Friday 30 June 2017

Sepeda Anak

Dua hari yang lalu agaknya saya sedikit di bawa perasaannya atau memang saya ini terlalu 'ndeso setelah membaca status dari teman goweser dari Jogja Mas Dony Adhika yang menuliskan :
"Tidak semua mainan anak harus kita belikan baru ke toko. Kadang kita harus sedikit berpikir kreatif, out of the box, untuk mendapatkan sesuatu hal dengan lebih terjangkau. Fungsinya sama. Untuk melatih anak bersepeda lebih dini, melatih motorik, bermain di lingkungan sekitar serta berinteraksi".
Tulisan tersebut di unggah setelah berhasil membuat Balance Bike yang di costum oleh Mas Brindil Yanuar seorang goweser berambut panjang, brindil tentunya. Balance Bike yaitu sepeda tanpa menggunakan kayuhan (pedal) dan rantai. Fungsi sepeda ini digunakan untuk melatih keseimbangan sebelum dikenalkannya sepeda kepada anak-anak secara utuh.

Mengenai tulisan tersebut, saya baca berulang-ulang dan kemudian saya pahami dengan pola-pola kesederhanaan cara berfikir saya. Meski hanya dua kalimat yang ternyata mempunyai nilai histori tidak sama dengan orang tua umumnya.

Pertama, berbelanja tidak serta merta gegabah dengan membelikan sepeda meskipun itu tidak salah. Namun menurut saya di sini naluri sang ayah mulai muncul. Beliau mulai berfikir keras agar bisa membuat sepeda sederhana tapi tidak meninggalkan sebagai fungsinya.

Kedua, melatih anak bersepeda sedini mungkin. Saya jadi teringat sewaktu pertama kali belajar sepeda secara otodidak. Berkali-kali jatuh bangun tanpa diberi nasehat dari siapapun. Meski harus pede,babak belur, kaki penuh luka, terkilir dan sebagainya.

Ternyata sekarang saya menyadari bahwa perhatian seorang ayah dengan cara mengajari sepeda akan selalu di ingat oleh anak bahkan sampai dewasa. Coba ditanya ketika beranjak remaja,"Dengan siapa pertama kali belajar bersepeda? Bersama Ayah...",tentunya ayah mana yang gak bangga mendengarnya.

Ketiga, mengajarkan anak berlatih keseimbangan melalui motoriknya. Menurut saya bersepeda sejak kecil itu mengajarkan keseimbangan manusia dari segi apapun. Fisik misalnya, bersepeda sebenarnya melatih keseimbangan berdiri, berjalan dan berlari di atas putaran roda.

Secara emosional bersepeda menambah keceriaan, makanya anak-anak lebih suka bersepeda dari pada jalan kaki. Karena di hatinya merasa bangga terhadap sesuatu yang bisa diraihnya dan bisa berinteraksi di lingkungan sekitar.

Belajar tanggap dengan keadaan sekitar khususnya di jalan. Tentang pengetahuan harus letak tempat di saat mengayuh lebih kencang, berbelok harus sesuai dengan etika ataupun bisa berhenti harus menurunkan ritme kayuhan. Ini semuanya sepaket lengkap dalam pembelajaran.

Sedangkan bersepeda bagi orang dewasa mengajarkan perputaran keseimbangan kebiasaan berkendara itu salah satunya. Biasanya naik mobil atau motor seminggu sekali naik sepeda. Biar bisa berkaca tingkah laku manusia yang sudah banyak hilang etikanya ketika di jalan raya.

Apabila sepeda anak bisa menjadi saksi kebanggaan anak kepada seorang ayah mungkin Anda patut tersenyum lega melihatnya, semoga.


Flash Disk

Kiranya ada sebagian masyarakat masih awam disaat pertama kali dikenalkannya flash disk. Saya termasuk diantaranya. Awalnya ada rasa ketidakmungkinan terhadap benda mungil itu bisa menyimpan sebuah data. Bukan tidak beralasan karena bentuknya lebih kecil dibandingkan punggawanya terdahulu yaitu disket yang berisi kepingan film tipis berbentuk lingkaran. Pemahaman yang sama saya ini saya sepakati atas dasar analogi bentuk piringan hitam sebagaimana penyimpan lagu sedangkan disket sebagai penyimpan data. Alhasil teknologi flash disk bentuknya bukan menyerupai keduanya, babar blas!.

