Tuesday 28 February 2017

Jejak Terakhir Harimau

Pagi ini hutan di kawasan pesisir pantura tidak seperti biasanya. Kijang yang biasa langsung berkelana mencari rumput hanya berdiri tanpa menghiraukan hari ini mau makan apa. Lalu perut dibiarkan rasa lapar melanda, “Tumben bener ini hutan kok semakin ramai tapi saling bercerita sendiri-sendiri?”, tanya kijang kepada kancil yang mengerti saat kijang asyik melakoni “laku” atas laparnya menghauskan hingar bingar keserakahan hewan herbivora dan karnivora.
“Ah, itu hanya perasaan kamu aja, jang”, jawab kancil memakan rumput disebelah tebing tempat pengembala beristirahat.

Kijang meninggalkan kancil melihat kerbau berada pohon beringin diatasnya masih sibuk mengunyah rumput, ada sekerumunan tupai sedang bermain kelapa kering yang jatuh satu minggu yang lalu. Atas inisiatif sendiri kijang berjalan menemui tupai di pinggir pohon pinus sekitar 1 Kilometer dari tempat kijang baerada. Tidak ada teman bercerita atas kegundahan rasa hari ini, lalu pilihan itu terbaik baginya menuju ke tepian pohon pinus mencari teman berceloteh menghabiskan hari menjelang siang.

Langkah kijang akan tampak sebentar lagi tupai akan didatangi oleh kijang, saat  itu anak tupai berkata kepada ibunya, ”Itu dari arah timur kok kijang ke arah kita?”, kaki anak tupai menunjuk langkah kaki kijang.

Sedang bapak tupai tidak menanggapi pertanyaan itu karena sedang bersama anak paling bungsu bermain 10 meter dengan anak-anak lainnya.

Ibu tupai serasa penasaran atas kabar yang mengejutkan dari salah satu anaknya. Dari semak-semak kemudian dia membuka agar pandangannya lebih leluasa terlihat. Salah satu kaki kirinya tidak terlalu lama menahan berat tanaman alang-alang, “Aduh ini terlalu berat, coba panggilkan bapak biar kesini mumpung kijang masih jauh datangnya”, timpal ibu tupai dengan wajah kecut.

Mendengar gusar anak-anak yang meninggalkan semua permainan, tanpa dipanggil bapak tupai datang menghampiri lalu berkata, “Ada apa apa ini kok pada kumpul di semak-semak?”, tanya bapak tupai penuh penasaran.

“Ah pak, tau nggak itu di depan ada kijang sepertinya akan menuju kesini, mungkin dari kejauhan tadi melihat kita sedang asyik bermain terus mau nyamperin kita”, ucap anak tupai berlaga agak mengadu kepada sang bapak.

Bapak tupai mendekat ke arah Ibu mencoba menggantikan posisinya mengintai dibalik semak-semak. Lalu ibu tupai berusaha mundur seraya ia tahu bahwa bapak tupai ingin sekali melihat kijang yang katanya akan mendekat.

Daun panjang terlibas suara derap kaki kijang semakin kencang.
“Oh iya benar, kijang akan kemari tuh...langkangnya lurus menuju ke arah kita”, ungkap bapak tupai matanya masih lurus memandang ke depan.
“Tapi biarkan ia kesini anak-anakku kalian tetap tenang biar bapak yang akan menghadapi semuanya”, pinta bapak tupai menenangkan kondisi keluarganya.

“Kreeeshh....kreesssh....”, bunyi kaki kijang menginjak dedaunan kering
“Hai tupai, aku melihat kalian tadi bermain di sini, kalian sekarang dimana?”, kijang tergopoh-gopoh datang dibarengi nafas tersengal-sengal agaknya terlalu capek karena perjalanan.

Anak-anak tupai terdiam lalu bapak tupai mencoba berkata, “Ada apa kijang kau datang kemari?”, tanya bapak tupai dengan gagah namun mereka masih berada dibalik semak-semak.

Kepala kijang menoleh dibalik semak-semak itu, lalu dia masih berdiri sembari kelelahan. “Aku tidak akan memusuhi kalian, aku hanya ingin bertanya dengan kalian”, jawab harimau dengan sedikit menjelaskan maksud tujuannya.

