Mengajak masyarakat berpartisipasi
dalam kegiatan bersepeda, ohh....bagus lah!, juga mengingatkan kebiasaan lama
yang hampir punah tergerus budaya instan bermotor ria. Yaa....Bentuk ajakan
tersebut sangatlah beranekaragam dari kampanye bebas polusi melalui iklan layanan
masyarakat, ajakan media sosial, klub sepeda, car free day, fun bike
dan lain sebagainya. Kegiatan bersepeda sudah mulai dilirik oleh sebagian
masyarakat, meski terkadang hanya sebagai olah raga tiap hari minggu. Oke...oke..fine...gak jadi masalah, selama ada
kepedulian tentang kesehatan masih bagus, juga ada kepedulian lain lho...yaitu tentang
kerusakan lingkungan karena polusi udara.
Secara garis besar sih..!, ada 2 cara ya...mengajak bersepeda yaitu dari
hati ke hati dan iming-iming berhadiah....lho kok bisa? Nanti kita akan bahas
lebih dalam lagi...dari serentetan kalimat semoga bisa menangkap poin-poin
terpenting dari masing-masing paragraf di bawah ini.
Tentunya yang sudah mengenal hobi
bersepeda satu minggu gak gowes karena
suatu alasan, terlalu disayangkan melewatinya. Momen bersama teman yang sehobi
akan membuat rasa kangen bercanda bersama melalui berbagai macam medan
perjalanan. Klub gowes sudah seperti keluarga kalaupun ada satu yang
berhalangan hadir mesti ada yang tanya alasan ketidakhadirannya itu.
Poin terpenting disini bahwa sepeda
itu sebagai sarana pertemanan dari berbagai lini kehidupan. Dari masing-masing
anggota ini berpotensi mengajak teman lain yang memang benar-benar sama sekali
belum mengenal hobi bersepeda.
“Ayo...gowes cari keringat, bisa ketemu
temen-temen...!!! asyik lho...bisa piknik terus tiap minggu, dijamin deh dapat
pengalaman baru”, dengan berceloteh, tersenyum ramah, lalu sampaikan kepada
mereka bisa membuat rasa penasaran dalam pikirannya, meskipun hanya wacana ke
depan tentang keinginan berolahraga. Yaa...yang namanya promosi itu bisa
langsung laku, juga bisa nanti entah kapannya yang penting ajak lain mencintai
olah raga.
Ajakan itu terasa bisa ditanggapi
lebih antusias, disaat teman sudah mulai bertanya tentang harga sepeda yang kualitasnya
oke, tapi murah..hehehe...biasanya kita pusing mencari merek sepeda tersebut...”Tapi
tahap awal sangat bagus... sudah separuh perjalanan!”.
Mereka tidak salah karena memang sudah
pantasnya, sebelum membeli sepeda harus banyak bertanya kepada yang sudah
banyak melakoni berbagai pengalaman tentang sepeda. Apalagi harga sepeda
relatif tidak murah...betul kan ya? semoga begitu..hahaa...
“Yukk...bersungguh sungguh jadi agen
promosi kesehatan...langsung maju..cuuuzz.!!!”
Tetap dikawal kalau perlu...tawarkan
kesedian waktu menemaninya membeli sepeda. Cara ini sebagai bukti bahwa goweser
itu ramah bahkan keakraban persaudaraan ini bisa muncul disaat pertama kalinya
membeli sepeda, ini sebuah pengalaman dan berbicara realita.
Eeeiiitsss.....lalu apabila sepeda
barunya itu sudah terbeli, hanya sampai disini?
Lalu, “Bagaimana sikap selanjutnya setelah
teman telah membeli sepeda barunya?”
Ajaklah gowes berdua...jangan langsung
suruh bergabung bersama klub sepeda, biasanya masih minder dengan kemampuannya.
Padahal anggapan ini bisa dikatakan berbanding terbalik dari asumsi tersebut.
Hanya sekedar berkeliling menikmati
suasana lingkungan sekitar...boleh lah ! deket-deket saja...yang penting mencoba
hal baru yang sudah lama ditinggalkan.
Kalau bertempat tinggal di pedesaan
sangat banyak tempat-tempat asyik sebagai destinasi menikmati alam apalagi
kalau melewati jalur pematang sawah...”Wow...wow...wow..bisa bikin hati tentrem”.