Dulu sewaktu saya belajar ngetik komputer, software WordStar 7.0. sempat menjadi primadona meskipun jenis karakternya masih serba terbatas. Persiapan lain pun terlalu belibet, saat mau ngetik, 2 hari sebelumnya harus mampir dulu ke toko stasioneri membeli 1 keping disket seharga 2.500 rupiah. Itu saja harus segera dibeli, kalau tidak, bisa saja tidak kebagian oleh mas-mas yang sedang menyelesaikan skripsinya. Sontak, disket kala itu menjadi komoditas langka yang tidak setiap toko stasioneri menyediakan.

Peralihan penggunaan disket menjadi flash disk ternyata tidak dibarengi pengetahuan kepada masyarakat. Umumnya flashdisk telah dikenali oleh seseorang yang memang berkutat di dunia perkomputeran minimal menjadi teman setianya bekerja. Seperti saat saya baru mengenal flash disk pada kuartal tahun 2006 silam.

Melalui mahaguru saya Pak Bagus Abimanyu memberi tugas artikel dan cara mengumpulkannya diketik dalam 2 spasi dalam Microsoft Word kemudian disimpan ke dalam flash disk. Setiap anggota kelompok saya saling bertanya mengenai istilah flash disk yang kala itu benar-benar asing ditelinga. Bahkan bentuknya saja belum pernah melihat. Setelah buntu tidak menemukan jawaban akhirnya tugas kembali ke pangkuan mahaguru. Dibarengi rasa penasaran yang memuncak saat itu pula beliau menjawab, "Flashdisk itu penyimpanan data, bentuknya kecil, ada kapasitasnya, harganya 150 ribuan", sembari menyodorkan contohnya. Terasa mahal sekali ukuran 150 ribu di tahun 2006 saat itu ongkos bus Pekalongan - Semarang masih 15 ribu. Akhirnya sepakat demi memperoleh flash disk kami pun berpatungan.

Kapasitas penyimpanan flash disk yang beredar di Semarang saat itu 64 dan 128 Megabyte. Lambat laun naik mencapai 256 dan 512 Megabyte. Dalam waktu kurang dari 2 tahun sudah merebak menjadi ukuran 1 Gigabyte yang sepadan dengan 1024 Megabyte. Saat itu pula hukum rimba mengenai stok pun berlaku apabila kapasitas diatasnya sudah tersedia maka stok kapasitas dibawahnya sudah punah tak tersisa. Dari kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir ini kapasitas flash disk telah mencapai 16 Gigabyte bahkan bahkan sampai 32 Gigabyte. Pengguna dimanjakan berbagai kelonggaran ruang menyimpan data, ribuan musik maupun berbagai film dalam satu alat kecil yang dinamakan flash disk.
Disamping ada kelonggaran penyimpanan data lebih besar, flash disk mempunyai kelemahan yang cukup signifikan terhadap fungsinya. Berupa virus yang bisa mengganggu keberadaan data yang disimpan. Beragam cara untuk mengatasi ancaman virus salah satunya dengan mengaktifkan antivirus di komputer. Secara teknis data yang terdapat flash disk akan dilakukan scanning selama beberapa waktu tergantung kapasitas datanya. Apabila sudah tidak ditemukan ancaman virus yang berarti maka berarti komputer dirasa aman untuk dioperasikan. Namun ternyata, jenis virus maupun kemampuan antivirus juga menjadi 2 variabel yang saling mempengaruhi. Artinya pada kasus tertentu terkadang virus tidak tampak dalam flash disk karena antivirus tidak bisa mendeteksi keberadaannya.

Semakin sering flash disk keluar masuk komputer maka semakin rentan terhadap penularan virusnya. Ini berlaku apabila kondisi antar komputer belum terkondisikan label "aman" dari ancaman virus. Fenomena ini saya lebih suka bilang, "Kalau flash disk suka keluyuran njajan kesana kemari, bisa lebih rentan terhadap ancaman virus". Sedangkankan tiap pemilik komputer belum 100% "ngeh" tentang virus serta cara mengatasinya, termasuk saya!