Mendengar jawaban tersebut lalu tupai mengerti, langkah kakinya turut memberanikan diri menemui kijang tapi anak-anaknya masih bersembunyi di balik semak-semak.

Keduanya bertemu dalam diskusi singkat menjelang sinar matahari menyingsing. Kijang terdiam sejenak sementara nafasnya mulai membaik kemudian berkata, “Tupai kedatanganku akan memberikan kabar bahwa di hutan sebalah tebing sana ada kabar bahwa hari ini harimau akan mengundurkan diri sebagai penguasa hutan”, kijang berhadapan empat mata bersama tupai.

“Oh begitu jang, lantas ada hubungannya dengan keberadaan kita jang?”, tanya tupai kepada kijang penuh makna.
Lalu kijang menoleh sekitar pohon pinus yang tinggi kemudian ia baru merasakan keadaan rindang hatinya membenarkan jika para tupai sangat nyaman bermain disini.

“Jika ada hubungan secara langsung kamu mungkin bisa ngeles, harimau yang kita tahu kan dia sebagai penguasa hutan tempat kita singgah ini, jadi kalau mendengar dia akan lengser paling tidak kita mau mendengar pesan terakhirnya kepada seluruh penghuni hutan”, obrolan kijang semakin serius kepada tupai.

“Oh..oh..oh..saya tahu!”, kepala tupai menengadah ke atas berlagak mikir sambil modar-mandir di hadapan kijang.
“Jaaa.....aaaadiii.....kedatanganmu kemari mau ngingetin saya buat datang diacara pelepasan raja hutan sang harimau?”, tanya tupai dengan berbagai asumsi namun hanya itu yang bisa ditangkap secara sederhana.

“Begitulah kiranya, Pai! sepertinya besok akan terjadi harimau akan menyerahkan seluruh taring dan cakar kakinya”, jawab kijang terasa lega maksud kedatangannya telah dipahamai oleh tupai.
“Baik...kalau itu maumu besok saya akan datang ke hutang sebelah tebing ini hanya sebagaimana penghormatan kepadamu, jang! bukan murni dari undangannya harimau”, tupai menyetujui atas tawaran dari kijang.

Seiring pembicaraan berjalan keduanya berpisah pulang meninggalkan tepian hutan pinus. Kijang berlari menuju ke selatan

*** 

Pagi menjelang ketika burung telah berkicau menyambut semangat ceria, ayam berkokok berkerumun berjalan bersama menuju hamparan tanah lapang. Kera-kera bergelantungan dari pohon satu ke pohon yang lain namun semakin turun menuju dasar tanah, rumput yang masih menghijau karena semalam hujan telah mengguyur membawa kesejukan suasana.

Menunggu adalah hal dilakukan mereka disaat semua kabar santer terdengar bahwa hari ini sang harimau akan berbicara terakhir kepada seluruh penghuni hutan. Ternyata tidak begitu lama kehadiran harimau akhirnya datang juga. Dug...dug...dug...dari balik timur langkah kaki harimau terdengar dari atas bukit tingginya 5 meter suara itu semakin kentara. Sedang dibawahnya bukit merupakan tempat seluruh penghuni hutan berkumpul menunggu kehadirannya.

Tupai telah beranjak dari peraduan sedang berjalan menuju lapangan bersama 5 anaknya mereka sengaja datang agak telat karena anak yang terakhir sangat sulit dibangunkan. Selah beberapa menit kedatangannya maka harimau memberikan sambutan perkataan diatas bukit dan disaksikan seluruh penghuni hutan.

“Terima kasih saudaraku, pagi ini kalian telah berkumpul berhadapan denganku”, ucap harimau menyambut kehadiran mereka.
Suasana masih hening mendengarkan baginda harimau yang tidak seperti biasanya pucat tak beraturan seperti ada masalah yang disembunyikan kepada khalayak umum. Mereka para penghuni hanya bisa menebak secara saksama sesuatu yang dipikirnya.

“Kalian tahu mengapa pagi ini seluruh penghuni hutan saya kumpulkan?”, tanya harimau.
Tidak ada yang menjawab meski kijang yang berada dibawah harimau berdiri mengerti alasan tersebut.

