Sunday 22 July 2018

Pamer


Rasanya kok rugi, memaknai kata tersebut apabila pikiran kita rasanya masih saja menari-nari pada satu pengertian. Konon berbagai tempat wisata telah disinggahi, aneka kuliner sudah dicicipi dan berbagai seminar motivasi sudah diikuti. Memaknai kata pamer, dari SD hingga pendidikan yang pernah "nggerogoti" kursi lipatnya kampus masih liner serta ajeg tidak ingin mencari tahu pergeseran makna lain yang mungkin saja berdampak kebaikan.

Tradisi mudik terasa membawa pelajaran bagi saya. Terutama kaum pemudik itu dari teman terdekat, pasti saya suruh bernarasi tentang pengalaman hidup termasuk hal terkecil yang terjadi selama di perjalanan. Dari gejala cara berkomunikasi arus mudik yang populer dengan istilah "Pamer Susu", bisa melonggarkan batasan kekencangan otot kita tentang istilah pamer. Dalam komunikasi antar pemudik kata tersebut berarti padat merayap susul-menyusul. Setidaknya para pemudik itu, bisa memanfaatkan idiom bagian yang berkonotasi negatif diubahnya menjadi bahasa informatif saat berkomunikasi.

Bersosial dalam 2 dimensi seperti di dunia maya mempunyai keterbatasan. Pergeseran tujuan pose foto media sosial yang di unggah bisa berbeda tujuan dengan penilaian khalayak. Sedang secara resolusi pandang tidak mengetahui kebiasaan yang menurutnya wajar sedang baginya tidak menjadi masalah. Asumsi kewajaran tersebut karena pertemanan lain yang mempunyai kesamaan strata sosial ekonomi bahwa hal tersebut telah mahfum bukan penunjukan kelebihan. Dari sisi heterogenitas perbedaan kebiasaan sebenarnya sudah sedikit bisa terjawabkan.

Sepatutnya juga harus sering menarik nafas lebih dalam. Kalau Anda seorang juragan ternak mempunyai pertemanan dengan seorang kontraktor bangunan jangan buru-buru mengatakan beliau pamer. Saat memposting pose berdiri di lobi gedung mewah bertingkat. Bisa bertujuan agar bangunan tersebut bisa segera digunakan, sehingga pembayaran proyek segera dilunasi. Sedang jarak resolusi pemahaman dari khalayak tidak sampai sel-sel tujuan awal foto tersebut di unggah.

Hobi pelayar samudera yang menggunggah foto saat berkeliling Benua Eropa bisa jadi bukan niatnya untuk memamerkan kepada Anda yang hobinya piknik di belakang rumah. Mereka sudah tahu bahwa sangat terlalu berat orang lain bisa meniru kebiasaannya. Bagi mereka, hal tersebut hal yang wajar karena teman sejawatnya juga melakukan hal yang sama. Mereka berbagi pengalaman perjalanan serta menyisipkan cerita. Sedang orang lain yang kapasitasnya berbeda seharusnya merasa bersyukur mengetahui berbagai macam informasi dunia bukan sebagai justifikator pamer yang terus disebarkan.

Beda lagi apabila teman Anda seorang pembaru dalam berpikir, setiap hari akan disuguhi uneg-uneg diluar konteks umumnya. Segala macam buah pikiran yang diutarakan tersebut bukan pertanda pamer unjuk kepandaian. Penyebab dari itu pada dasarnya dari seluruh temannya pun melakukan hal sama, sedang pijakan Anda mungkin sudah berbeda latar belakang. Itu pun masih tidak tahu menahu kebiasaan teman-temannya membagi pola berpikirnya menghadapi permasalahan.

Saya lebih setuju jika kemesraan pertemanan itu dalam dunia nyata. Keterikatan batin bisa memahami latar belakang, kebiasaan, serta mengenal lebih dekat itu jauh lebih penting. Kalau perlu mengerti atitud, kebiasaan pergaulannya sehari-hari. Sekalipun teman Anda dalam kehidupan nyata ada benih kebanggan yang berindikasi pamer. Anda akan lebih bernilai jika itu cukup dipahami saja, serta doakan agar Tuhan senantiasa selalu membimbingnya.

Penguasaan teknologi yang tidak dibarengi pengendalian penilaian akan berpotensi merugikan. Mengatakan pamer akan lebih berbahaya, karena mengatakan pamer secara verbal berarti telah mengetahui niat sebenarnya. Takaran manusia mampu melihat niat seseorang dalam hati berarti bisa melihat yang tak kasat mata. Sungguh hebatnya yang demikian, sedangkan tujuan awal mungkin bisa berbeda bahkan bertolak belakang.

Saya memerkan "dingklik", lalu apa dapat Anda pikirkan?




No comments:

Post a Comment