Caffe Latte

Saya masih enggan menelaah varian jenis kopi. Robusta, arabika, vanila caffe, cappucino atau segala macam jenisnya memang kalau dipelajari asyik-asyik sedap. Pelajari lalu praktekan, akan lebih bernuansa tanggung jawabnya, yang jadi kelinci percobaan adalah peraciknya, deal.

Di bilang suka, ndak sampai "ndakik" (ketagihan) hingga panas dingin jika sehari tidak minum kopi. Lebih pantasnya perlu, disaat kepepet rasa ngantuk sedikit terobati dengan seteguk kopi tentunya ini paling cepat seminggu sekali. Saya hanya "nuruti dhawuh" dari kalangan medis yang pernah mengatakan bahwa kandungan caffeine bisa membuka sedikit pembuluh darah. Sehingga kalau minum kopi peredaran darahnya lebih cepat teraliri ke seluruh tubuh yang menyebabkan metabolismenya bekerja lebih optimal. Kembali lagi ini hanya sekedar teori, boleh tidak sepakat karena sama-sama tidak bayar atas kebenaran pribadinya.

Momen di atas kopi sebagai obat kantuk yang bisa di aplikasikan langsung dengan cepat dan mudah. Tapi menurut saya keadaan pribadi masing-masing berpengaruh atas akibat berlakunya melek setelah minum kopi. Meskipun sudah minum 1 drum kalau memang mata harus istirahat ya, bantal solusi paling menyenangkan.

Hanya sebatas dalam film Filosofi Kopi saya bisa menikmati orang minum kopi sedemikian enaknya. Sedangkan rasa sebenarnya hanya "jare" (katanya) yang membuat kota saya bermunculan penjaja kopi berderet-deret memakan trotoar jalan. Andai saja rumah saya dilengkapi semacam minilab uji perpaduan kopi layaknya di film tesebut bisa jadi saya mempelajari sembari nyicipi resep kalau kurang pahit mungkin ada yang salah disaat sangrainya dan sayangnya desain begitu tidaklah murah.

Budaya ngopi bagi orang Indonesia, membuat saya terheran-heran. Saat setelah masuk di salah satu bank di Pekalongan. Sekitar jam 12 siang layaknya ada orang yang nyeduh kopi di ruang ber-AC. Aroma kopi menebar dari nomor antrian hingga meja mbak-mbak teller. Sedangkan kanan kiri di atas meja cangkir pun tidak tersedia. Saya sudah menebak bau ini tidak lepas dari kopi sachet yang lekat dengan essense yang lebih ditonjolkan daripada rasanya. Ternyata saya harus menepis praduga, saat setelah dispenser pengharum ruangan berbunyi "ssrrrruuuthh..." Ohh saya tertipu dibuatnya.

Korban iklan layanan masyarakat bisa jadi benar. Semenjak pengalaman itu saya semakin penasaran tentang varian jenis refill pengharum ruangan tersebut. Usut punya usut ketemu aroma CAFFE LATTE sekali semprot seakan barbau kopi yang baru diberi air panas. Menurut saya ini masih kurang kreatif, karena di botolnya belum tercantum label serifikasi halal. Apabila demikian adanya, saya lebih simpel menikmati kopi, tinggal siapkan air panas lalu semrotkan pengharum ruangan, saya lebih mudah membuat kopi dan untuk saat ini sepertinya belum terjadi.

Foto Muhammad Syukron.



