Tuesday 18 October 2016

Serabut untuk Gedung Tak Bertuan



Semilir desiran angin menghempas dedaunan rimba disamping teras seberang bukit sekumpulan burung menari mengepakkan sayap lantas berkicau. Kepada dunia terus memberikan kabar suatu saat akan dibuatkan kumpulan anyaman serabut berbentuk seperti gedung kebanggaan bersama. Kicauan terus berkumandang sampai hilir pedalaman seraya menjadi kewajiban mengumpulkan serabut agar tujuan tersebut terlaksana.

Dharma yang sedang asyik melukis panorama keanehan dalam diri tiap manusia tersentak mendengar kicuan dari timur serasa terus memberi kabar. Lalu dibiarkan suara itu gaduh menggelegar serasa tak terjadi apa-apa. Pagi hingga petang menjelang malam keanehan kicuan dibiarkan. Namun, semakin hari terus berkicau menekan, terdengar suara ambigu bergemuruh sampai tak bertuan kejelasannya. Dharma bertanya kepada burung yang berada didekatnya,

“Lalu kenapa engkau menyuruhku untuk mengumpulkan serabut untuk membuat gedung?”, dengan penuh damai Dharma berbicara kepada burung. Lalu burung itu seakan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dari sesama burung dibalik bukit timur. Burung itu kemudian menjawab, “Akh….Saya hanya penerus kicauan yang dipergunakan untuk kepentingan bersama”. Dharma semakin tidak mengerti maksud jawaban tersebut. Secangkir teh diseduhnya agar percakapan Dharma agar terasa lebih lama, “Hai burung bukan masalah tentang serabut yang dibutuhkan melainkan cara meminta serabut agar cukup untuk membuat gedung”, sanggah Dharma sembari meneguk kembali teh dihadapannya.

Geliat burung kembali menunjukkan ketidaktahuannya, semakin memelas melihat ada benarnya saat Dharma memberikan argumennya, lalu burung kembali bersuara, “Sangat benar apa yang dikatakan Engkau wahai Dharma, semua atas perintah pengumpulan serabut itu bisa mendatangkan kecurigaan antar sesama pelukis alam, sementara mereka tidak mengetahui sampai berapakah serabut yang dibutuhkan dan akan dibentuk seperti apa gedung itu akan dibuat”, jawab burung seakan ia menyetujui pendapat Dharma.

Dharma menimpali pernyataan disela pembicaraan tersebut, “Seharusnnya burung disaat berkicau dirasa bisa menampilkan sisi keindahan dan keharmonisan diantara pelukis-pelukis yang tidak sama baik derajat maupun pangkatnya disisi kerajaan. Semua akan berjalan dengan berkesinambungan apabila seluruh pelukis mempunyai kesamaan, namun perbedaan formalitas kerajaan menjadi hal yang beda dalam memberikan serabut meskipun hanya 5 untaian serabut bagi mereka yang dibilang mampu karena berbagai tunjangan dari kerajaan”.

Burung kembali  berujar, “Lho kok merasa berat bukannya itu bisa diberikan tiap serabut biar saya sampaikan maha burung dibalik bukit?” tanya burung kepada Dharma. “Iyah permasalahannya yang pertama bukan bukan ikhlas atau pun tidak, bukan mau atau tidak mau, selama ini burung dibalik bukit tidak mengetahui secara jelas kemampuan dan kemauan pelukis yang katanya sudah tanpa dibedakan diantara pelukis dari kerajaan. Baik secara peraturan tetap ada kebijakan namun secara faktual peran burung tidak akan bisa berkutat melawan birokrasi rimba yang sudah dinaungi pelukis didalamnya. Lalu sekarang burung dibalik bukit akan meminta serabut dengan cara yang penuh pertanyaan. Sepertinya pelukis sudah dianggap sebagai perwujudan kemakmuran bersama yang bisa memberikan sesuatu yang lebih, sepertinya harus menjadi cerminan dari kinerja masing-masing”, Dharma semakin kritis memberikan jawaban atas kicauan burung didekatnya.

Dipertemukan keadaan Dharma dan burung dihadapnya  kembali berdiam, menatap hampa satu sama lain menjadi kesamaan. Mereka dengan penuh tanya tentang fenomena serabut yang menjadi target tujuan fisik bukan target tujuan prinsipil guna menyetarakan antara diantara pelukis-pelukis. Seakan mereka sudah bebas dari tujuan utamanya. Rasa lupa itu terlalu mendasar tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan pelukis yang tidak diakui dibawah kerajaan cinta, yang kita huni bersama.
                                          foto : google

No comments:

Post a Comment