Wednesday 12 October 2016

Kopi Tempel bagi Pengguna Media Sosial

Malam penuh kehangatan diantara rasa kantuk ada rasa kerinduan menulis sesuatu, tentang kopi dihadapan masyarakat. Menjamurnya penjaja warung kopi disekitaran Pekalongan memberikan tanda sebuah tradisi “ngopi” semakin menunjukkan eksistensinya. Penataan lampu led agak remang nuansa artistik ala “cafe” memberikan nilai plus dalam segi penataan kios meskipun berada dipinggir trotoar.

Prolog mengenai dasar judul kali ini Saya tidak akan membahas lebih dalam tentang minuman yang bernama kopi. Melainkan penggunaan kata kopi mempunya homonim dengan kata dari istilah bahasa inggris yaitu “copy” yang berarti salin atau menggandakan. Sering kita mendengar disaat berhubungan dengan alat yang berupa software digital baik komputer atau perangkat lainnya misalnya smartphone istilah “copy” sering digunakan. Adapun pasangannya sebagai eksekusi dari tindakan tersebut yaitu paste atau tempel. Dua kata selalu beriringan serasa sebuah tindakan sebab akibat yang tak dapat dipisahkan.

Istilah “copy paste” atau Saya lebih enak menyebutnya kopi tempel sangat memudahkan dalam menyalin data. Kelebihan diantaranya yaitu tidak ada kekurangan apapun, bisa dikatakan hasil dari kopi tempel mempunyai keakurataan data 100% dari data asli yang disajikan. Merambah hal lain berbasis informasi media online yang berkembang melalui status jejaring sosial seperti facebook, twitter dan lain sebagainya. Semakin hari terus merasuk ditiap detik informasi tersebut seakan mengudara bagi yang mengikuti atau menerimanya dalam bentuk sebuah tautan.

Kemajuan aplikasi pengunggah tulisan turut memberikan andil kepada pengguna internet memvisualisasikan ide dan pemikirannya. Sifat tersebut masih dalam batas netral artinya bisa digunakan sebagaimana mestinya dalam ranah hal positif akan melahirkan ajakan kebaikan seperti memotivasi pembaca ataupun memberikan pengetahuan baru lainnya. Saya pun menyayangkan masih banyak penyalahgunaakan karya berupa tulisan sebagai alat pemprovokasi keadaan tatkala terjadi masalah atau acara rutin pemilu baik presiden maupun daerah.

Resolusi masalah yang diungkapkan ke media belum menjamin kedalaman serta kejelian baik isi maupun referensi.  Hal ini dapat berakibat apabila menjadi sesuatu acuan orang lain yang hanya meng-“kopi tempel” sekaligus disebarluaskan akan berakibat sebagai informasi yang tidak bertanggung jawab secara moral bahkan berpotensi menjadi provokasi keadaan.

Menurut Saya langkah yang patut dilalui bagi pengguna internet baik berupa media sosial ataupun sejenisnya dapat memberikan filter yang berhubungan dengan informasi yang berkembang. Kategori pemfilteran masalah dilihat dari berbagai cara diantaranya melakukan pengecekan terhadap akun pembawa berita baik secara isi ataupun tendensi sebuah media elektronik, commond sense yaitu menanyakan manfaat atau kemungkinan negatif yang akan terjadi, sebelum menyebarkan berita kepada orang lain dan terakhir mencoba membuat berita melalui aplikasi pengunggah tulisan berisi  tentang sesuatu disekitar kita yang bisa diberikan manfaatnya kepada orang lain.  

Memberikan informasi bukan semata-mata seperti wartawan yang benar-benar bekerja dengan spesifikasi pengalaman bidang jurnalistik. Sebenarnya sangat mudah, dimulai dari sebuah hobi yang sekarang masih ditekuni. Bagi seseorang yang hobi memasak, selain masih tetap tersalurkan dan tidak hanya sampai dalam membuat makanan, akan lebih baik apabila pengalaman tersebut dibuat dalam bentuk catatan pengalaman pribadi. Melalui media sosial pengalaman tersebut dibagikan dengan keasilan isi maupun kejernihan berita dari pengalamannya sendiri.

Contoh lain bagi seseorang yang mempunyai hobi travelling setiap destinasi yang dijumpainya tentunya mempunyai kesan yang dirasakan sendiri. Saya amati ada kecenderungan khususnya bagi penghobi kegiatan ini lebih mementingkan pengakuan publik melalui visualisasi foto yang lebih mudah dilakukan. Hanya bermodal kamera melalui smart phone atau sejenisnya kemudian mengunggahnya serasa sudah mendapatkan pengakuan dari orang lain yang belum tentu bisa melakukannya.

Pada dasarnya pengalaman positif bukan hanya sebatas pengakuan kemampuan individu melainkan sensitifitas dalam melihat sesuatu yang disekitarnya untuk dapat bermanfaat orang lain. Hal itu yang menjadi tujuan dari media sosial, misalkan facebook dalam kolom status dituliskan “Apa yang Anda pikirkan?”, secara buku panduan aplikasi menerangkan bahwa facebook sudah mengarahkan ketujuan netralitas bagi penggunanya. Pengguna akan diberi kebebasan dalam memberikan pemikiran yang sesuai  dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Keseluruhan dari yang diberikan kepada orang lain hasilnya dapat diketahui kemampuan baik cara berfikir, tingkat emosional, resolusi pandang sebuah masalah dari pengguna akun akan bergantung dari status yang diunggahnya.  Adanya kemadirian dalam berfikir, kejernihan dalam memberikan sesuatu akan mengajarkan nilai-nilai edukasi kepada masyarakat tentang nilai tanggung jawab di era informasi yang serba elektronik.


Keprihatinan Saya sudah sangat miris terhadap informasi yang beredar khususnya melalui facebook. Tingkat kesalahan dari informasi bahkan tidak ada artinya semua menganggap benar dan orang lain harus mengakui kebenaran informasi yang ada. Akhirnya setiap orang mempunyai perspektif informasi yang saling membenarkan tanpa didahului dengan kedewasaan menyikapi perbedaan. Layaknya kopi tempel yang selalu diminum dan diberitakan kepada orang lain melalui media sosial.

                                 foto:google

No comments:

Post a Comment