Tuesday 24 July 2018

SKTM milik Siapa?

Ulasan ini saya tulis karena latar belakang keluarga yang mendasarinya. Saya terlahir dari keluarga saya sebagai orang pendidik. Ibu saya mantan seorang guru Sekolah Dasar sedangkan kakak saya laki-laki masih aktif sebagai staf pengajar teknik di sebuah Sekolah Mengengah Kejuruan di tempat kelahiran saya, Pekalongan. Tak luput dari perannya sebagai fasilitator di dunia pendidikan, beliau sering berbagi pengalaman serta pendapat seputar dunia pendidikan termasuk maraknya penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang menjadi perbincangan publik.

Alhamdulillah saya tidak berkecimpung di dunia pendidikan. Saya memilih di jalur lain yang sangat berbeda. Saya menikmati ketidaktahuan ini, menjadi orang awam ternyata membuat saya lebih terpacu ingin mencari tahu sebenarnya yang telah terjadi. Saya perlu mencari pendekatan sosial kultural untuk mencari input yang bisa saya telaah sedikit demi sedikit.  Meski secara korelasi bagi para pakar yang ahli di bidangnya ini, mungkin pendapat saya ini hanya dipandang sebelah mata. Bisa pula hanya dianggap orang yang mengigau di siang hari.

Pembahasan SKTM sebaiknya diawali dengan mengetahui pengertian makna istilah kemiskinan yang berada di masyarakat. Makna tersebut berbeda dengan arti istilah yang menurut perundangan mengatur masalah ini. Penjelasan makna tersebut hanya sebuah cara pendekatan masalah agar memudahkan menganalisa syukur-syukur bisa menjadi evaluasi terhadap diri saya sendiri yang masih butuh pencerahan dari berbagai pihak. Adapun makna tersebut diantaranya yaitu kemiskinan yang bersifat material, dalam konteks struktural, kemiskinan dalam mentalitas dan kemiskinan sebagai wadah keseluruhan dari makna sebelumnya, yaitu kemiskinan pengamalan beragama.

Kemiskinan bersifat material merupakan pandangan pemerintah atas ketidakmampuan orang tua karena keterbatasan penghasilan. Wujud alasan dari kemiskinan material mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan keringanan biaya bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Umumnya istilah miskin kategori ini lebih mudah, bisa dilihat dari fisik dhohir-nya meski kadang untuk menentukan kategorinya petugas harus mempunyai konsep kejelian, keadilan serta keluasan pandang.

Kemiskinan konteks struktural, pendekatannya pada pola-pola kebiasaan alamiah yang terjadi di masyarakat. Secara tidak langsung dari mata pencaharian, pendapatan, keadaan tempat tinggal masyarakat membuat pengkategorian kemiskinan secara subyektif. Pemerintah yang diwakili pemerintah desa tidak mempunyai kedekatan ruang pandang mikroskopis. Artinya dalam menggolongkan satu rumah sebagai golongan miskin atau tidak, mempunyai resiko tanggung jawab lebih besar. Meskipun secara peraturan perundangan kategori keluarga yang tidak mampu mempunyai persyaratan yang harus terpenuhi. Jika saja pemerintah desa mengeluarkan SKTM kepada kepala keluarga yang berpenghasilan rata-rata 20 rupiah setiap hari, maka untuk keesokan harinya jangan sampai SKTM diberikan kepada keluarga yang berpenghasilan 100 ribu perharinya. Sedang para calon pembuat SKTM untuk sekedar memberikan informasi pendapatannya secara jujur masih belum mencapai nilai optimal, masih sembunyi-sembunyi dan berwarna abu-abu.

Kemiskinan mentalitas berpijak pada gejala demam masyarakat yang mendadak miskin. Pencetus tersebut disebabkan dari program yang diselenggarakan pemerintah yang disana ada kebijakan “bagi-bagi” dalam hal apapun. Sejarah telah mencatat  program pemerintah dalam Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Raskin, Jaminan Kesehatan dan terakhir pada program pendidikan. Kesemuanya program tersebut tidak jarang menimbulkan polemik horisontal antar sesama masyarakat, pemerintah desa maupun instansi lain yang berhubungan dengan program tersebut.

Penjabaran makna kemiskinan yang terakhir sangat sensitif terhadap kebiasaan pengamalan beragama. Jauh dari tulisan ini dibuat saya tidak bermaksud menyinggung dari kualitas beribadah dari sisi personalitas. Saya meyakini seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang berketuhanan Yang Maha Esa. Saya hanya berharap falsafah negara sudah mempunyai modal yang sangat besar. Hendaknya kita sama-sama menjunjung tinggi nilai keagamaan yang lebih rinci yaitu kejujuran. Saya pun tidak berani mengatakan semua pembuat SKTM bukan orang jujur. Alangkah baiknya sebelum kaki melangkah menuju kantor kepala desa hendaknya kita menghitung nikmat-nikmat Tuhan yang telah Dia berikan. Kendaraan roda dua tahun pembuataannya di atas tahun 2010, kebun atau sawah yang luasan berkahnya bisa memberikan nafas kehidupan dan terakhir nikmat sehat yang masih bersemangat bahwa esok Tuhan akan memberikan jawaban kesulitan jika niatan tulus memberikan biaya pendidikan. Itu semua sebagai nikmat Tuhan yang sejatinya tidak boleh dipungkiri dan mengatakan sebagai masyarakat miskin.




2 comments:

  1. dijaman now ini byk yg beranggapan bhw wong miskin di uwongke misal gak punya beras dikasih raskin, gak punya lauk dikasih BLT, gak bs nyangoni sekolah (ktnya sekolah gratis) dikasih KIP, gak bs masuk sklh favorit cukup pake SKTM...dan bagi org yg kaya jg enak ktnya...anaknya ga lolos masuk sklh yg diharapkan tinggal kluar duit bs lolos,gak bs cari krj byr blkng dp posisi....loh lha?!nah bagi yg menengah hidupnya...hrs byk menabung, berdoa,n memberi semangat pd anaknya agar bs bersaing....kedepannya siapa yg bertahan dg situasi ini??? ...mungkin org miskin ato yg merasa miskin jangka pendeknya senang namun tanpa dia sadari jangka panjang akan melahirkan generasi2 miskin dr turunannya...krn sdh terbiasa hidup di mudahkan n mentalnya terbiasa bermental lemah...dan itu salah siapa...siapa yg salah...loh lha?!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sangat mendetail mbak analisanya, memang mendidik agar tidak bermental "mengharap" dan "meminta" sebagai PR kita semua jika dikembangkan menjadi pandangan lebih luas dalam bidang pekerjaan pun akan lebih kuat jika bisa pekerja yang berdiri sendiri dan bisa menjadi pohon besar sebagai tempat teduh orang lain.

      Delete