Monday 6 June 2016

Tamu yang Kurang Ajar

Ku biarkan kau datang langkahmu tertatih-tatih membawa asa mu untuk hidup. Sayup mata bergaris dengan kulit memucat keringat dingin saat berjabat tangan. Segelas air putih aku berikan saat itu, keringatmu bercucuran, mengucur tiada derasnya. Kain yang aku beli dari pasar kemarin, kemudian aku ambil dalam lemari jati ku dalam sebuah kotak pusaka warisan nenek moyangku. Aku basuh dikedua pelipismu hingga kamu tertidur pulas di kursi panjang sebagai tamu istimewa. Siang menjelang malam, masih pulas mendengkur hingga aku biarkan semuanya terjadi.

Tetangga datang lalu berkata, “Siapakah dia yang tidur di kursi itu?”
“Dia  adalah adik iparku yang datang dari luar kota”
Mendengar hal itu maka tetanggaku melaporkan kepada pak RT, kemudian beliau datang
“Hey ...sudah izinkah kamu atas dia yang bertamu hingga larut malam?”
Aku pun menjawab, “Belum izin pak...Aku masih belum tega dengannya yang masih terus tertidur”.
“Jika itu alasanmu, biarkan aku yang akan menariknya kerah bajunya agar kancing baju paling atas lepas tiada terkira” luapan Pak RT dengan mata membelalak.
“Jangan begitu pak...dia adik ipar saya...saya mohon biar esok kami datang ke rumah Pak RT”.

Malam yang tak seperti biasanya dingin menerpa dalam pori-pori dinding rumah. Selimut hanya satu yang sengaja aku berikan kepada anakku. Biarlah dia masih bercerita sembari aku menunggu dia tertidur. Kunyanyikan sajak kehidupan agar kelak dia lekas tidur lupa akan waktunya. Tanganku mengisyaratkan dengan arah terdekat matanya, kemudian dia tidak bergeming ataupun berontak. Selimut perlahan aku buka dari bagian yang menutup kedua kakinya. Aku harus tega, aku harus tega, dan aku harus tega.

Tubuhmu menggigil kedinginan aku percaya karena kamu baru merasakan udara malam. Selimut aku bentangkan menutup tubuhmu dan kamu masih tetap tertidur pulas. Tengah malam aku baru merasakan nikmatnya hidup, aku masih percaya Tuhan masih sayang kepada hamba-Ny

***
Fajar menyingsing dari depan rumah, meja dengan sarapan nasi bungkus lengkap teh panas telah tersaji. Aku bahagia melihat kamu makan dengan lahapnya satu bungkus bagianku turut aku berikan secara cuma-Cuma untukmu. Aku biarkan kamu pergi membawa guci yang kamu bawa untuk dijual ke pasar.

Aku tersenyum dalam langkahnya denga doa bahwasanya lebih bisa menghasilkan sebagaimana tujuan yang ia sampaikan. Ritme nafas aku hela mendalam sedikit lega atas beban yang mendera. Anak dan istri masih bisa menerima keadaan yang sangat bertolak belakang dengan keinginannya.

Magrib telah menjelang, tubuhku masih terguyur air dibelakang rumah. Ketukan pintu yang tak seperti biasanya, keras dan semakin kencang, terasa sudah bukan manusia yang mempunyai adat kebiasaan. Istri pun membuka pintu depan kemudian terlihat tubuh manusia dekil karena asap solar mewarnai kulit putihnya. Aku pun kembali mengizinkanmu masuk rumah, dari gelagatmu malam ini masih sama dengan hari kemarin. Hari in, hari kedua kamu menginap di rumahku yang terus berlanjut pada titik jenuh aku menyewakan kamar kos kepunyaan juragan singkong khusus untuk tempat kembali beristirahat kepadamu.

Pada suatu masanya kejayaan menimpamu. Angkuh mengungguli manusia bahkan atas nama  Tuhan engkau sebut demi kepentingan kepopuleran untuk dilihat kiprahmu bagi masyarakat dan sampai sekarang aku belum percaya atas ketulusanmu.

Senyum manis mengetuk pintu
Hati dan tangan terbuka dipersilakan
Berbincang kesana kemari hingga capek berbusa
Lelah menghantar ucapannya dari duduk diruang tamu kemudian berjalan 
Arah mulai ke belakang dengan dibawanya ideologi seorang tamu 
Salah satu keluarga mulai geram atas pemutarbalikan atas ideologi yg dibawanya
Tamu pun kembali berulah masuk ke kamar pemilik rumah sedikit demi sedikit
Mengusik sesuatu yang pribadi dan bukan kewenangannya
Kurang ajar...


No comments:

Post a Comment