Bangga Endonesah

Tampaknya saya harus senyam-senyum sendiri saat harus lahir di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari bangun tidur sudah mendengar pedagang "sego megono" yang menjajakan nasinya dengan harga 2 ribu rupiah ditambah tempe goreng menjadi 3 ribu rupiah. Saya kira sarapan di Pekalongan ini sudah murah sekali. Meskipun saya tahu berasnya ini sebagian dari impor dan prestasi swasembada beras hanya dongeng simbah di belakang truk pantura "Piye le..kabare?enak jamanku tho?".
Pemandangan berikutnya, ada pedagang tempe keliling naiknya sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Kemudian menawarkan "...pee tempe.." berkali-kali. Dengan harga yang sama 2 ribu rupiah kalau dibuat irisan tempe bisa sampai 8 buah atau cukup dibuat oseng sekali makan,hmmm...sedapnya. Berakhir sama setelah saya tanya asal ternyata kedelainya juga dari impor.
Dari dua pemandangan di atas ternyata masyarakat "endonesa" termasuk saya, bisa bertahan dari apapun kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Saya tidak bisa memperhitungkan antara harga beli bahan membuat nasi megono sementara berasnya saja sudah 12 ribu rupiah, belum lagi disaat "cecek" (gori;nangka muda) mengalami kelangkaan bisa jadi ukuran kecil bisa nyampai 30 ribu rupiah belum lagi harga bungkus daun pisang mencapai 50 ribu untuk sekali jualan. Sementara pangsa pasar masyarakat Pekalongan masih ajeg mengenal "sego megono" sebagai sego rakyat dengan harga yang super murah meriah. Semua ini adalah IQ nya pedagang "endonesa" yang berpredikat cumlaude sangat taktis sekali mengotak atik harga kulakan dan penjualan agar dapurnya bisa "ngebul", paling tidak bisa menyekolahkan anaknya bahkan hingga sampai bangku perkuliahan.
Lagi-lagi saya juga terpesona kepada pedagang tempe. "Kok bisa ya membuat jenis bahan makanan seenak ini?". Seluruh pikirannya tertumpah saat harus fokus menakar ramuan ragi Rhizopus Oligosporus menyatu dengan kedelai kuning tentunya bukan malika yang disebut-sebut di tayangan iklan Kecap Bango. Pedagang tempe ini masih bisa senyum ramah menyapa calon pembeli meski tidak ada niatan membeli. Keadaan ini mungkin tidak akan pernah terjadi 4 tahun silam ketika kelangkaan kedelai yang mengakibatkan harga kedelai melangit. Fenomena ini konon sebagai dampak naiknya kurs dollar yang juga mengalami kenaikan yang signifikan seperti yang tertulis dalam harian ekonomi NERACA terbitan 13 Agustus 2013.
Pelaku ekonomi kerakyatan di atas telah eksis hingga sekarang. Tanpa berdemo menuntut kenaikan harga, mereka melakoni usaha dengan rasa khusuk. Bahkan pendapatan esok hari pun mereka belum tahu. Sesuatu yang paling bisa mendamaikan hatinya adalah senyum mengupayakan hari ini agar bisa lebih baik dari hari kemarin.
Senyum orang "endonesa" tak gentar menghadapi gejolak ekonomi. Sesuatu yang jarang ada dimiliki bangsa lain adalah letak keberkahan mendasar rakyat "endonesa" yang sama sekali tidak meminta malah memberi kepada negara termasuk pajak. Rakyat "endonesa" pintar tersenyum karena "endonesa" adalah pusaka yang benar-benar mereka jaga.

Thursday 29 June 2017

Maaf Saya Nyampah Lagi

Sesuatu yang tak perlu digunakan atas asas kemanfaatannya bisa disebut dengan sampah sekalipun terdengar terasa formal dan bertajuk pada pakem tertentu. Baik, saya coba menariknya lebih jauh dari asalnya kemudian digolongkan dalam berbagai jenis sampah seperti organik dan an organik. Saya tidak akan memberikan definisi mengenai hal itu, anak Sekolah Dasar pun mengerti disaat akan membuang bungkus es krim Walls bisa membedakan masuknya diantara 2 boks sampah tersebut. Kalau saya memberikan bentuk sampah pada titik deskripsi diatas, saya tergolong manusia picik yang hanya berfikir linier apalagi ketika Anda membaca status saya ini meski hanya melakukan scroll saja sudah berpuluhan kilobyte terbuang. Artinya saya harus memberikan nilai lebih kepada Anda. Apabila Anda bisa menemukannya, maka saya bisa tersenyum lega. Tapi jika itu tidak terjadi berarti memang harus cepat-cepat mereview pertimbangan untuk masih berteman dengan saya di media sosial tapi pesan singkat saya jangan putuskan rasa kemesraan pertemanan di dunia nyata karena justeru itu hakekat pertemanan sesungguhnya yang membuat saya dan Anda dinaungi keberkahan. Kembali kepada pokok permasalahan saya ulangi lagi bahwa sampah yang berada di sekitar saya dan Anda ternyata banyak sekali seperti tetangganya sampah konvensional yaitu pencemaran lingkungan baik berupa benda padat, cair dan udara yang secara langsung ataupun tidak langsung pasti akan menimbulkan dampak bagi ekosistem termasuk saya dan Anda didalamnya.

