Rabu pagi diantara
kegiatan menjelang akhir pekan, perut ibu merasa tidak enak seperti biasanya.
Pukul 06.00 aku sudah berada di depan klinik menunggu petugas jaga membuka
pintu pendafaran. Kedatanganku termasuk orang yang ke 9 orang bernasib sama. Ada pasangan muda membawa anak balita
sedang rewel tak keruan sedang dalam pelukan. Sedang pasien dewasa paruh bawa
duduk termangu menghadap ke jalan, lalu
belum sampai 5 menit akhirnya petugas membuka pintu klinik. Hampir semua pasien dan pengantarnya
pula masuk ruangan mengikuti langkahnya.
Dari arah belakang
ada laki-laki berjalan begitu cepatnya menuju loket sama-sama beriringan. Tanpa
berfikir panjang berdiri memesan nomor urut pendaftaran, ada ibu-ibu
menunjukkan ketidaksukaan cara lalu dua patah trerlontar kepadanya ,“Urut,
Pak!”, nada sinis. Bapak langsung terdiam mundur dua langkah membiarkan pasien
lain maju mendekati petugas pendaftaran.
Sampai pada nomor 7
nomor tidak ada yang mengaku, lalu ada yang mengingatkan pasien disebelah kiri
loket, “Itu mbah-mbah gilirannya”, usul ibu-ibu muda. Dari tempat duduknya mbah
ini beranjak, aku melihat langsung aku tahan, “Duduk saja mbah”, aku biarkan
beliau duduk. Kertas panggilan nomor belum terambil, seperti gayung bersambut
aku terima dari petugas loket. Setelah nomor 8 giliran nomor 9 adalah jatah
antri periksa, registrasi pasien mulai dicatat kembali nama pasien, alamat
serta nama anggota keluarga.
Hati sudah setengah
lega tinggal menunggu panggilan dari doket, aku memilih keluar dari klinik
berpindah di teras musholla. Menikmati pagi menyambut bacaan buku tipis yang
sengaja aku bawa dari rumah. Lembar per lembar buku aku pahami dari buah
pemikiran santai karya Budi Maryono, sinar matahari pun telah semakin meninggi.
Pandangan kembali tertuju ke klinik, pasien sudah mulai silih berganti. Dari
arah belakang mbah-mbah yang sudah aku ketahui namanya mbah rejeh kemudian berjalan
mengagetkan aku pun menoleh kemudian beliau berkata,
” Sekarang kamu
sudah besar ya?”, tanya beliau.
Seketika itu aku
jawab, “Iya mbah...simbah kuat ya sampai umurnya sekarang?”, aku pun tak
menjamin beliau mendengar. “Kamu kalau cari istri jangan jauh-jauh kasihan
ibumu”, mbah itu menasehatiku mak jlebb kemudian
aku pun menjawab, “Iya mbah”, aku langsung mengamini nasehat beliau pikiranku
pun berkecamuk, bersamaan jejak langkah embah meninggalkanku.
No comments:
Post a Comment