Sunday, 18 December 2016

Gowes di Jalur Mini XC Belajar Sejarah Dengan Mbah Nawar




Setelah semalam daerah Pekalongan dan sekitarnya diguyur hujan, pagi ini hari Minggu (18/12) cukup cerah berawan. Gowes kali ini berkumpul di titik warung jepang Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan. Warung jepang singkatan dari jembatan panjang, sebutan tersebut berasal dari sisi sebelah timur warung terdapat jembatan panjang. Di akhir pekan warung ini tak sepi dikunjungi para goweser yang hendak mengisi perutnya sekaligus sebagai titik kumpul kegiatan bersepeda.

Bersama 6 goweser yang berbeda pengalaman serta jam terbang perjalanan gowes dimulai. Destinasi rute gowes kali ini mencakup dua jalur yaitu jalur aspal dan jalur tanah. Dua jalur tersebut dibagi menjadi dua tempat yaitu Desa Wisata Lolong dan jalur trek mini cross country (XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar. Adapun karakteristik dari jalan aspal realtif bersifat kering, sedangkan jalan tanah bersifat basah dan licin karena air hujan. Prinsip keseimbangan jalur bersepeda diterapkan agar tidak monoton dalam satu jalur sama.

Rute pertama menuju Desa Wisata Lolong jarak tempuh dari titik start kurang lebih 2 km menuju ke arah selatan. Suasana pedesaan terasa rindang, berbagai  pohon khas desa seperti sengon dan durian terlihat di sepanjang jalan. Pengusaha kayu sabitan tampaknya sudah melakukan kegiatannya seperti membelah batang pohon dijadikan kayu  bangunan atau bentuk lainnya seperti kayu bakar. Perjalanan sampai di pusat kegiatan Desa Wisata Lolong yang telah ramai dipadati wisatawan lokal menikmati fasilitas wisata bermain air di Sungai Lolong.

Selanjutnya melalui rute kedua menuju jalur trek mini cross country (XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar. Terletak ±3 Km dari Jalan Kajen - Karanganyar ke arah utara. Sajian jalur tepian hamparan persawahan Desa Banjarejo dilalui angin semilir dengan kondisi jalan menurun tanpa pedaling sehingga pandangan lebih rileks menikmati pemandangan khas pedesaan. Memasuki trek mini cross country (XC) berupa jalan buntu akhir dari jalan aspal, namun sebenarnya jalan tersebut  masih ada lanjutannya menuju perkebunan sengon. Seperti yang sudah dideskripsikan bahwa jalur menuju trek ini mempunyai karakteristik jalan tanah bersifat basah dan licin karena air hujan. Hendaknya kondisi ban sepeda harus mempunyai ukuran standar minimal 2.10 dan bukan ban bermotif halus (road bike). Tidak hanya itu goweser lebih hati-hati dalam pemilihan bagian tanah yang tidak terlalu licin. Hal ini bisa dibedakan dengan tidak memilih tanah yang terdapat lapisan lumut berwarna hijau.

Jalur trek mini cross country (XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar disebut mini XC karena pajang lintasan jalur sangat pendek yaitu ± 2,5 Km dengan 2 stase yang pertama perkebunan penduduk meliputi berbagai tanaman polowijo dan stase kedua mencakup seluruh perkebutan pohon sengon. Adapun gambaran 2 stase jalur trek berupa full turunan dan diantara kedua trek terdapat daerah transisi yang relatif datar sehingga banyak melakukan teknik pedaling. Meski demikian trek ini cukup menarik untuk dilalui apabila menghendaki kegiatan gowes sekitaran daerah perbukitan.

Secara garis besar jalur trek mini cross country (XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar merupakan daerah perbukitan dengan dominasi perkebunan sengon. Jalan tersebut sebagai penghubung antara Kecamatan Karanganyar dan Kecamatan Wonopringgo. Seringnya hanya dilewati para petani daerah setempat yang juga sebagai pengelola lahan pertanian dan perkebunan di sekitar perbukitan.

Disela-sela istirahat, ditengah perjalanan rombongan goweser menjumpai kakek yang juga sedang melalui jalur yang sama.  Saat itu pula kami berusaha mendekati kakek tersebut, dengan gaya bicara yang sepertinya sudah saling akrab satu per satu informasi didapatkan. Sepertinya akan lebih nyaman menyebutnya Mbah Nawar agar kekerabatan itu bisa terjalin begitu mesranya. 