Proses membuang sampah dan sudah mengalami perpindahan (mobilitas) dari bentuk sekaligus dari tempat satu ke tempat lainnya disebut proses menyampah atau menghasilkan sampah yang sering  disebut nyampah. Kata nyampah tersebut pertama saya dapat dari media sosial yang menjadi trendsetter masyarakat moderen merancap begitu saja sehingga pernyataan saya diatas pun bisa tumbang atas jarak pandang terhadap  definisi sampah. Lalu pola pikiran lain berjalan harus serta merta saya hubungkan dengan kebiasaan bermedia sosial. Berpijak pada sesuatu yang terus menerus dan dilakukan secara berkelanjutan sudah bisa dikaitan sesuatu yang tidak penting harus dilabeli stempel penting agar orang lain berkomentar inilah dunia maya, representasi dari arus global berlandaskan dari kebebasan. Sedangkan secara mentalitas belum bisa menanggapi secara serius atau hanya peningkatan rating sesuatu yang bisa bermanfaat secara subyektif (likers) dan siap menghadapi tikaman yang menusuk dada secara subyektif, kolektif, institutif, komulatif dan diskriminatif (haters). Harusnya saya dan Anda pun harus mengerti dan memahami kata “setuju” saat penginstalan aplikasi apapun harus menyetujui atas tindakan yang tidak bertolakbelakang dengan hukum yang berlaku ini sebagai pengikraran terhadap perilaku yang menyimpang dan tingkatan hukum itu berada dibawah dari norma, etika dan attitude. Artinya orang bernorma, etika dan beratitude pasti akan menjunjung tinggi permasalahan yang berbau dengan hukum. Sepertinya kita patut mengetahui antara bentuk jalan, arus jalan, tikungan, rambu-rambu, jalur penyelamat dan batas jalan sebelum berkendara termasuk dalam bermedia sosial.

Kata-kata di atas berupa sampah yang berserakan kemudian saya kumpulkan sebelum saya beristirahat.

foto :google







Background Facebook

Sudah satu minggu ini saya lihat halaman FB kok ada backgroundnya. Ternyata bentuknya sama persegi panjang, namun corak serta warnya yang bisa diganti sesuai keinginan.

Mengenai corak ada yang berupa grafis daun, lope-lope serta gambar abstrak lainnya. Kalau menurut saya itu background kok mirip corakan sprei atau taplak meja yang dibuat digital, apa inspirasinya dari sana atau ini hanya kebetulan belaka?

Ah, itu hanya persepsi yang tidak harus dipaksakan.

Tentang background warna, kalau tulisannya sedikit bisa digunakan. Setelah saya cek untuk tulisan ini saja ternyata kok tidak bisa?

Apa cat bagroundnya sudah kehabisan?, padahal kemarin saya kebetulan lewat toko besi masih banyak cat tembok yang didiskon besar-besaran. Lho...kok malah cat tembok?

Kalau ingin lebih greget sebagai cara mengaktualisasi diri backgroud foto bisa ternyata bisa digunakan. Menurut saya ini sudah biasa karena di tema handphone juga bisa dilihat.

Maka manfaatkanlah kecanggihan fitur background itu dari yang biasa menjadi luar biasa. Dari pengguna akun FB yang telah mencobanya, kok belum ada yang berani mengunggah foto mantannya untuk di tag kepasangannya sekarang?
Ini sepertinya tantangan yang menggiurkan.


Pasar Krempyeng

Merupakan pasar tradisional yang terletak di pesisir pantura tepatnya di Desa Pekuncen Kecamatan Wiradesa. Apa yang membuat rasa penasaran tentang sebutannya? Yaitu kesepakatan istilah dari penduduk lokal tentang penggunaan istilah krempyeng.

Tidak ada kepastian kapan dan siapa yang memberikan penamaan tersebut. Ini pernah saya tanyakan kepada salah satu pembeli yang telah usai berbelanja.

