Wednesday, 1 June 2016

Air yang disebut Tamu atau Keluarga



Sebelum subuh Dharma telah beranjak dari bangunnya, badan tidak terlalu capek maka dia lebih mudah untuk melakukannya.   Barang dagangan yang kemarin masih belum semuanya terjual menjadikannya malamnya ia berada dirumah.  Biasanya waktu malamnya untuk kulakan barang dangangan di desa tetangga. Waktu istirahatnya lebih panjang dari biasanya. Tidur 6 jam serasa sudah cukup untuk melepaskan lelahnya. Tidurnya  begitu lelap hingga puncaknya terdengar sayup persiapan kumandang subuh mulai terdengar.

Yatmi yang masih tertidur pulas dibiarkannya dalam kasur, yang tidak lagi berbentuk kasur hanya sebuah busa terhampar dalam sebuah ranjang kayu. Anaknya, Angger pun disebelah kiri Yatmi sama halnya Yatmi masih belum beranjak dari tidurnya. Sementara tengah malam tadi hujan pun masih mengguyur kampungnya tidak mulai reda malah masih tetap mengguyur meski tidak sebesar dari permulaannya.

Tubuh  Dharma beranjak duduk dari perbaringan matanya yang hendak membuka terasa mudah untuk dibelalakkan. Udara malam yang dingin menerpa pori-pori dinding temboknya kian banyak pasir yang mengelupas. Dharma turun dari  kasurnya diraihnya sepatu boots kemudian ditaruh dibawah kakinya. Suara lirih air lantai terhempas ujung sepatu saat kaki Dharma masuk ke lubang sepatu yang tingginya 40 cm.  Kaki kiri pun berusaha untuk meraihnya masuk ke sepatu bagian kirinya. Sejenak ia berhenti mencapai titik kenyamanan kedua kakinya telah rileks memenuhi ruang sepatunya.

Langkahnya pelan merambat diantara dinding temboknya menuju tempat paling belakang rumahnya. Tujuan pertama untuk mengambil air wudhu atau siap-siap sholat subuh. Niatnya untuk berjamaah ke masjid tidak ada terbesit baginya. Sifat malaikatnya masih hilang hanya keinginannya untuk lebih memilih keadaan hangat di rumah. Kedaaan luar rumah yang masih hujan gerimis genangan air yang semakin tinggi keadaan gelap yang masih susah untuk membedakan jalan depan rumah. Sumber air yang terbuat dari tembikar atau tanah liat yang masyarakat lokal menyebutnya sebagai  padhasan ia dekati kemudian ditariknya tutup bagian bawahnya. Kedua telapak tangannya didekatkan untuk memperoleh air kemudian dikumurnya hingga selesai seluruh wajah, tangan beserta kakinya telah terbasuh semua.

Sepatu boots terdengar langkahnya yang diiringi dengan hempasan riuk air yang menggenang 20 cm diatas telapak kaki. Dharma berjalan ke dalam rumahnya merayap meniti batu cukup besar agar seluruh kakinya terendam. Kaki kanannya menapak batu disusulnya kaki kiri melangkahkan kakinya tepat di depan pintu belakang rumanhya. Suara riuk air menghempas langkah kaki Dharma pintu belakang rumah pun ditutup. Dengan tenaga yang lumayan cukup berat pintu belakang susah ditutup karena bagian paling bawah berisi tumpukan lumpur. Dibalik pintu terdapat almari kayu yang bagian bawahnya telah kosong hanya sekitar 30 cm air yang mengisi rak nya. Bagian tengah almari berisi pakaian, bagian paling atas berisi tumpukan kardus barang-barang berupa televisi tabung 14 inci, Lampu 10 watt adalah penerang satu-satunya didalam rumahnya yang mempunyai 2 kamar ini.

Dharma berjalan menuju ruang tengah yang terdapat kursi panjang terbuat kayu membujur arah timur dan barat. Tangan Dharma memindahkan tumpukan pakaian yang berada diatasnya untuk digeser agar sajadah dapat cukup untuk digelar. Tempat pakaian setelah dicuci sekaligus tempat untuk sholat dikala pakaian belum sempat dirapikan maka disinilah tempatnya. Dharma memulai sholat di atas kursi mencoba dengan ketulusan menghadap Allah SWT. Gerimis masih menghiasi suasana luar rumah sesekali cahaya pagi pun tidak tampak serasa malam itu tidak berganti.