“Atas junjungan kejantanan saya sebagai raja hutan mulai hari ini saya tidak lagi menjabat sebagai raja hutan karena kulit loreng saya tak sekencang dulu lagi sedang kemampuan lari saya telah berkurang tidak gesit ataupun lincah hingga bisa berpindah kesana kemari. Taringku telah tumpul karena tiap hari saya mencincang daging hingga lembut enak dimakan, cakar yang sering untuk mencabik-cabik mangsa yang bandel telah enggan keluar dari telapak kaki, meski saya coba asah setiap hari, namum syaraf kaki berkata lain ia telah lambat merespon perintah dari pikiran. Hingga kini saya tidak berdaya lagi. Ini memang harus saya sadari harimau itu akan hilang menurut seleksi alam karena kemuliaanku ada disini yaitu kekuasaan. Tidak berarti kalian bisa survive kapan saja dan dimana saja. Kalian itu tidak rendah, namun sering merendah tapi itu itu adalah kemulian kalian. Tidak jumawa karena taring, tidak terlihat sangar karena cakar dan eksistensi kalian akan bertahan karena mampu mengatasi kesulitan dengan sendirinya tanpa tuntutan gaya hidup atas kekuasaan”, papar harimau kepada penghuni hutan.

Penghuni hutan terdiam menyaksikan harimau belok kanan secara perlahan kemudian berkata, “Selamat tinggal...maafkan saya atas segala kekhilafan”, kemudian harimau tersenyum lalu merunduk seakan menyembunyikan atas kesedihan yang amat mendalam.


Tidak ada yang memberikan komentar atas kepergiannya hanya rasa belas kasihan kepada harimau. Mereka menyadari harimau akan terseleksi alam atas jumlahnya sedikit dan tergantikan harimau-harimau yang lebih muda. Tidak ada yang paling lebih dari tugas seluruh hewan karena diantara paling menyenangkan adalah mereka yang menikmati tugasnya sesuai yang diperintah dari sang raja diraja penguasa alam semesta.

Sumber: wwf.com

Panci

Panci begitulah fenomena di berbagai media elektronik saat ini. Apa tidak ada bahasan lagi yang diblow up sedemikian viral pemberitaan terorisme. Aksi tidak bertanggung jawab menggunakan bahan peledak diletakkan ke  dalam panci berhasil digagalkan oleh sekelompok pelajar SMA di Bandung.

“Panci...oh...panci...namamu biasanya di dapur kini naik ke media nasional”

Seminggu setelah itu, apresiasi bergulir dari POLRI kepada pelajar SMA karena medapat kemudahan persyaratan masuk tes akademi kepolisian. Wajahnya tetap bangga dengan Indonesia.

Satu Warna

Demi mempertahankan kebenaran dan pembenaran manusia berfokus terhadap satu warna, kemudian lupa tujuan akhir mencari cahaya di atasnya.
Terus berdalih hanya satu warna sekalipun mulut tak ubahnya menjadi samurai. Melukai semua yang masih mengenal keindahan, kebersamaan dan mengerti bahwa perbedaan itu sebuah fitrah.
Menyalahkan suara disekitar dari hasil teknologi manusia yang dianggap menjerumuskan. Padahal semua itu tergantung dari kekuatan diri dalam pertempuran batin selalu mengingat atau lalai terbawa suasana.
Manusia moderen terlalu cepat berprasangka.

Foto Muhammad Syukron.

Monday 27 February 2017

Rumah Yang Sakit

Hari ini kau terkapar membujur lemas
Diatas kasur tanpa daya hanya terdiam
Kaki pun mulai kaku sudah dua hari ini jarang berjalan
Tangan tidak bisa seperti sedia kala
Mata sayu tak ingin bersinar cerah
Mana rasa angkuhmu
Ingatlah saat berjalan membusungkan dada
Berkelakar keras mencerca sesama manusia
Sekarang mana kekuatanmu
Atas semua yang dibanggakan?
Mana kuasamu atas kekuatan yang fana
Selagi kau bisa menyalahkan
Atau merasa paling benar atas pendapat
Yang kau pertahankan
Sekarang mana kuasamu
Atas semua yang kau perintahkan?