Menurut saya krempyeng berasal dari bahasa jawa yang berarti keberlangsungannya lebih cepat. Sesuai penggunaan kata krempyeng pada pasar tradisional mempunyai makna bahwa barang-barang dagangan yang dijual akan langsung habis pada waktu itu juga. Biasanya pasar dimulai pada pukul 05.00 WIB hingga pukul 09.00 WIB.

Adapun bentuk barang dagangan yang diperjualbelikan bersifat barang habis pakai. Misalkan kebutuhan sayuran, ikan, daging, bumbu pawon dan jajan pasar yang umumnya siap saji.  Bentuk lapak pasar juga bukan permanen hanya bilahan kayu yang ditata mirip bedak (kios) atau bahkan hanya berjualan di atas motor seperti layaknya ojek yang menunggu penumpang.

Karena letaknya pasar krempyeng berada diantara perumahan dan rumah penduduk, ini menyebabkan kedekatan sosial yang telah berlangsung lama. Dari pertemuan dua strata yang berbeda tidak mempengaruhi terhadap nilai harga barang. Artinya siapapun pembelinya maka harga yang dipatok akan sama. Mungkin karena kedekatan sosial tersebut sudah tidak ada batas hubungan dalam jual beli.

Memang orang Jawa itu apabila pernah diberikan kebaikan ada rasa pakewuh meski satu titik yang terselip dibenaknya. Faktor tersebut menjadi mudahnya bisa membaur diantara latar belakang yang berbeda apalagi berdirinya pasar krempyeng sudah lama menjadi komunitas ibu-ibu berbelanja.

Mendekati lebaran aktifitas pasar krempyeng tidak begitu ramai seperti hari-hari sebelumnya. Boleh jadi baik penjual dan pembeli mempunyai kesibukan mempersiapkan menyambut hari lebaran. Tapi lebih seringnya adat setempat bahwa ketika menjelang H-5 aktifitas perdagangan beralih ke pasar induk tradisional yang lebih lama aktifitasnya. Puncaknya mendekati H-1 atau sering disebut dengan pasar kembang.

Pasar krempyeng pada hari biasa menjadi pasar satelit yang membantu mengefektifkan jarak tempuh. Sedang menjelang hari lebaran kebiasaan masyarakat lebih memusat berada di pasar induk tradisional. Sambil menunggu ibu berbelanja saya sempatkan mengetik sesuatu yang saya pikirkan dan membaca kata pengantar mengenai Indonesia Poenja Tjerita.



Sepeda

Begitupun cara anak dari ibu saya yang sebentar lagi masuk SMK jurusan audio visual mengajak saya  sekedar menghabiskan sore dengan mengajak saya ngisi bensin yang letaknya cukup jauh 3 km dari rumahnya.

"Ayo, kate melok gak mas?nyepeda ndek embong gedhe golek sore tha?", sembari ngambil kunci kontak motor grand tahun 1996.

Sontak, hanya pokok pikirannya saya ambil "oh ... dia mengajak jalan-jalan". Bersyukur saya tidak lagi  roaming mengenal dialek bahasa Arek Malang yang terkenal dengan Ongis Nade-nya. Sedang kata "kate", berarti akan dan "embong" berarti jalan, sudah saya simpan baik-baik dalam kamus percakapan kearifan lokal setempat. Namun, dalam benak saya masih belum bisa berdamai dengan caranya dia dengan mengambil kunci kontak motor sedangkan ajakan awalnya yaitu bersepeda. Puncak kesepakatan saya untuk mengerti maksudnya saat dia benar-benar memakai helm kemudian berbunyi 'klik dan saya sedikit agak paham maksud sepeda itu sepeda motor.

"Ayo...siapp bos!", saya baru beranjak dari kursi tamu merespon ajakannya.

Beriringan putaran roda motor, suhu udara sore semakin dingin kendati itu, kendaraan pelancong domestik berplat L, S, M, AG dan W masih saja berlalu lalang memadati alun-alun Kota Batu. Saat itu pula tes pelajaran IPS kelas 3 MI saya diuji. Berarti plat L berasal Kota Surabaya, S itu Karisedan Tuban, M berarti dari Madura, AG berasal dari Karesidenan Kediri dan W berasal dari Karisedan Sidoarjo. Kalau benar berarti saya punya tambahan poin minimal 0,5 predikat bisa masuk sebagai mahasiswa teknik keselamatan transportasi darat, ah...hanya sebagai gaya kecil berceloteh saja.