Suasana pagi masih terlihat sangat gelap tertutup oleh mendung kelabu awan-awan pagi yang terlukis pun tak satu menampakkan wujudnya. Dharma hampir lupa bahwa ada waktu subuh akan segera berakhir. Setelah Dharma mengucapkan kata Amien dia mengambil sajadahnya dengan melipat pertengahannya dibagi menjadi menjadi 2 bagian. Bergegaslah ia menuju kamarnya, dengan pelan ia membangunkan istrinya agar segera mengambil air wudhu.

Yatmi  terjaga dari tidurnya matanya pun enggan membuka disaat ia melihat jendela kamarnya tidak menampakkan cahaya langit pagi. Niat untuk tidak menuruti keinginanya ia tepis dengan bergegas mengambil sandal jepit di bagian samping tempat tidurnya. Rasa kantuk yang mendera ia jalani dengan langkah suara riuk telapak kaki terhempas air menuju bagian belakang rumahnya.

Air tetap menggenang tanpa ada tanda menyusutnya, langkah Dharma ke ruang depan yang penuh dengan sepeda tua beserta 2 keranjang besar disamping kanan kirinya. Lorong sempit menuju pintu depan ia coba laluinya melangkah perlahan dengan posisi tubuh menyamping, menuju pintu keluar rumahnya. Pintu dengan kesamaan yang dialaminya yaitu bagian bawahnya terdapat tumpukan lumpur sehingga menyulitkan baginya untuk membukanya. Kedua tangannya harus mengangkat daun pintu kemudian menariknya. Sepeda tuanya mencoba untuk dilkeluarkannya, 2 keranjang besar sangat mepet dengan kusen pintu sebagai akses utamanya.

Dharma bersiap-siap bekerja, Yatmi sibuk dengan urusan dapurnya menyiapkan bekal nasi yang harus dibawa  Dharma ke pasar. Tabah dan bersabar baginya semua harus dilaluinya dengan santai. Sudah menjadi kebiasaan berkutat dengan air. Dikepung oleh berbagai tekanan hidup baginya bersyukur adalah obat mujarab dari semua masalah yang dihadapinya. Sudah 2 bulan air ini menjadi keluarga baginya. Bertempat tinggal satu rumah menjadi tambahan keluarga baru yaitu keluarga air yang memang mereka sadari atas kebersaran-Nya.

Yatmi kembali dengan aktifitasnya mengurus anaknya Angger yang akan berangkat sekolah. Meski hampir sama waktu bangunnya dengan Yatmi, ketika itu juga Angger sedang duduk diatas kursi menunggu ibunya menghampirinya. Saat itu Angger digendongnya menuju bagian belakang rumahnya. Rasa kekhawatiran Yatmi muncul saat langkahnya hampir tergelincir bagian lantai rumah penuh dengan air dengan alas kaki yang licin menyebabkan ia berjalan merambat disepanjang tembok rumahnya.

Punggung Yatmi serasa tidak pernah berkeluh capek menggendong Angger selanjutnya Yatmi harus berjalan 800 meter menuju sekolahnya. Suasana jalan yang lebih dalam luapan airnya setinggi lutut Yatmi. Langkahnya pun semakin berat melawan  hempasan air. Angger tak merasa bahwa suasana ini menyulitkan baginya. Tawa Angger kegirangan melihat air banjir yang dilaluinya, seakan-akan ia akan turun bermain air di jalan. Sesampainya di sekolahan taman kanak-kanak Angger berpisah dengan Yatmi lingkungan sekolahnya pun masih tergenang air. Yatmi harus rela dengan keadaan yang memaksakan diri untuk mandiri dengan keadaan.

Air yang sebelumnya menjadi tamu yang datang seminggu sekali ketika sore mulai terlihat naiknya air di selokan. Kini menjadi keluarga yang setia bersama menemani hidupnya dari mata mulai melihat hingga mata akan terpejam. Rasa syukur Yatmi dengan bertahan dengan keadaan dan menjalani aktifitas seperti biasanya. Mengeluh kepada Pemerintah seakan seperti berteriak di pantai yang suaranya terbawa angin. Menjalani aktifitas dengan segala keterbatasan tanpa mengetahui semuanya akan berakhir atau suatu saat ia akan berpindah tempat ke tenda-tenda darurat untuk sekedar bertahan sementara.

                                                              
  

No comments:

Post a Comment