Thursday, 15 December 2016

Rinduku Bapak

Pagi gerimis saat itu aku enggan bangun dari tempat tidurku. Dari luar kamar berkali-kali bapak terus memanggilku beranjak dari kasur. Sudah ku mendengar panggilan itu, namun mataku tak bisa melawan rasa nikmat pelukan bantal diatas kasur yang empuk. Tidur kali ini merasakan cepat dari semalam bermain bersama teman rumah hingga larut malam bagi seumuran anak-anak. Serasa tak bergeming apapun yang terdengar dari luar kamar, terasa tidak nyaman di telinga, aku pun perlahan bangun beranjak dari tempat tidur.

Melangkahkan kaki ke kamar mandi terasa dibebani balok lima kilogram. Terasa berat membelalakkan mata melihat genangan air yang nantinya akan disiramkan ke sekujur badan. Paksaan mandi terus datang dari mulut ibuku mengingakan waktu mendekati jam tujuh. Seperti kucing merasa takut air tanganku mulai mengambil sedikit air lalu kusiramkan dari pundakku. Benar rasa kedinginan itu muncul seketika, saat itu pula mataku terpejam kemudian gayung bak mandi aku isi lumayan penuh lalu aku siramkan dari atas kepala. Selanjutnya aku lakukan berkali-kali dari kamar mandi pun terdengar peringatan mendekati pukul tujuh. Aku tergopoh-gopoh keluar kamar mandi sambil membawa handuk masuk ke kamar.

Ibu telah berada di kamar seragam sekolah sudah disiapkan di atas kasur. Dengan sigapnya ibu membantu mengenakan pakaian seragam dilanjutkan sarapan nasi megono khas Pekalongan. Ibu sangat pandai mengatur waktu. Meski demikian ibu masih juga bekerja dan sebelum aku berangkat, ibu mempersiapkanku pergi ke sekolah. Bapak di depan rumah sudah menyiapkan sepeda hitam sebagai sarana mengantarkan aku ke madrasah. Kerja sama itu baru aku rasakan sekarang saat beliau telah meninggal. Memori ku kembali berjalan ke belakang mengingat perjalanan diwaktu usia sekolah dasar.

Bapak sosok laki-laki jujur menghadapi hidup menjalaninya tanpa keluh kesah. Hanya senyuman kecil menghias rona wajah menatap anaknya. Sebatas aku berfikir keadaan itu tidak akan pernah aku temukan, seakan tanpa lelah terus berjiwa pemberi harapan kebahagiaan. Beliau seorang yang luar biasa, namun semua itu hanya kebohongan yang tak tampak. Aku yakin dirinya tak ingin menampakkan kesedihan dihadapanku. Bapak sangat pandai menyimpan kesedihan yang amat mendalam. Entah mengenai pekerjaan ataupun masalah klasik keluarga besar mertua.

Sepeda hitam milik bapak berasal dari ketekunan bekerja sebagai sosok bertanggung jawab kepada keluarga. Aku berusaha memaklumi keadaan yang harus diterima. Sepeda itu mengantarkanku hingga di depan madrasah tempat aku sekolah. Saat sepulang sekolah aku berjabat tangan dengan beliau lalu aku lihat. Garis wajah sudah mulai tampak dan aku melihat sendiri bapak bekerja begitu sabarnya. Aku belajar melihat keadaan itu tiap hari bahkan menemaninya. Mungkin bagi bapak, kehadiranku di sisinya menjadi penyemangat disaat beliau bekerja. Aku terus melihat tangan bapak bekerja terkadang bapak bertanya “Jam berapa dek?” pertanyaan itu melatih agar bisa membaca waktu. Pertanyaan yang terlontar tersebut berfilosofi mendalam. Waktu akan menghabikan sisa umur manusia dan bapak terus menanyakan hal itu.

Perbedaan ruang telah memisahkan kita, kini bapak telah pergi bertemu Allah SWT. Banyak hal yang harus aku pelajari tentang kerasnya hidup. Belajar susah payah bertanggung jawab kepada istri , tangguh sebagai menantu dan pekerja giat dalam pekerjaannya. Maafkan anakmu, kini anakmu sudah ingin merasakan hal yang sama, belajar berpeluh keringat menghargai hidup. Aku ingin mentalku setegar mentalmu mengarungi hidup. Aku hanya bisa mendengarkan nasehat-nasehat terbaikmu selama masa hidupmu, saat ini aku merindukan nasehat itu. Semoga bapak bahagia, sekali lagi maafkan anakmu karena belum bisa membuatmu bahagia.

No comments:

Post a Comment