Di area perkotaan tidak kalah menariknya lho...sebagai pemanasan ya...ajaklah
mereka menikmati suasana pagi sebelum aktifitas menampakkan kemacetan. Satu jam
sudah cukup lah...! carilah spot menarik berfoto bersama sebagai kenangan
pertama kali gowes bareng...ceekreeeekk...upload...hhahahaaa...
Cara-cara ringan pendekatan hati,
bersosialisasi berkawan secara berkesinambungan maka rasa persaudaraan akan
semakin erat. Kalau sudah dianggap saudara, maka tiada batas untuk saling
membantu dalam segala hal.
***
Yang ke-dua yaitu mengajak masyarakat
bersepeda dengan iming-iming
berhadiah.
“Yuppps...sebentar tahan!!!jangan underestimate dulu”.
Ada batasan mengenai konotasi iming-iming berhadiah diatas. Konteks yang
dimaksud disini yaitu mengumpulkan masyarakat bersepeda lalu pada akhir
momennya terdapat adu nasib perolehan hadiahnya.
“Hahaa..haha....rada berat
kalimatnya...”, namun esensi kata yang berlaku yaitu adu nasib dan hadiah.
Perlahan-lahan saja...yang penting
bisa memahami...satu per satu perbedaannya.
Bisa ditafsirkan sendiri mengenai iming-iming berhadiah dengan berbagai
nama atau label kegiatan. Yang tepenting ada kedua unsur tersebut. Meskipun
sama-sama mendapatkan hadiah, tidak sama lho....dengan ajang perlombaan bersepeda.
Kalau lomba itu mengedepankan profesionalitas goweser jadi disini yang dituntut skill, kekuatan fisik dan strategi memenangkan
perlombaan, sebagai pembedanya yaitu adu nasib yang hanya bermodalkan
secarik tiket yang diundi dihadapan notaris dan pihak kepolisan.
“Okeey....yuk masuk...kita perdalam lagi
mengenai ajakan bersepeda dengan cara mengadu nasib mendapatkan hadiah tersebut”.
Banyaknya komunitas penghobi sepeda
dari segala macam onthelis (sepeda jadul), road bike (balap sepeda), fixie,
city bike , MTB (sepeda gunung) dan lainya. Mempunyai power kebersamaan dalam satu komunitas. Tidak tanggung tangung
dalam berbagai kota jumlahnya mencapai ratusan bahkan angka ribuan. Latar
belakang tersebut menjadi alasan maraknya kegiatan iming-iming berhadiah marak terjadi dalam tiap tahunnnya bahkan
pemerintah daerah turut mensponsorinya.
“Masih kuat membaca tulisan
ini....atau semakin capek?...hagzh...hagz....hagz...yang penting jangan biarkan kening Anda berkerut apalagi ngantuk...hadeh.....wkwkkw...okey lanjut dah!!!”.
Tidak luput dari keberadaan hadiah yang
sangat krusial menentukan jumlah peserta yang akan berpartisipasi serta sebagai
penentu sukses tidaknya panitia membuat acara. Semakin mahal hadiah maka
peserta akan semakin penasaran menentukan nasibnya dalam ajang tersebut. Panitia
pun sangat pandai mencari hadiah yang bisa
merayu hati peserta dari kondisi sosial ekonomi dari masing-masing
daerah.
Apabila masyarakat masih berpandangan
mobil itu barang mewah, bisa jadi ini menjadi prioritas hadiah utama yang akan dipertaruhkan.
Seketika itu akan menjadi buah bibir dikalangan masyarakat, merebak hingga ke
kota tetangga bahkan ke pedesaan. Tentunya kalau ingin menjadi peserta tidak
serta merta gratis, kalau bayar itu sudah pasti.
Meledaknya jumlah peserta yang ikut
berpartisipasi dalam acara, bukan hanya dari penghobi bersepeda yang tidak
pernah naik sepeda pun pada akhirnya “dipaksa” naik sepeda sambil hati kecilnya
bicara sendiri, “Semoga mendapatkan hadiah mobil”. Pencapaian peserta sangat
bervariatif bahkan jumlah tiket penjualnya lebih besar dari peserta yang hadir.
Artinya satu peserta bisa membeli lebih dari satu untuk memperbesar peluang
mendapatkan hadiahnya.
