Motor Grand Livina tahun
1996 aku keluarkan dari halaman rumah, bersama pagi aku melaju mencari
kewajaran hidup layaknya seperti manusia lainnya. Mengawali pekan ini aku mencoba mengingat terakhir kebiasaanku ditengah jalan membeli kue pukis yaitu
sekitar 2 minggu yang lalu. Keinginan itu tiba-tiba muncul sudah tentu semuanya
ada yang bekerja yaitu Maha Penggerak hati manusia.
Di pinggir jalan
hanya menggunakan meja kecil sebagai tempat masak kue. Laki-laki paruh baya
mengambil adonan dari ember kecil yang dituang ke dalam cetakan berisi 20 kue
pukis. Anak laki-lakinya matanya kosong berada di sampingnya menunggu isyarat
perintah yang keluar dari mulut bapaknya.
Pagi itu anak ini tidak
menampakkan kesibukan sama halnya dilakukan anak-anak seusianya naik sepeda
menuju ke sekolah. Dua sepeda butut tergeletak diantara dedaunan kering dibawah
pohon mangga. Sedang lapak jualan kue ini berada menghadap jalan raya pertigaan
jalur perumahan.
Aku menyeberang
jalan ditengah hiruk pikuk keramaian masyarakat hendak mengantarakan sekolah
ataupun berangkat bekerja. Selesai sudah akhirnya telah sampai di seberang
jalan, motor aku pinggirkan lalu disebelah gang menuju perkampungan.
Terlihat masih
sibuk saja bapak penjual pukis ini. Membuka tutup tempat cetakan sesekali
mengambil kue pukis yang sudah matang kemudian dipindakan ke dalam loyang
tempat penyajian. Sebelum ia menawarkan, aku langsung memulai memesan kue
pukis dari bagian belakang bapak penjual berdiri,
“Pukis yang hijau 1
kotak , Pak! Yang garing ya”, aku membuka helm agar lebih santai ngobrolnya.
Tanpa menoleh ke
belakang bapak ini menjawab,
“Iya mas yang ini
ya”, sambil menunjukkan kue pukis yang masih belum matang.
“Pokoknya yang
garing pak”, aku mengulangi pesanan untuk kedua kalinya.
Bersamaan dengan
itu, seorang ibu datang menggunakan motor matik merah bersama anak balitanya
juga menghampiri lapak kue pukis ini. Lalu terjadi perbincangan ringan antara
ibu dengan bapak penjual kue pukis,
“Lha ini kok baru
kelihatan, Bu?”, sembari senyum tapi masih asyik saja ngurusi kue pukis di cetakan.
“Iyah nih pak,
soalnya baru bisa nganter anak hari ini”, jawabnya ibu sambil mengeluarkan
lembaran uang kertas.
“Dua ribu boleh
pak?”, tanya ibu penuh harap.
“Boleh sekali bu,
seribu aja boleh kok”, jawab bapak dengan ramah.
Pesanan pukis agar
garing ternyata memakan waktu, obrolan kecil membaur agar terasa mengusik
kejenuhan menunggu.
“Pak kalau hujan
gimana dagangannya?”, rasa penasaran itu timbul karena belum pernah melihat
tatkala pagi hujan.
“Biasanya sih
nebeng di warung sebelah mas, gimana lagi ya belum punya payung, katanya
harganya 90 ribu tapi masih banyak kebutuhan lainnya”, senyum bapak tanpa
gelisah.
“Oh begitu pak”, aku
tidak meneruskan kembali percakapan.
Lalu bapak ini
berkata lagi, “Kompor yang saya bawa ini saja saya masih punya satu mas, jadi
kalau istri mau masak nunggu saya pulang. Makanya kemarin ada yang nyuruh
ninggal saja kompornya disini namun saya bilang biar saya bawa pulang saja”,
begitu bapak ini bercerita.
Hanya bisa menghela
nafas dalam, terasa ditampar karena masih kurang jauh berinteraksi dengan
sekitar. Diantara cerita dan pengalaman bebera penjual yang kutemukan baru kali
ini mendengar keadaan rumahnya dengan rasa kejujuran. Dia tidak menunjukkan
belas kasihan, dari cara berbicara tidak ada nada memelas kepada orang lain. Sangat
beruntung karena pagi ini sudah belajar kesederhanaan, kesabaran dan
ketelatenan dari bapak penjual pukis. Bahkan seorang yang hanya mempunyai
satu kompor tetap berusaha menghidupi keluarganya.
No comments:
Post a Comment