Pagi gerimis saat itu aku enggan
bangun dari tempat tidurku. Dari luar kamar berkali-kali bapak terus
memanggilku beranjak dari kasur. Sudah ku mendengar panggilan itu, namun mataku
tak bisa melawan rasa nikmat pelukan bantal diatas kasur yang empuk. Tidur kali
ini merasakan cepat dari semalam bermain bersama teman rumah hingga larut malam
bagi seumuran anak-anak. Serasa tak bergeming apapun yang terdengar dari luar
kamar, terasa tidak nyaman di telinga, aku pun perlahan bangun beranjak dari
tempat tidur.
Melangkahkan kaki ke kamar mandi
terasa dibebani balok lima kilogram. Terasa berat membelalakkan mata melihat
genangan air yang nantinya akan disiramkan ke sekujur badan. Paksaan mandi
terus datang dari mulut ibuku mengingakan waktu mendekati jam tujuh. Seperti
kucing merasa takut air tanganku mulai mengambil sedikit air lalu kusiramkan
dari pundakku. Benar rasa kedinginan itu muncul seketika, saat itu pula mataku
terpejam kemudian gayung bak mandi
aku isi lumayan penuh lalu aku siramkan dari atas kepala. Selanjutnya aku
lakukan berkali-kali dari kamar mandi pun terdengar peringatan mendekati pukul
tujuh. Aku tergopoh-gopoh keluar kamar mandi sambil membawa handuk masuk ke
kamar.
Ibu telah berada di kamar seragam
sekolah sudah disiapkan di atas kasur. Dengan sigapnya ibu membantu mengenakan
pakaian seragam dilanjutkan sarapan nasi megono khas Pekalongan. Ibu sangat
pandai mengatur waktu. Meski demikian ibu masih juga bekerja dan sebelum aku
berangkat, ibu mempersiapkanku pergi ke sekolah. Bapak di depan rumah sudah
menyiapkan sepeda hitam sebagai sarana mengantarkan aku ke madrasah. Kerja sama
itu baru aku rasakan sekarang saat beliau telah meninggal. Memori ku kembali
berjalan ke belakang mengingat perjalanan diwaktu usia sekolah dasar.
Bapak sosok laki-laki jujur menghadapi
hidup menjalaninya tanpa keluh kesah. Hanya senyuman kecil menghias rona wajah
menatap anaknya. Sebatas aku berfikir keadaan itu tidak akan pernah aku temukan,
seakan tanpa lelah terus berjiwa pemberi harapan kebahagiaan. Beliau seorang
yang luar biasa, namun semua itu hanya kebohongan yang tak tampak. Aku yakin
dirinya tak ingin menampakkan kesedihan dihadapanku. Bapak sangat pandai
menyimpan kesedihan yang amat mendalam. Entah mengenai pekerjaan ataupun
masalah klasik keluarga besar mertua.
Sepeda hitam milik bapak berasal dari
ketekunan bekerja sebagai sosok bertanggung jawab kepada keluarga. Aku berusaha
memaklumi keadaan yang harus diterima. Sepeda itu mengantarkanku hingga di
depan madrasah tempat aku sekolah. Saat sepulang sekolah aku berjabat tangan
dengan beliau lalu aku lihat. Garis wajah sudah mulai tampak dan aku melihat
sendiri bapak bekerja begitu sabarnya. Aku belajar melihat keadaan itu tiap
hari bahkan menemaninya. Mungkin bagi bapak, kehadiranku di sisinya menjadi
penyemangat disaat beliau bekerja. Aku terus melihat tangan bapak bekerja
terkadang bapak bertanya “Jam berapa dek?”
pertanyaan itu melatih agar bisa membaca waktu. Pertanyaan yang terlontar
tersebut berfilosofi mendalam. Waktu akan menghabikan sisa umur manusia dan
bapak terus menanyakan hal itu.
Perbedaan ruang telah memisahkan kita,
kini bapak telah pergi bertemu Allah SWT. Banyak hal yang harus aku pelajari
tentang kerasnya hidup. Belajar susah payah bertanggung jawab kepada istri ,
tangguh sebagai menantu dan pekerja giat dalam pekerjaannya. Maafkan anakmu,
kini anakmu sudah ingin merasakan hal yang sama, belajar berpeluh keringat
menghargai hidup. Aku ingin mentalku setegar mentalmu mengarungi hidup. Aku hanya
bisa mendengarkan nasehat-nasehat terbaikmu selama masa hidupmu, saat ini aku
merindukan nasehat itu. Semoga bapak bahagia, sekali lagi maafkan anakmu karena
belum bisa membuatmu bahagia.
No comments:
Post a Comment