Diantara kesibukan
tetangga yang sedang asyik menikmati hari liburnya, saya memilih gowes
mengurangi berat tubuh karena kancing celana sudah mulai gak cukup lagi.
Semenjak bulan Desember hingga Febuari kemarin curah hujan cukup tinggi, kok
mau gowes kadang memulai aktifitas lainnya saja masih mempertimbangkan urgent
atau tidak. Meski kalau gowes ini bisa masuk 2 kategori tersebut. Hal yang terpenting
tetep harus gowes hari minggu ini, syukur-syukur
bisa ngurangin lemak
biarpun cuma sedikit.
Dari rumah hanya
seorang diri alias sendiran menuju ke Desa Pamutih salah satu desa di Kecamatan
Ulujami Kabupaten Pemalang. Hidrobag berisi tool, pompa, ban cadangan dan botol
tupperware berisi air putih cukuplah hanya gowes ringan biar kelihatan atlet
meskipun cakupannya tingkat RT. Ada yang tak ketinggalan yaitu smartphone android yang sebelumnya saya
nyalakan aplikasi pengitungan jarak tempuh bersepeda dengan sensor GPS. Semuanya
disiapkan sebagai bekal pelengkap yang digendong kemana-mana.
Kayuhan pertama saya
lakukan dan seterusnya perlahan meninggalkan rumah. Suasana komplek perumahan
masih sepi tidak menampakkan aktifitas yang muncul diluar rumah. Om Edy telah
mewanti-wanti agar ketika sampai di Desa Tasikrejo harap menghubunginya.
Sekilas tentang
Desa Pamutih berada di Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang, tempat lahirnya Om
Edy teman seperjuangan gowes saya. Ada hal yang menarik bagi saya di desa ini
yaitu tentang jahe susu dan hasil pertanian berupa tanaman padi. Kalau
datangnya malam cocok tidak afdhol jika tidak mampir ke warung tradisonal susu
jahe, namun karena ini pagi hari maka hal yang patut dirasakan yaitu kenikmatan
pemandangan pertanian berupa lahan sawah disepanjang jalan.
Telah sampailah di
Desa Tasikrejo yang merupakan desa perbatasan antara Kabupaten Pekalongan dan
Kabupaten Pemalang. Smartphone saya
ambil apliakasi whatsapp aku buka kemudian menghubungi Om Edi, “Om aku udah memasuki
Desa Tasikrejo”, begitu isi pesan tersebut.
Sejenak saya
berhenti di depan Madrasah Salafiyah mengamati kegiatan masyarakat diantaranya
banyak membawa alat pertanian berupa cangkul, arit, pompa pupuk dan tak lupa
sedikit bekal yang dibawa menuju sawah tempat mereka bekerja. Keceriaan kecil terpancar dari senyum
sumringah menyambut pagi. Prediksi saya ternyata bulan ini musim panen yang
menyebabkan mereka lebih sibuk dari hari biasanya.
Perjalanan kembali
saya lanjutkan menuju Desa Pamutih, jalan lurus ke arah barat termasuk jalur
utama penghubung desa. Kegiatan interaksi sosial ekonomi terwujud dalam kebiasaan
masyarakat bermatapencaharian sebagai penjahit konveksi dan bertani.
Rumah-rumah yang di pinggir jalan terlihat terbuka kemudian disana terdapat
mesin jahit yang jumlahnya lebih dari satu. Artinya kreatifitas masyarakat disini
juga sangat bagus dibidang ekonomi.
Pemandangan
selanjutnya yaitu hamparan persawahan disisi kanan dan kiri. Tananaman padi
menguning kompak memberikan tanda bahwa masa tanamnya dulu juga pada waktu
bersamaan. Pada masa panennya pekerja dari daerah lain turut berpartisipasi
serta bekerja dengan pemilik lahan persawahan. Mereka sebagai pekerja lepas
buruh harian. Umumnya mereka berombongan
naik mobil pick up berangkat dan
pulang bersama-sama. Tugas mereka hanya memanen atau istilah lokalnya disebut nggeret. Biasanya pemilik sawah turut
serta dalam proses pemanenan. Dibantu dengan mobil keliling yang menawarkan
jasa mesin pengolah padi mereka bekerja dalam satu tempat secara bersama-sama.
Sampai juga
akhirnya di Desa Pamutih laporan kembali saya lakukan melalui pesan singkat
kepada Om Edi. Tak lama kemudian beliau datang menggunakan sepeda motor bersama
anak perempuannya yang masih balita. Bersamanya akhirnya menuju ke rumah beliau
berganti mengambil sepeda gowes. Akhirnya kami pun bergowes ria menapaki
jalanan Desa Pamutih dan sekitarnya.
Saya masih penasaran ingin belajar tentang pengetahuan tentang persawahan termasuk padi. Paling mudah dipelajari bentuk hasilnya terus tentang cara pengolahan. Maka tidak salahnya sambil menikmati gowes saya terlibat diskusi kecil dengan Om Edi.
“Om Edi yang
namanya gabah itu hasil dari panenan kan ya?” , tanya saya sambil memilih jalan
agar menepi.
”Bener om, jadi
masih kasar biasanya masih ada rantingnya meskipun dikit”,
“Terus...kalau istilah
katul itu hasil paling akhir dari kulit padi yang halus sedangkan dedhek itu
hasil kasarnya kan betul begitu?”
“Bukan begitu
om dedhek itu ya kulitnya padi sedangkan
katul adalah kupasan kulit ari padi yang dihaluskan”.
“Ohh...begitu om,
selama ini persepsiku tentang pengolahan padi ternyata salah”.
Sambil mikir saya
mengingat kembali waktu dulu bersama almarhum bapak saya sering disuruh membeli
katul sebagai makanan ayam. Ditempat juragan padi katul tersebut dijual dengan
harga Rp. 800 rupiah ternyata sekarang sudah naik menjadi Rp.2000. Menurut Om
Edy katul ini pada prosesnya diseleksi pada saat padi dibuka kemudian bagian
setelah kulit luar dikupas dan dihaluskan lagi. Ada dua bagian sortiran yang
halus dan yang kasar. Bentuk hasil yang halus ini yang disebut dengan katul
yang berguna untuk makanan ternak unggas. Beliau memaparkan juga mengenai
istilah dedhek yaitu kulit yang paling luar sebagai bahan campuran pembakaran, pupuk
dan sebagainya.
Tak terasa dari
obolan tentang hasil padi tersebut menghantarkan ke tempat wisata mangrove di
kawasan Sungai Comal. Sebuah dermaga kecil dilengkapi tempat menunggu perahu
yang berlabuh mengantarkan wisatawan yang hendak menuju hutan mangrove. Menurut
wisatawan yang baru menikmati perjalanan menggunakan perahu, diperlakukan waktu
kurang lebih 20 menit agar sampai tempat wisatnya. Saya pun akhirnya
mengurungkan niat karena masih banyak kagiatan lain hingga malam hari. Gowes
kali ini cukup memberikan tambahan pengetahuan tentang padi dan hadiah menikmati
kawasan sekitar hutan mangrove yang belum lama dibuka oleh pemerintah setempat.
No comments:
Post a Comment