Friday 24 February 2017

Ketemu Kawan Lama

Postingan melalui media sosial memang bisa menjadi alat mempertemukan pertemanan kembali. Dari tautan mengenai reportase gowes, salah satu teman SMP mengomentari menanyakan agar bisa gowes bareng beberapa waktu mendatang.
"Ayo katanya mau gowes?", tanya Arif teman SMP yang rumahnya hanya beda desa namun jarang bisa ketemu karena kesibukan.

Selang satu hari setelah itu ada kesempatan yang memungkinkan gowes bersama. Tepatnya hari Jum'at tanggal 23 Febuari 2017, alhamdulillah pagi yang cukup cerah menyambut hari penuh barokah dan sangat cocok sebagai  ajang menyambung tali silaturahmi pertemanan. Melalui pesan singkat aku bertanya,

"Jadi gowes rif, pagi ini ya?", berharap ia mempunyai waktu luang yang sama.

"Oiya, bisa nih ketemuan di perempatan jalan ya?", jawab Arif yang sepertinya harus menjadwalkan kembali aktifitas hari Jum'at ketika saya ajak gowes bareng.

Perjalanan kurang lebih 5 menit dari rumah saya menuju perempatan sebagaimana kesepakatan yang disetujui bersama. Kemudian sampailah ditempat tujuan, namun Arif masih belum tampak datang. Konfirmasi itu berlanjut saat saya memberi tahu keadaan saya sekarang sudah tiba. Tak lama kemudian, ketika saya masih sedang membuka hasi foto di layar handphone, tiba-tiba Arif datang menggunakan sepeda Polygon Siskiu,

"Weey...sori aku datengnya telat karna anakku pengen ikut gowes juga".


Bagi saya itu tidak akan berpengaruh apa-apa karena saya pun memahami kesibukan pagi di setiap keluarga sudah sangat mahfum terjadi. Perjalanan gowes pun dimulai, melalui rute jalan pedesaan bersama menelusuri melihat kesibukan masyarakat pagi ini. Ada yang berangkat ke sawah, mengantarkan anaknya ke sekolah dan kebetulan para pedagang tidak banyak berseliweran mungkin karena hari ini Jum'an Kliwon pasar tradisional tidak begitu tampak keramaian signifikan atas aktifitasnya.

Nostalgia setiap kayuhan mengingatkan kesibukan teman-teman lama yang dahulu pernah satu nasib sebagai pelajar SMP kini tidak sempat bertemu kembali. 

"Masih sering ketemu teman-teman SMP, rif?", dari belakang saya pastikan aman untuk menyalip agar bisa berjejer ngobrol ringan.

"Paling si Rossid terakhir BBM an, kron", jawab Arif yang masih asyik menikmati setiap hentakan ayunan  sepeda fullsus saat melibas jalanan bertekstur agak kasar.

Dari setiap percakapan terjadi kelenjar keringat perlahan mulai bekerja. Ditambah dengan sinar matahari memudahkan pembakaran kalori agar mencapai titik optimal.

Rute yang cukup singkat namun efektif diakhiri di kawasan Lapangan Gemek Kecamatan Kedungwuni. Ternyata keadaan ini bertolak belakang dengan pasar tradisional, malahan pedagang disini lebih banyak,

"Kalau Jum'at Kliwon di Bebekan itu akan lebih rame dibandingkan Jum'at bisanya", jelas Arif yang memilih istirahat sekedar duduk-duduk di depan SMA Kedungwuni.

Obrolan berlanjut mengenai pengalaman-pengalaman setelah lulus SMP hingga sekarang. Ketika ia pernah mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) ada teman satu angkatan SMP yang bertugas di medical chek up dan sempat menanyakan asal sekolahnya,
"Ini Arif alumni SMP 1 Wiradesa kan?", tanya Mbak-mbak penuh penasaran.

Arif pun sedikit kaget atas pertanyaan itu sedang ia pun tidak begitu familiar dengan wajahnya itu.
Hingga akhir pemeriksaa, Arif pun tidak dikasih tahu nama teman seangkatan yang bertugas sebagai asisten medical check up di Kantor Kepolisian tersebut.

Sekilas mendengar cerita yang penuh tawa dengan segenap gelagat "pangkling", menandakan bahwa setiap manusia pada titik tertentu ada perubahan baik fisik maupun ingatan.

