Ada keunikan tersendiri dari bentuk gelas yang pertama kali saya
mampir di Rumah Makan Pringsewu Purwokerto. Kejadian itu sekitar bulan April
2016 disaat pramusaji penuh membawa pesanan es teh dari jarak 5 meter, gelasnya
berbentuk kotak meskipun tidak juga bisa disebut kotak karena tidak
ada sudutnya. Setelah berhadapan langsung gelas akan disajikan pada bibir gelas
terdapat ulir sepertinya ini untuk pengunci tutupnya. Secara sadar dan
singkatnya saat itu aku langsung melongo kok baru kali ini ya, aku lihat gelas
yang tak biasanya.
“Silakan mas...es tehnya...”, mbak pramusaji ini tersenyum sembari
merunduk.
“Kalau ada yang ulang tahun hari ini ada kejutan menarik dari
kami, berupa kue puding tapi harap menghubungi bagian penerima tamu di depan
ya, terima kasih ya”.
Aku paksa melupakan segala shok keganjilan dari bentuk gelas itu.
Tenggorokan sudah 2 jam mengering setelah aktifitas gowes bareng disekitaran
obyek wisata Owabong. Itung-itung minuman ini pelepas dahaga begitu besar
dampaknya.
Setelah 1 jam berakhir sudah segala macam makanan besar sudah
berpindah ke perut. Tiba saatnya kembali pulang ke Pekalongan menjelang
petang masih diperjalanan.
***
Aku masih penasaran tentang harga dari gelas yang namanya pun
tidak bisa diketahui. Yahh...gimana mau beli...lha wong nama model
gelasnya ajah gak tahu...ahh...proyek berjalan saja kalau memang bisa punya ya
alhamdulillah, kalau ndak punya toh hanya batasan gelas yang penting kan isinya.
Saat momen berselancar internet melalui smartphone kembali
teringat, barang kali diaplikasi Buka Lapak kali aja ada yang menjualnya, gumam
saya dalam hati. Lalu, keyword pada
kolom pencarian apa ya? Tulisan pertama kali aja nyambung yaitu “gelas cafe”,
ada sih hasilnya. Gelas yang berkaki panjang pada bagian pangkalnya berbentuk
lingkatan. Layar smartphone aku
tarik ke bawah ternyata ada bermerek “HARVEST TIME”, dibanderol Rp. 25.000 per
biji waktu itu. Semisal beli 2 biji berarti Rp. 50.000 ongkirnya Rp. 20.000
barang belum tentu selamat karena benturan paking....Ahh cancle ajah...
Ketidaksengajaan terjadi melintasi penjual pecah belah di Pasar
Banjarsari tepatnya di tikungan dekat vihara. Barang-barang yang dijual sih,
banyak banget...sampai meluber seperempat dari jalan menuju ke pasar. Mumpung
lewat sekalian mampir saja, motor aku parkirkan menghadap toko. Mbak-mbak
pelayan toko masih ngurusi ibu-ibu setengah baya. Pandanganku menoleh sebelah
kiri bawah, ada kerdus beraneka ragam model gelas tidak tertata dan
bertumpuk-tumpuk. Ada juga ternyata model gelas toples itu lalu ambil sembari
menanyakan harganya.
“Mbak harganya berapa model gelas kaya gini?”, aku perlihatkan gelas
toples kepada mbak-mbak pelayan toko itu.
“Oh, gelas cafe mas...harganya 120 ribu per lusinnya”, jawab mbak
pelayan sembari mengalihkan perhatian ke toples yang aku bawa.
“Kalau belinya satuan bisa mbak?”, tawarku barang kali bisa.
“Gak bisa mas, minimal setengah lusin”, mbaknya menjawab sembari
menoleh kembali ibu-ibu paruh baya itu.
Kok harus beli minimal setengah lusin, lha emang mau bikin cafe
harus beli 6 biji. Lha wong kalau gak beli juga gelas lain juga masih ada, aku
pun langsung samperin tukang parkir langsung melibas pulang. Oh..oh.. ternyata
di Pekalongan ada yang jual kalau dibandingkan di Buka Lapak sih lebih murah
tapi belinya harus 6 biji. Ndak usah beli dulu lah, ndak penting juga!
Keberuntungan kali ini terasa mendekat ya...sudah hampir 10 bulan
berlalu tepatnya bulan Febuari 2017 aku jalan-jalan ke Carrefour sama ibu ngilangin awalnya
sih mau cari teflon buat masak telur, eeh...kok ada penawaran gelas “HARVEST
TIME”, dengan harga Rp. 6.800 wah...menarik sekali nih.
Langsung aku samperin tumpukan kardus berukuran 1,5 m x 1,5 meter
pada bagian atasnya berjejer gelas “HARVEST TIME” transparan. Kok semakin
banyak semakin bingung milihnya. Naluri wanita itu lebih teliti lalu aku
serahkan kepada ibu,
“Aku ndak bisa milih bu...silakan ibu saja yang milih”, sambil
pegang-pegang gelas.
“Coba pegang bibir gelasnya melingkar kalau ada yang tajam jangan
diambil”, ibu menjelaskan cara memilihnya.
Terpilihlah 3 kandidat yang paling bagus semuanya pun kemudian
dipinang ke kasir tanpa tujuan utama yaitu teflon.
Test pertama yaitu aku isi dengan kopi instan. Air mendidih dari
kompor lanngsung aku tuang ke dalam gelas. Aku pun penasaran dengan kebandelan
dasar gelas, karena ketebalannya tidak seperti gelas biasanya. Bandel juga,
tidak ada tanda-tanda retak dari bagian bawah. Aku isi lagi air mendidihnya
sampai mendekati leher gelas. Aman...kok, gak sia...sia..!
Aku terus memperhatikan gelas ini agaknya mirip toples jaman
dahulu. Bentuknya tidak asing lagi diihat lekukan klasik, sementara ketika
orang melihat langsung maka akan teringat tempat makanan jadul. Pola yang
dipertahankan yaitu ulir pada bibir gelas guna membedakan bukan gelas seperti
biasanya.
Sambil ngerasain nikmati kopi instan aku ketawa sendiri...”Mau
gelas seperti ini saja harus tarik ulur hampir setahun sedang aku sudah
bayangkan, betapa repot dah nyucinya”.
foto adalah tes ke-dua menggunakan air es.
No comments:
Post a Comment