Wednesday, 15 March 2017

Klinik Pagi Ini

Rabu pagi diantara kegiatan menjelang akhir pekan, perut ibu merasa tidak enak seperti biasanya. Pukul 06.00 aku sudah berada di depan klinik menunggu petugas jaga membuka pintu pendafaran. Kedatanganku termasuk orang yang ke 9 orang bernasib sama.  Ada pasangan muda membawa anak balita sedang rewel tak keruan sedang dalam pelukan. Sedang pasien dewasa paruh bawa duduk termangu menghadap ke jalan,  lalu belum sampai 5 menit akhirnya petugas membuka pintu klinik.  Hampir semua pasien dan pengantarnya pula masuk ruangan mengikuti langkahnya.

Dari arah belakang ada laki-laki berjalan begitu cepatnya menuju loket sama-sama beriringan. Tanpa berfikir panjang berdiri memesan nomor urut pendaftaran, ada ibu-ibu menunjukkan ketidaksukaan cara lalu dua patah trerlontar kepadanya ,“Urut, Pak!”, nada sinis. Bapak langsung terdiam mundur dua langkah membiarkan pasien lain maju mendekati petugas pendaftaran.

Sampai pada nomor 7 nomor tidak ada yang mengaku, lalu ada yang mengingatkan pasien disebelah kiri loket, “Itu mbah-mbah gilirannya”, usul ibu-ibu muda. Dari tempat duduknya mbah ini beranjak, aku melihat langsung aku tahan, “Duduk saja mbah”, aku biarkan beliau duduk. Kertas panggilan nomor belum terambil, seperti gayung bersambut aku terima dari petugas loket. Setelah nomor 8 giliran nomor 9 adalah jatah antri periksa, registrasi pasien mulai dicatat kembali nama pasien, alamat serta nama anggota keluarga.

Hati sudah setengah lega tinggal menunggu panggilan dari doket, aku memilih keluar dari klinik berpindah di teras musholla. Menikmati pagi menyambut bacaan buku tipis yang sengaja aku bawa dari rumah. Lembar per lembar buku aku pahami dari buah pemikiran santai karya Budi Maryono, sinar matahari pun telah semakin meninggi. Pandangan kembali tertuju ke klinik, pasien sudah mulai silih berganti. Dari arah belakang mbah-mbah yang sudah aku ketahui namanya mbah rejeh kemudian berjalan mengagetkan aku pun menoleh kemudian beliau berkata,
” Sekarang kamu sudah besar ya?”, tanya beliau.

Seketika itu aku jawab, “Iya mbah...simbah kuat ya sampai umurnya sekarang?”, aku pun tak menjamin beliau mendengar. “Kamu kalau cari istri jangan jauh-jauh kasihan ibumu”, mbah itu menasehatiku mak jlebb kemudian aku pun menjawab, “Iya mbah”, aku langsung mengamini nasehat beliau pikiranku pun berkecamuk, bersamaan jejak langkah embah meninggalkanku.

No comments:

Post a Comment