Disepanjang perjalanan menuju pompa besin saya terngiang, masih heran dan sedikit tersenyum kecil lha istilah sepeda kok berarti motor.  Jadi teringat iklan susu kental manis. Saat anak laki-laki berlogat Jawa Barat itu bilang "Ini teh susu", kemudian anak perempuan berlogat Jawa Tengah menjawab, "Lho,...susu dibilang teh", berulang-ulang dan menimbulkan pongah kelucuan.

Kurang lebih 15 menit sampailah di pompa bensin tampak antrian panjang mengekor khususnya di bilik tambahan kendaraan roda 2. Jarak 5 meter dari noozel pengisian pertalite saya tengah asyik turun terlebih dahulu mengamati suasana sekitar. Dari bilik pengisian petalite tersebut terdapat keterangan bertuliskan SEPEDA arah tempat untuk mengantri pada jalur sisi kanan dan tentunya hanya kendaraan roda dua yang mendominasinya.

Akhirnya keabsahaan pemahaman makna sepeda yang berarti motor telah terjawab dengan dialek kebiasaan masyarakat setempat. Dalam hati saya bergumam, "Ohh...berarti memang sudah menjadi kesepakatan tentang istilah sepeda berarti kendaraan bermotor roda dua",mudheng saya.


Wednesday 28 June 2017

Nafkah

Disela-sela pamitnya seorang pemuda kepada bapak yang berprofesi sebagai marbot masjid  itu berpesan,

"Nak, terima kasih ya! telah memberikan nafkah anak saya", sembari menepuk bahu dengan pelan.

Kiranya ungkapan ini membuat pemuda membalas senyumnya dengan lega, yang sementara masih "mbabat" usahanya. Sedang istrinya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Tuesday 27 June 2017

Kuping Gajah

Dua hari ini sepertinya saya tengah asyik membahas makanan lebaran yang berada di ruang tamu. Ya, itu lebih saya pilih dibanding harus "nggayemi", duduk manis lalu tanpa dirasa isi toples tiba-tiba habis, minimal harus tanggung jawab ngisi lagi sementara toko kue masih tutup karena libur lebaran.

Saya masih tergelitik, saat setelah membuka toples berisi kue kering yang disebut dengan kue kuping gajah. Perlakuan kue ini tidak seperti biasanya tanpa ba bi bu, buka toples langsung lhep seperti makan sosis kata bang Dedy Mizwar. Sebelum kuping gajah itu memasuki mulut saya. Saya terus berfikir keras tentang alasan orang-orang memberi nama kue ini dengan sebutan kuping gajah. Melengkapi rasa penasaran saya, akhirnya saya download gambar gajah dan telinganya saya zoom hingga 4 kali.

Kemudian apa yang saya temukan?

Ternyata bentuk telinga gajah tidak seunik bentuk kue kuping gajah yang diasumsikan orang-orang. Bahkan, warna telinga gajah pun masih berwarna hitam ke abu-abuaan bukan loreng-loreng coklat krem seperti kue kuping gajah. Lalu saya meredam rasa penasaran dan tetap saya masih bertanya apa coba kemiripannya? bahkan ini sangat berbeda sekali bentuknya.

Saya lebih setuju dengan penamaan kue kerang-kerangan. Baik bentuk dan ukurannya hampir mirip meskipun beda pada warnanya. Sedang penamaannya pun kurang setuju apabila dipakai nasional. Karena seharusnya menurut EYD menjadi Kue Telinga Gajah dan ternyata masyarakat masih terus berdamai dengan bahasa jawa.

Dan terakhir saya sangat berharap ada pencetus makanan yang bisa membuat kue panjang hitam berikut ada lubangnya. Kemudian agar lebih lengkap dinamakan dengan Kue Belalai Gajah. Bisa jadi ini bahan agenda bagi pabrik toples untuk membuat prototype-nya,semoga.



