Monday 13 June 2016

TONG-TONG PREK

Merupakan tradisi membangunkan sahur dibulan Ramadhan. Nama tersebut tentunya masing-masing daerah berbeda. Seringnya tradisi ini dilakukan oleh anak-anak, sembari menunggu waktu sahur berkeliling membunyikan kentongan. Berkeliling membunyikan seperangkat kentongan, panci logam, ember besar memutar kampung berpindah dari satu gang ke gang yang lain menyuarakan sahur-sahur diselingi lagu-lagu sederhana yang mengundang gelak tawa.

Adapun kentongan itu sendiri terbuat dari bambu bagian batang antar ruas sengaja dilubangi memanjang kemudian bagian atasnya sebagai pegangan. Alat pemukulnya dapat terbuat dari kayu juga yang apabila diketuk berbunyi ‘tong. Suara khas seperti kentongan konvensional yang sering digunakan pos ronda. Biasanya satu minggu sebelum nya kentongan sudah dibuatnya mendekati hari menjelang puasa mereka sibuk memainkannya selepas sholat isya. Sebagai tanda luapan kegembiraan bahwa mereka akan berjumpa bulan yang penuh berkah bulan Ramadhan.

Tidak hanya itu suara lain sebagai pelengkap berasal dari panci logam, yang menghasilkan suara ‘prek. Mereka mencari panci logam yang tidak terpakai di rumahnya sebagai pelengkap suara atau barang lain seperti ember bekas, galon  dan sebagainya.  Kreatifitas yang turun yang terus dilestarikan hingga sekarang dan tidak jauh berbeda baik segi alat maupun cara penyampaiannya.

Herannya mereka (anak-anak) rela bangun dini hari jam 01.00 rela menunggu temannya di perempatan jalan yang notabene apabila hari-hari biasa untuk bangun jam 5 saja belum tentu mau, bahkan untuk ke kamar mandi pun harus ditemani orang tuanya. Berasa seperti dihipnotis mereka bisa bangun tanpa dibangunkan orang tuanya dengan penuh semangat temannya berdatangan ke rumahnya jika sepertinya belum tampak hadir sedang merela sudah datang semuanya.

Semangat mereka masih polos menyambut bulan Ramadhan, keadaan seperti ini hanya dijumpai dikampung pinggiran.  Daerah perkotaan belum bisa dikatakan aman bagi anak-anak yang keluar dini hari meskipun mereka tidak sendiri sehingga orang tuanya merasa kurang aman bagi anaknya untuk bisa berinteraksi sekedar untuk membangunkan sahur. Memang secara interaksi sosial di desa sangat lekat dengan guyub rukun, gotong royong dan jiwa-jiwa saling mengingatkan satu sama lain.


No comments:

Post a Comment