Untuk apa Tuhan memberikan perubahan itu?

Agar manusia terus mengingat kepada waktu yang terus berjalan serta menganalisa perubahan-perubahan agar sesuai jalur ketetapan-Nya. Seperti pagi ini waktu singkat semoga bisa memberi manfaat menyambung silaturahmi sebagai perintah agar manusia selalu diikat dalam sebuah persaudaraan. Olah raga itu sebagai alat sedangkan esensi dari semuanya itu adalah sambung secara fisik dan batin sebagai makhluk mempunyai rasa.
"Andaikan setiap alumni mempunyai hobi yang sama seperti ini, mungkin kita bisa ketemu lagi ya", ungkap Arif setelah meneguk air putih dari botol tupperware.

Analisanya sangat memungkinkan terjadi. Pertemanan melalui media sosial tidak menjamin kedekatan jiwa saling mengerti keadaan. Bahkan cenderung cepat mengambil keputusan menilai keadaan atas pemikiran dari setiap status yang diunggahnya. Sedangkan bertemu langsung bisa melihat wajah kita, sorot mata, gaya bahasa serta perilaku yang tidak banyak embel-embel dan dihadapkan di dunia nyata.

Hikmah terindah disaat berceloteh di media sosial seperti facebook tidak dianjurkan sebagaimana justifikasi keadaan seseorang. Itu semua sebagaimana alat sedangkan yang terpenting komunikasi nyata dari setiap individu agar terjalin begitu erat.

Suasana matahari naik bertanda siang hari kan menjelang. Aktifitas lain juga masih banyak harus dikerjakan. Pada akhirnya kita pulang menuju rumahnya masing-masing.

Salam hangat buat teman-teman alumni SMP 1 Wiradesa.


Thursday 23 February 2017

Alasan Laki-laki Belum Menikah

Kalangan masyarakat menilai laki-laki yang sudah mempunyai pekerjaan telah layak menikah dan membangun rumah tangga. Penilaian yang sudah layak akrab memang mudah dikaitkan kepada meraka yaitu laki-laki yang belum menikah. Meski hanya sebatas ucapan bermotivasi sebagai penyemangat atau memang hanya sebagai kelakar ringan mencairkan suasana.

Pada prinsipnya naluri manusia normal sangat ingin sekali hidup berpasang-pasang dan ingin diberi buah hati sebagai pelengkap perjalanan berumah tangga. Ada beberapa alasan disaat laki-laki belum juga membangun rumah tangga. Baik alasan itu dari dalam dirinya ataupun faktor luar sebagai pertimbangan untuk menikah diantaranya :

Belum Cukup Mampu
Ketika laki-laki sudah menemukan perempuan idaman yang sesuai dengan keinginannya adakalanyaa masih mempunyai keraguan mengenai kemampuan baik dari kematangan emosi, pekerjaan (pendapatan) atau pun lainnya. Contoh tersebut diambil dari seringnya alasan laki-laki enggan menyegerakan pernikahan.

Mementingkan Karier
Laki-laki sebagai tulang punggung keluarga tidak ada salahnya bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Proses tanggung jawab tersebut maka ada anggapan  yang terjadi sebelum jenjang, status pekerjaan sudah memasuki titik aman maka belum akan melangsung pernikahan.

Trauma Psikis
Ada rasa ketakutan setelah melakukan pernikahan disaat terjadi pertikaian masalah kemudian berkahir dengan perceraian. Disadari ataupun tidak riwayat tersebut bisa didapatkan apabila selama masa hidupnya sering melihat orang-orang disekitar yang sedang ribut-ribut  masalah bisa jadi dari orang tuanya sendiri. Apalagi mengerti kesalahan dari masing-masing orang tuanya, maka rasa ketakutan menikah baginya akan timbul sehingga tidak akan gegabah dalam memilih calon pendamping hidupnya.