Monday 26 June 2017

Pemuda di H-2

Menjelang hari lebaran jalanan kampung dibanjiri pengendara motor berseliweran. Ada wajah-wajah baru yang semakin tidak mengenal. Anak dahulu yang seumuran SD sekarang sudah bergaya rambut jambul klimis sedang dikanan kirinya dipapras 1 cm model undercut melaju kencang mengendari sepeda motor

Sesekali mampir ke warung sekedar membeli rokok dan mengisi bensin. "Rokok satu bungkus bang, bensinnya satu liter berapaan?", tanya pemuda belasan tahun kepada bapak-bapak penjaga warung.

"Bensin kaleh rokok pas sedoyo selangkung mas", jawab bapak sembari mengembalikan botol bensin ke dalam rak. Rupanya sampai saat ini bapaknya belum ngeh dengan pemuda mudikers yang baru sampai kampung halamannya.
"Waduh bang, gue kagak tahu selangkung, jangan pakai bahasa jawa deh gue kagak ngerti maksudnya!", balas pemuda itu dengan nada sedikit kecewa.

"Oh...iyaa mas...mas maaf totalnya dua puluh lima ribu pas", tingkas bapak meralat jawabannya
"Lhaaa....gitu donk bang, pakai bahasa itu yang mudah dipahami!", pinta pemuda sembari memberikan uang baru 20 dan 5 ribuan.
"Ohh nggeh Mas...Ngapunten...Eh salah...oya Mas, bapak minta maaf sebelumnya", jawab bapak sesekali tersenyum terpukau melihat anak jaman sekarang.

Setelah pemuda itu meninggalkan warung, dalam hati bapak ini bergumam, apa saya harus merantau juga ya biar bisa memahami Bahasa Indonesia?

Semprong

Begitulah sebutan masyarakat sekitar rumah saya tentang wafer roll berisi coklat yang hampir ada disetiap lebaran. Tentunya hal itu tidak serta merta terjadi tiba-tiba. Sebelumnya kue kering tradisional  serupa yang sudah ada meski tanpa balutan dalam pasta coklat sebagai varian rasa.

Delapan dari sepuluh rumah yang sudah saya sambangi  semprong rasa coklat ini telah tersedia dengan merek yang berbeda. Tapi memang harga mempengaruhi rasa dan lidah tidak akan pernah berbohong. Semprong yang enak dari packingnya saja sudah meyakinkan. Begitupun dengan isi pasta coklat didalamnya. Semakin mahal harga semprong maka coklatnya semakin tebal.

Tapi yang namanya produk yang banyak dicari maka kompetitornya berlomba-lomba menarik pembeli. Termasuk penawaran dengan harga ekonomis khususnya ditawarkan kepada arisan sembako hari raya. Saya amati setiap kali ada peserta yang mengikuti arisan tersebut semprong ini menjadi kue kering yang wajib ada. Alasannya sangat klise, yaitu paling disukai oleh anak-anak.

Ulasan itu pernah saya ajukan kepada panitia arisan sekitar 15  tahun yang lalu, saat saya harus menemani ibu saya mengambil sembako menjelang H-5 lebaran. Artinya semprong ini masih nge-hits berkeliaran selama lebaran hingga saat ini.

Namun apakah ada persamaan hubungan peminat semprong anak-anak dahulu dengan sekarang?
Ternyata berbeda, cenderung mengalami penurunan daya respon minat oleh anak-anak. Meski saya tidak bisa menampakkan data kuantitatif, namun saya bisa mengetahui suatu hal yang anak-anak senangi ketika bersilaturahmi.

Anak-anak jaman dahulu belum disibukkan dengan benda yang bernama android. Alhasil ketika diajak bersilaturahmi hanya bisa mendengarkan obrolan orang tua yang ngga nyambung hasilnya. Semprong sebagai camilan pengisi kesuntukan disela-sela kejenuhan menunggu saatnya pulang.

Namun sekarang perubahannya kian terasa. Dari anak-anak seusia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar saat ditawari jajanan dimeja lebih menyukai benda kotak yang dilabeli android. Saya mengakui taraf hidup masyarakat sekarang lebih bisa dikatakan layak dalam hal masalah asupan gizi sehingga untuk makanan ringan mungkin sudah bukan hal yang begitu menarik.

Tapi ternyata justeru pengaruh teknologi mengubah gaya sosial anak-anak yang apatis terhadap lingkungan sekitar dan semprong masih tersedia banyak karena kekurangan peminatnya.