“Semoga masih kuat membaca....wkwkwkwk...karena
setelah ini masuk ke dalam hitungan matematika dari masing-masing jumlah tiket
yang terjual...Yuk....Cekidotttt!!!!”
Dari pengalaman yang sudah pernah
berjalan dari tiga sampel kota di Pulau Jawa yang pernah mengadakan acara
serupa berjumlah 10.000 an (sepuluh ribuan), 20.000 an (dua puluh ribuan) dan terakhir 17.000 an
(tujuh belas ribuan) tiket terjual
dari rata-rata harga tiket Rp. 35.000 (tiga puluh lima ribu rupiah).
Kita ambil sampel data terakhir
pencapaian hasil 17.000 tiket terjual apabila dikali Rp. 35.000 sudah mencapai
angka Rp. 595.000.000 (lima ratus juta sembilan puluh lima juta rupiah). Pencapaian hasil pemasukan tersebut sebagai
uang tunai dari perolehan penjualan tiket, belum lagi dari sponsor pendukung
acara. Biasanya sponsor juga memberikan dukungannya berupa hadiah hiburan.
Sedang pengeluaran hadiah utama berupa mobil dengan kisaran harga Rp. 120.0000
(seratus dua puluh juta rupiah).
Berprasangka baik itu akan lebih baik sebagaimana
peserta sudah “legowo” kalaupun ada keuntungan ya...semoga ada keuntungannya
bagi panitia. Sedangkan bagi peserta pun juga tidak mengalami kerugian karena
uang Rp.35.000 bisa mendapatkan kaos, snack, bertemu dengan teman, sehat dan
bisa joged bareng di depan panggung. Realita ini bisa membuka lebar pengetahuan
bagi penyelenggara dan peserta kegiatan. Masyarakat seharusnya semakin pintar
dalam hal ini goweser juga turut menjadi agen yang mencerdaskan bangsa.
Lantas problematika yang terjadi dari dampak
ajang ini adalah sebagai berikut
Bahwasanya orientasi yang terbentuk
dari pemikiran masyarakat baik umum maupun penghobi sepeda yaitu sisi
matrealisme dari hasil adu nasib melalui kegiatan bersepeda. Perbandingan
perolehan hadiah utama yaitu 1 : 17.000 tiket penjualan. Dari jumlah 17.000
tiket hanya 1 tiket yang berhak memenangkan hadiah utama. Pihak penyelenggara bertindak
sebagai sarana atas jawaban “angin
syurga” dalam doa masyarakat yang ingin sekali memperoleh penghidupan lebih
layak dari kehidupan sosialnya. Hanya membayar uang recehan bisa memperoleh
hasil sebegitu besarnya bahkan bisa meningkatkan prestis dikalangan masyarakat
menengah atau malahan bisa jadi rejeki nomplok bagi yang benar-benar
membutuhkan.
Dari sisi efektifitas, hadiah utama
berupa mobil bertolak belakang dengan tujuan lain bersepeda yaitu mengurangi dampak
polusi udara. Pihak penyelenggara secara tidak menyadari, melanggar dari esensi
akhir bersepeda dari pandangan dampak lingkungan. Juga mereka memanfaatkan
momentum jumlah penghobi sepeda yang sudah terbentuk sebagai “pejalan sunyi” ditengah
carut marut budaya otomotif yang berkembang begitu pesatnya. Mereka hanya
mementingkan target penjualan tiket sedang mengenal komunitas sepeda pun bahkan
mereka belum pernah mengerti. Ya...mereka hanya sebuah event organizer yang mengumpulkan masyarakat melalui penjualan
tiket.
“Lalu pertanyaan lain yang berkembang,
apakah dari kegiatan iming-iming
berhadiah tersebut masyarakat umum sudah mulai membiasakan diri bersepeda?”
Jawabannya ada dalam hati setiap para
peserta setelah mengikuti acara kegiatan iming-iming
berhadiah, dari segala perenungan yang mendalam. Melihat dengan tolok ukur fenomena
tujuan utama dari penyelenggara, hal yang
ditimbulkan dari kegiatan dan paradigma yang terbentuk oleh masyarakat. Orientasi
matrealisme masih menjadi pertimbangan utama dan bahkan membelokkan kesadaran
murni para pelaku agen persaudaraan “pejalan sunyi” dari akar hobi yang
menjunjung tinggi sportifitas, travelilling,
sosial dan penyelamatan lingkungan.
No comments:
Post a Comment