Memilah dan Memilih Pasangan
Istilah memilah itu proses sedangkan memilih adalah eksekusi dari proses itu sendiri. Ada beberapa laki-laki yang memilah calon pendamping mempunyai kriteria baik secara fisik, sifat, pekerjaan serta ketangguhan dari menerima segala macam ujian. Pencarian kriteria tersebut mempunyai waktu tentunya tergantung dengan kehendak-Nya akan cepat atau lambat. Setelah proses memilah kemudian memlilih dari hasil pilihan tersebut sudah klik dengan dirinya, baru akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Mengutamakan Keluarga
Laki-laki yang masih mempunyai orang tua ataupun keluarga akan mempunyai  kewajiban mengampu tugas keluarga. Tugas tersebut berkenaan dengan masalah finansial baik kebutuhan sehari-hari ataupun kebutuhan lain misalnya pendidikan. Adakalanya laki-laki menunda untuk menikah karena masih memfokuskan agar pendidikan adiknya selesai terlebih dahulu atau ada kasus lain orang tuanya merasa khawatir jika laki-laki nya menikah kelak tidak ada yang memperhatikan. Tentunya ini juga sebagai pertimbangan laki-laki dalam menentukan pendamping hidupnya agar kewajibannya terhadap keluarga bisa tetap berjalan.

Belum Mendapat Restu
Proses mengenal perempuan tidak ubahnya merasa nyaman, maka laki-laki harus mampu  diterima dari keluarga perempuan dan juga sebaliknya. Istilah yang gampang disebut yaitu restu.  Terkadang keluarga perempuan tidak ada respon sama sekali terhadap laki-laki yang ingin bergabung  dengan keluarganya. Akhirnya terjadi hubungan percintaan tanpa sepengetahuan orang tua atau sering disebut back street. Laki-laki dalam posisi seperti ini harus mempunyai sikap yang tegas untuk menentukan sikapnya.

Belum Dipertemukan Jodohnya
Adapun alasan yang paling utama bagi laki-laki yang belum menikah yaitu karena memang Tuhan belum mempertemukan jodohnya. Ada maksud lain yang Tuhan berikan kepada manusia jika memang kebutuhan itu belum saatnya terjadi. Bagi laki-laki yang belum dipertemukan jodohnya tetap harus semangat menghadapi kesendirian sambil menata , mental, hati dan pikiran mempersiapkan segala sesuatunya menapaki kehidupan berumah tangga.

Masih banyak sekali alasan-alasan lain yang menyebabkan laki-laki menunda menikah. Kiranya hal-hal tersebut diatas hanya mencakup opini saya yang merasakan hal sama dan sebenarnya kalau boleh ditanya jujur ingin sekali jodoh itu agar segera datang. Hanya harapan terus terjaga semoga Allah SWT menghantarkanya, amin.

Sumber foto : google moslem marriage

Wednesday 22 February 2017

Tukang Cukur Keliling

Tuhan itu maha pemberi rezeki
Termasuk disaat engkau mulai meletakkan kursi plastik
Di atas bok kayu berisi kaca dan gunting
Setiap kayuhan putaran adalah serpihan harapan
Lalu perempuan yang memegang tanganmu
Tatkala engkau beranjak pergi meninggalkan peraduan
Adalah kunci seberapa nikmat hari ini akan diraih
Beraneka ragam cara yang setiap manusia
Tidak akan pernah sampai memikirkan
Kuasa yang Maha Kuasa
Pemberi yang Maha Pemberi
Melihat yang Maha Melihat
Menguasai hati setiap manusia
Memberi sesuatu atas kebutuhan manusia
Melihat atas usaha yang dilakukan manusia
***
Oh... Para pemilik rambut
Atas dasar kedaulatan bagimu
Sebagai laku
Atas nikmat Tuhan yang diberikan untukmu
Istirahatlah sejenak dari bentuk hedonisme
Cukup melihat aku, mungkin cara sederhana ini
Bisa mempertahankan kehidupanku

Aku malu berkata jujur padamu


Setelah 8 Pekan Vakum

Suara ketukan pintu rumah itu terdengar berkali-kali, “Om...om...om Syukron...om...om Syukron”, dari depan rumah suara itu terus menggema hingga belakang rumah.

Pagi hari Ahad 19 Febuari 2017 Om Budi nyamperin dan ngajak gowes. Cuaca lumayan cerah dari pagi-pagi biasanya. Dari bulan Januari hingga Febuari alhamdulillah Allah SWT selalu memberikan Rahmat dari langit berupa air begitu syukurnya pemandangan pagi ini .

