Tuesday 28 June 2016

Negeri Dongeng

Dharma masih terasa entheng bekerja seperti biasanya suasana jalanan masih sepi. Terlebih pagi menjelang subuh warung-warung makan belum buka tapi entah lah jika fajar menyingsing mungkin jalanan ini sibuk dengan penuhnya parkiran motor melingkupi sekitaran warung. Kicauan suara masyarakat sekitaran telah reda atas azas keberadaan warung bagai gema disiang hari memilukan bulan penuh kesucian.

Bagi Dharma semua yang dikicaukan hanya tanggapan sebuah adegan sandiwara yang nanti melahirkan lakon-lakon kewayangan bagi negara dongeng yang sesama wayangnya sibuk atas jatidirinya. Tetap berjalan sesuai koridornya sebagai kepala keluarga Dharma memilih tersenyum sehat bagi Angger anak semata wayang harapan besar kelak dihari tua. Udara Ramadhan pun seakan berganti menyambut lebaran bulan yang penuh maaf.

Sepeda bututnya dipegangi berjalan diantara barang dagangan dibelakang sebuah anyaman bambu besar disamping kanan dan kirinya. Mata sayup terlalu dini untuk mengalah dengan ego membara. Hasratnya menjadi petuah bagi Angger yang masih ingin melihat bapak tersenyum menghadap sang fajar. Langkahnya memayung dari menghadapi keputusasaan hidup, mengeluhpun bukan alasan utama untuk selalu berjuang demi sebuah kewajaran hidup nya tak mengatakan tertatih  bahkan merintih. Asa terus diperbaharui mengalahkan untuk tunduk dari kemanjaan yang dinamakan kesusahan.

Setengah jam berlalu berkayuh diatas sepeda, Dharma terhenti di perempatan jalan kios penjaja burung kicauan. Gantungan kotak terpasang di teras kios menjadi pusat pandangan kicau mania sekedar bertegur sapa melihat kemolekan burung serta ketangguhan paruhnya menyuarakan kelantangan. Rohman seakan tau rezekinya datang seiring pintu kiosnya dibuka disaat itu pula Dharma datang melihat keasyikan memanjakan burung dengan sebidang kolam kecil yang terbuat dari plastik kemudian kedua sayapnya mengepakan kegirangan. Mangkok kecil berisikan jamu bagi burung agar tetap menjadi kebanggaan kejuaraan hidup yang terus menjadi label dan burung menjadi wajah eksploitasi dari kenyataan persaingan pemilik burung.

Jamu buatan bagi burung berkicau sekali lagi menjadi pemaksaan kodrat alam agar berbondong-bondong turut masuk menjadi sebuah program besar yang blur baik tujuan dan kapasitasnya. Maka Dharma mencoba larut seakan tergiur atas ajakan Rohman atas dasar ketangguhan dan sukses diajang yang katanya menuju sukses dunia perkicauan. Kantong celana telah dimasuki tangan kembali keluar sekonyong-konyongnya jumlah saku sesuatu didalam celana telah berkurang dalam menebus jamu bagi kicuan. Perjalanan hidup terus berjalan dengan segala kegiatan keseharian Dharma atas jual beli sebuah sistem dari perdagangan tradisional, lalu lelahnya seakan terbayarkan dengan langkah menuju pulang bertemu istri kedua yang hidup disebuah kotak bergelantung diatas atap rumah.

Yatmi wajah kesederhanaannya menyapa Dharma penuh kelembutan tatkala ia pulang dengan kagetnya  telah terlebih dahulu menyapa penghuni kotak, kemudian turut bersiul menyambangi kegirangan disaat keadaan rumah sunyi senyap melanda. Diambilnya jamu dari sakunya sembari menyiapkan seteguk air sebagai penyela kicauan yang telah ada. Yatmi masih melihat Dharma seketika itu ia menyebutkan telah adanya suara bahwa ada etikad orang yang tidak waras membuat jamu palsu untuk kicauan. Tak menggubrisi ulasan kesungguhan Yatmi menceritakan adanya ketidakwarasan kaum menjalani hidupnya atas penipuan yang terus bergulir kabar menyebar seakan melukiskan sebuah tanda bahaya.

Dharma dingin mendengarkan semua cerita Yatmi, bukan karena ketidakpercayaan atas beritanya melainkan masih berfikir dongeng apa yang melatarbelakangi dari penebaran sebuah informasi. Dongeng selalu muncul atas kepentingan besar yang masih abu-abu bahkan blur. Melayang sejenak melihat angkasa lalu mulai  menilik sebuah pengawasan jamu maka pun patut diberikan sebuah kesempatan untuk bicara alasan mengenai lolosnya kamuflase perdagangan. Sejak kapan merebak, untuk apa maksud tujuannya, kemudian darimana asal bahan-bahan yang digunakannya, seakan harus bertanggung jawab penuh atas kejadian. Lebih jauh melayang terlihat isu besar atas penguasaan dunia disegala lini kehidupan. Terlepas terbukti ataupun tidak pemainnya sangat halus menyusup direlung birokrasi yang bertindak kebenaran atas pendapatnya sendiri kalaupun tidak, pembenaran yang bersifat absolut dunia agar patuh atas doktrin-doktrin keilmuan.

Mengurangi jumlah koloni dengan merubah cara berfikir dan bertindak menghadapi sebuah persoalan kehidupan. Perang otak yang begitu halusnya tak menyadari bahwa sel-sel otak telah dirasuki pembenaran yang belum tentu benar. Jika masih ragu maka keraguan akan lebih bercondong untuk membenarkan dasar mereka yang terus dilindungi birokrasi yang disusun tanpa sadar akan merusak koloni perkicuauan itu sendiri.

Dibuatnya sebuah strategi rencana kecil dalam kurun waktu sangat singkat akan berdampak lama-lama membesar kemudian tujuan utamanya pelan-pelan merasuk dalam merubah paradigma menjadi instan berfikir dan bertindak. Silih bergilir dongeng-dongeng penghantar tidur bergantikan tema dalam sepekan lalu membahasnya dalam pergolakan pro maupun kontra, antara yang setuju maupun tidak dan sebagainya. Selayaknya anak kecil yang terus berkhayal diruang mimpi dengan iming kemudahan, matrialisme, budaya konsumtif, demokrasi bebas, dongeng terus diceritakan hingga mata tak mampu membuka, dengan lelapnya seluruh tempat tidur telah beralih fungsi menjadi kekayaan resmi bagi pendongengnya.

Berjalan dikesunyian berada dijalur tengah dengan kealpaan informasi namun berjuang demi kehidupan dirinya. Mengalahkan ego, meredakan amarah, luasan berfikir, memetakkan masalah termasuk didalamnya usaha cara-cara menempuh rasa kesyukuran atas pencapaian dini hari tanpa terlelap hingga fajar akan bersahabat menempuh esok pagi yang cerah bukan keadaan yang sekarang dan terus dirayakan kelemahannya. Sebaik-baiknya masalah maka kembali kepada Dzat yang bisa mengatasi masalahnya bahkan untuk selalu bersyukur patut untuk diusahakannya.

No comments:

Post a Comment