Mbah Nawar berjalan perlahan menapaki jalan dengan membawa hasil perkebunan berupa ketela pohon di pundaknya. Diusia senjanya beliau tidak mengetahui usianya sekarang. Disaat kami menanyakan mengenai usianya, pendengarannya sudah mulai berkurang. Wajahnya seakan bertanya kembali dengan menyodorkan telinganya sebagai tanda untuk mengulang kembali sesuatu yang ditanyakan. Saat itu pula beliau menjawab dengan nada terbata-bata mengingat jumlah gigi geliginya sudah tidak lengkap terasa ingin sekali beliau bercengkrama membaur selayaknya teman yang sudah saling mengakrabkan bersama kami. Rasa kerendahan hati beliau terpancar saat senyumnya terus menghiasi wajahnya. “Umur kulo kawet jaman Jepang nang kene, njajah Wonopringgo, pas niku usia kulo mpun kawin”, (usia saya sejak zaman Jepang mulai menjajah daerah Kecamatan Wonopringgo, disaat itu pula saya sudah menikah), Beliau menuturkan sejarah tentang dahulu tatkala tentara Jepang dan pasukannya menyerang masyarakat setempat. Daerah perbukitan tersebut juga digunakan untuk baku tembak perlawanan masyarakat Wonopringgo  dengan tentara Jepang.

Obrolan ringan kepada Mbah Nawar begitu hangatnya bisa diartikan bahwa seorang kakek akan lebih suka diajak bercerita mengenai zaman dirinya masih muda. Lebih khususnya mengenai peperangan dalam melawan penjajahan. Kami pun menanggapi dengan menanyakan tentang zaman GERWANI dan masa hadirnya Partai Komunis Indonesia, Mbah Nawar bercerita penduduk Desa Wonopringgo masih sedikit, penjajahan juga mengharuskan penduduk menanam komoditi pertanian. Beliau salah satu petani pekerja paksa menanam padi dipersawahan Kecamatan Wonopringgo. “Biyen simbah melu nandur pari neng kene jamane tentara Jepan nembe mlebu”, (dahulu simbah ikut menanam padi disaat tentara jepang baru masuk wilayah ini), ucap Mbah Nawar kepada kami. Nada ucapan tiap kata Mbah Nawar sangat pelan sedikit terbata-bata seirama keadaan tubuhnya mulai tremor (gemetar) hingga tangannya pun harus menggunakan tongkat. Saat ditanya resep agar bisa tetap bisa sehat beliau menjawab, “Seng penting sampeyan akeh melakune mengko awakmu sehat”, (yang penting kamu banyak jalan kaki nanti kamu akan sehat), jawab Mbah Nawar. Kami juga menanggapi tentang jasa kepahlawanannya dengan membanggakan kehebatannya bahkan keberaniannya berperang. Selain itu kita mengajak berfoto ria sembari berkelakar dan menyisipkan guyonan kecil kepada beliau. Terik sinar matahari semakin terasa, tidak lama kemudian kami mempersilakan Mbah Nawar melanjutkan perjalanannya kembali. 

Pemaparan narasi diatas ternyata banyak sekali kejadian yang tidak terduga dalam kegiatan gowes. Bertemu dengan sosok pahlawan bangsa yang masih hidup hingga sekarang, bukanlah hal yang tidak sengaja melainkan perintah untuk belajar kepada beliau. Mbah Nawar sudah menikah tatkala jepang terakhir masuk ke Indonesia. Apabila Jepang masuk ke tanah Jawa pada tahun 1942 dan Mbah Nawar sudah menikah. Apabila disaat menikah berusia 17 tahun berarti tahun kelahiran Mbah Nawar sekitar 1925 artinya perkiraan usia Mbah Nawar sekarang yaitu 91 tahun. Sungguh masih sehat secara fisik keadaan Mbah Nawar meskipun sudah mulai tremor beliau tetap setia bertani di tanah kelahirannya. Mbah Nawar sudah menembus sisi kemurnian hati manusia serta masih bertanggung jawab mengisi kemerdekaan. Lahan pertanian yang sekarang garap dahulunya diperoleh dengan susah payah hingga berdarah darah bertempur melawan pemerintahan Jepang. Kesetiannya sebagai petani sudah mengakar masih saja bergelut mengolah hasil kemerdekaan, mengupayakan kebaikan tanah agar bisa dicocok tanam. Meskipun sepele Mbah Nawar membawa sebungkul ketela pohon beliau sangat mensyukuri adanya, karena beliau merasakan pahitnya merebut lahan pertanian dimasa penjajahan. Ketela pohon itu menjadi saksi hasil kemerdekaan yang diperjuangkan hingga sekarang. Sebatas rakyat biasa terasa damai sudah mendapatkan hal yang sederhana namun bagi beliau adalah sesuatu yang istimewa karena dia seorang pejuang sejati bagi negara.

2 comments:

  1. dapet satu lagi informasi trek di pulau jawa. keren mas infonya..

    ReplyDelete
  2. siapp mas saya tunggu gowes barengnya heheee

    ReplyDelete