Sepeda Specialized merah putih milik Om Budi sudah berada di depan rumah. “Om yukk...berangkat”, ajak Om Budi saat itu mengenakan jersey biru berkantong belakang.

Ritme kayuhan sepeda agak aku tingkatkan kecepatannya, menuju kawasan pantura terasa sangat tidak nyaman. Kendaraan besar terus menjejali jalanan, saling menyalip memaksa pengguna jalan seperti kendaraan bermotor, becak dan sepeda terus menepi hingga kehabisan ruang aman berkendara.
.
Kepulan asap solar terus menderu, menghempas tak terhindarkan. Kaos jersey bagian depan aku tarik ke atas kemudian aku tutupkan ke hidung sebagai cara yang menurutku paling bisa aku lakukan. Kalau pakai masker nafas pun terengah-engah tak beraturan.

“Kok tumben banget ya, truknya banyak?”, tanya Om Budi agak panik disaat truk besar saling salip ingin berada dibagian depan.

Meninggalkan kota kemudian menuju desa rumah tinggalnya Om Royan yaitu Pegandon yang letaknya kurang lebih 4 Km dari kota. Cukup menunggu gang keluar desa, saat setelah itu Om Royan datang menghampiri bersama dengan sepeda GIANT biru kesayangannya.

Kayuhan Om Royan semakin mendekat ke arahku kemudia berkata, “Sudah lama ya nunggu?”, Om Royan bersalaman dengan Om Budi, aku tetap memilih memacu kayuhan agar bisa bertemu dengan Om Amru yang berada sudah standby menghadang di depan jalan kurang lebih 1,5 Km.

Sekitar 15 menit perjalanan full speed sampai di depan SMP Karangdadap posisi Om Amru masih duduk-duduk santai menunggu rombongan kita datang.
“Om Amru...sori baru datang”, sepeda cozmic ku kemudian aku parkir diantara pinggir gang.
“Oya gak papa mas tenang aja, ini saja sekalian istirahat”, jawab Om Amru duduk posisi kaki lurus seperti goweser dalam keadaan lelah sekali.

Aku memilih meregangkan kaki yang mulai tegang melihat di keliling toko-toko belum buka, namun rutinitas masyarakat sudah menunjukkan kegiatannya. Suasana pasar Karangdadap malah telah ramai banyak orang melakukan kegiatan transaksi jual beli komoditas pasar tradisional.
 

Heart rate terasa masih berdegup kencang, ngos-ngosan tak terelakan tidak ada cara lain untuk mengkambinghitamkan latihan gowes yang telah lama tidak dilakukan. “Jarang gowes langsung dihajar full speed, istirahat dulu akh...sebentar ya Om Amru”, usulku kepada Om Amru kemudian beliau langsung mengiyakan usulanku.

Waktu 5 menit telah berlalu, keringat Om Budi paling banyak bercucuran turun dari dahi hingga leher terasa sekali pembakaran lemak-lemak tubuh telah sempurna.
“Om ayo...berangkat lagi menuju Doro”, ucap Om Budi sembari mengambil sepedanya dan mulai mengayuh kembali menuju jalan raya.

Sepanjang jalan aku memlilih paling depan meski ini agak dipaksakan menuju Pasar Doro. Keadaan perut sudah minta diisi makanan. Kayuhan perlahan aku turunkan menuju warung makan di perempatan. Sungguh pagi ini Allah SWT mempertemukan kembali aku dengan Mbah Adem penjual kue bandhos yang sudah pernah saya angkat dalam reportase gowes pada bulan Novemer 2016. Kangen itu terasa terobati setelah sesaat sampai depan warung malah saya lebih memilih bersalaman bareng Mbah Adem sambil membeli kue bandhos.

“Mbah, pripun keadaane, sehat mbah?” (bagaimana keadaannya, sehat kek?), glove ­aku lepas tangan kanan aku sodorkan menarik tangannya Mbah Adem sambil bersalaman.
“Alhamdulillah waras, dik”, jawab Mbah Adem kemudian tersenyum khasnya.
“Bandhos tiga ribu, Mbah”, pesanku agar Mbah Adem memilihkan diantara menunggu hasil adonan yang masih dimasak di loyang pencetakan.
“Ohh iyaa...kok dewekan dik?” (Kok sendirian dek) tanya Mbah Adem tersenyum sesekali mengambil adonan kelapa terigu encer dari ember berwana hijau.
Niki kaleh rencang enten ten wingking Mbah”, (Ini bareng temen dibelakang kek), jawab saya sambil menunggu kue bandhos itu matang.

