya di
sekolahan taman kanak-kanak Angger berpisah dengan Yatmi lingkungan sekolahnya
pun masih tergenang air. Yatmi harus rela dengan keadaan yang memaksakan diri
untuk mandiri dengan keadaan.
Air yang
sebelumnya menjadi tamu yang datang seminggu sekali ketika sore mulai terlihat
naiknya air di selokan. Kini menjadi keluarga yang setia bersama menemani
hidupnya dari mata mulai melihat hingga mata akan terpejam. Rasa syukur Yatmi
dengan bertahan dengan keadaan dan menjalani aktifitas seperti biasanya.
Mengeluh kepada Pemerintah seakan seperti berteriak di pantai yang suaranya
terbawa angin. Menjalani aktifitas dengan segala keterbatasan tanpa mengetahui
semuanya akan berakhir atau suatu saat ia akan berpindah tempat ke tenda-tenda
darurat untuk sekedar bertahan sementara.
No comments:
Post a Comment