Dalam waktu beberapa detik rombongan lainnya pun datang bersama itu pula kue bandhos pun akhirnya jadi.
“Ini Om Royan kue bandhosnya”, bingkisan berbentuk kota aku buka berisi 6 pasang kue bandos siap makan.
“Enak tho Om?”, tanyaku kepada Om Royan, menikmati panasnya kue bandhos yang dimakannya.
“Enak om, ini simbahnya difoto mas!”, perintah Om Royan kepadaku.
“Udah aku buatkan reportase kok Om Roy”, jawabku sambil memegang handphone android.
Dari situlah Om Royan merasa penasaran mengenai sosok Mbah Adem yang penuh inspirasi. Berbagai pertanyaan yang dikontarkan kepada Mbah Adem termasuk mengenai eksistensinya sebagai pedagang kue bandhos hingga sekarang.

Keadaan warung mulai lengang, Om Budi tancap gas memesan seporsi nasi pecel begitupun Om Royan dan Om Amru. Meski aku telah merasakan lapar yang sangat luar biasa, pertemuanku dengan Mbah Adem membuat rasa lapar itu lebih tidak begitu terasa. 
Lalu Om Amru keluar dari warung lalu berkata, “Om, ayo sarapan”, langsung turun agar tempat duduk yang berada di dalam warung bisa bergantian. Akupun mengiyakan ajakan dari Om Amru, satu porsi nasi pecel sebagai menu sarapan kali ini.

Perut sudah terisi hampir penuh setelah sayur pecel habis beserta nasi putih diakhiri dengan teh panas sebagai penutupnya. Terasa nyaman sekali perut ini, ternyata tidak hanya aku yang merasakan nikmat kenyang,
“Wah...kenyang banget porsinya”, ucap Om Amru disaat membawa sepeda beranjak meninggalkan warung. Memang benar mungkin karena sayur kaya akan serat jadi terasa penuh mengisi perut. Sampai akhirnya kita melanjutkan perjalanan.

“Kemana lagi nih Om Roy?”, tanyaku sambil membawa sepeda meninggalkan warung sementara Mas Royan sudah berada di depan rombongan hingga ke arah barat depan pasar.
“Kita langsung cari duren ke arah Lemah Abang”, jawab Om Royan mempercepat kayuhan. Kawasan Lemah Abang adalah daerah banyak sekali pedagang durian di Kecamatan Doro. Biasanya ada pedagang disini membelinya langsung dari petani durian. Kualitasnya dijamin durian lokal bukan durian kiriman dari daerah lain.

“Biasanya Om Budi lebih tahu mas, rumah bapak penjual durian di Lemah Abang”, begitulah ungkap Om Royan ketika melalui tugu selamat datang di Desa Lemah Abang.

Pedaling pilihan utama melewati tanjakan yang cukup tinggi, degupan jantung atau irama heart rate semakin naik. Om Budi dan Om Amru dibelakang Om Royan, sedangkan aku masih terus mengawal didepan. Lalu pada tanjankan terakhir Om Royan menyalip. Memang sudah expert Om Royan di trek tanjakan.


“Oh...ampun bos tanjakannya!”, keringat terus mengucur membasahi jersey sahutku kepada Om Royan.
Akhirnya telah sampailah dirumah pedagang durian yang tidak sempat menanyakan namanya. Om Budi menghampiri rumah pedagang itu, namun apa daya bapak pedagang yang dimaksud tidak ada dirumah perjalanan pulanglah kemudian yang kita pilih.

Tidak seperti berangkat perjalanan pulang kecepatan turunan lebih dahsyat kencangnya. Kita tidak bisa mengukur karena disepeda tidak terpasang alat pengukur kecepatan. Handling dan breaking yang bisa kita lakukan agar tetap aman selama perjalanan. Tujuan pulang ke rumah masing-masing menjadi esensi perjalanan pulang sementara siang harinya harus tetap bekerja hingga malam.