Setelah
semalam daerah Pekalongan dan sekitarnya diguyur hujan, pagi ini hari Minggu
(18/12) cukup cerah berawan. Gowes kali ini berkumpul di titik warung jepang
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan. Warung jepang singkatan dari
jembatan panjang, sebutan tersebut berasal dari sisi sebelah timur warung
terdapat jembatan panjang. Di akhir pekan warung ini tak sepi dikunjungi para
goweser yang hendak mengisi perutnya sekaligus sebagai titik kumpul kegiatan
bersepeda.
Bersama
6 goweser yang berbeda pengalaman serta jam terbang perjalanan gowes dimulai. Destinasi
rute gowes kali ini mencakup dua jalur yaitu jalur aspal dan jalur tanah. Dua
jalur tersebut dibagi menjadi dua tempat yaitu Desa Wisata Lolong dan jalur
trek mini cross country (XC) Sebengok
Sokasari Kecamatan Karanganyar. Adapun karakteristik dari jalan aspal realtif
bersifat kering, sedangkan jalan tanah bersifat basah dan licin karena air
hujan. Prinsip keseimbangan jalur bersepeda diterapkan agar tidak monoton dalam
satu jalur sama.
Rute
pertama menuju Desa Wisata Lolong jarak tempuh dari titik start kurang lebih 2
km menuju ke arah selatan. Suasana pedesaan terasa rindang, berbagai pohon khas desa seperti sengon dan durian
terlihat di sepanjang jalan. Pengusaha kayu sabitan tampaknya sudah melakukan
kegiatannya seperti membelah batang pohon dijadikan kayu bangunan atau bentuk lainnya seperti kayu
bakar. Perjalanan sampai di pusat kegiatan Desa Wisata Lolong yang telah ramai
dipadati wisatawan lokal menikmati fasilitas wisata bermain air di Sungai
Lolong.
Selanjutnya
melalui rute kedua menuju jalur trek mini cross
country (XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar. Terletak ±3 Km dari
Jalan Kajen - Karanganyar ke arah utara. Sajian jalur tepian hamparan
persawahan Desa Banjarejo dilalui angin semilir dengan kondisi jalan menurun tanpa
pedaling sehingga pandangan lebih rileks menikmati pemandangan khas pedesaan.
Memasuki trek mini cross country (XC) berupa
jalan buntu akhir dari jalan aspal, namun sebenarnya jalan tersebut masih ada lanjutannya menuju perkebunan
sengon. Seperti yang sudah dideskripsikan bahwa jalur menuju trek ini mempunyai
karakteristik jalan tanah bersifat basah dan licin karena air hujan. Hendaknya
kondisi ban sepeda harus mempunyai ukuran standar minimal 2.10 dan bukan ban
bermotif halus (road bike). Tidak hanya itu goweser lebih hati-hati dalam
pemilihan bagian tanah yang tidak terlalu licin. Hal ini bisa dibedakan dengan
tidak memilih tanah yang terdapat lapisan lumut berwarna hijau.
Jalur
trek mini cross country (XC) Sebengok
Sokasari Kecamatan Karanganyar disebut mini XC karena pajang lintasan jalur sangat
pendek yaitu ± 2,5 Km dengan 2 stase yang pertama perkebunan penduduk meliputi
berbagai tanaman polowijo dan stase kedua mencakup seluruh perkebutan pohon
sengon. Adapun gambaran 2 stase jalur trek berupa full turunan dan diantara
kedua trek terdapat daerah transisi yang relatif datar sehingga banyak
melakukan teknik pedaling. Meski demikian
trek ini cukup menarik untuk dilalui apabila menghendaki kegiatan gowes
sekitaran daerah perbukitan.
Secara
garis besar jalur trek mini cross country
(XC) Sebengok Sokasari Kecamatan Karanganyar merupakan daerah perbukitan
dengan dominasi perkebunan sengon. Jalan tersebut sebagai penghubung antara
Kecamatan Karanganyar dan Kecamatan Wonopringgo. Seringnya hanya dilewati para
petani daerah setempat yang juga sebagai pengelola lahan pertanian dan
perkebunan di sekitar perbukitan.
Disela-sela
istirahat, ditengah perjalanan rombongan goweser menjumpai kakek yang juga sedang
melalui jalur yang sama. Saat itu pula kami
berusaha mendekati kakek tersebut, dengan gaya bicara yang sepertinya sudah
saling akrab satu per satu informasi didapatkan. Sepertinya akan lebih nyaman menyebutnya
Mbah Nawar agar kekerabatan itu bisa terjalin begitu mesranya.
Mbah
Nawar berjalan perlahan menapaki jalan dengan membawa hasil perkebunan berupa
ketela pohon di pundaknya. Diusia senjanya beliau tidak mengetahui usianya
sekarang. Disaat kami menanyakan mengenai usianya, pendengarannya sudah mulai
berkurang. Wajahnya seakan bertanya kembali dengan menyodorkan telinganya
sebagai tanda untuk mengulang kembali sesuatu yang ditanyakan. Saat itu pula
beliau menjawab dengan nada terbata-bata mengingat jumlah gigi geliginya sudah
tidak lengkap terasa ingin sekali beliau bercengkrama membaur selayaknya teman yang
sudah saling mengakrabkan bersama kami. Rasa kerendahan hati beliau terpancar
saat senyumnya terus menghiasi wajahnya. “Umur
kulo kawet jaman Jepang nang kene, njajah Wonopringgo, pas niku usia kulo mpun
kawin”, (usia saya sejak zaman Jepang mulai menjajah daerah Kecamatan Wonopringgo,
disaat itu pula saya sudah menikah), Beliau menuturkan sejarah tentang dahulu tatkala
tentara Jepang dan pasukannya menyerang masyarakat setempat. Daerah perbukitan
tersebut juga digunakan untuk baku tembak perlawanan masyarakat
Wonopringgo dengan tentara Jepang.
Obrolan
ringan kepada Mbah Nawar begitu hangatnya bisa diartikan bahwa seorang kakek
akan lebih suka diajak bercerita mengenai zaman dirinya masih muda. Lebih
khususnya mengenai peperangan dalam melawan penjajahan. Kami pun menanggapi dengan
menanyakan tentang zaman GERWANI dan masa hadirnya Partai Komunis Indonesia,
Mbah Nawar bercerita penduduk Desa Wonopringgo masih sedikit, penjajahan juga
mengharuskan penduduk menanam komoditi pertanian. Beliau salah satu petani
pekerja paksa menanam padi dipersawahan Kecamatan Wonopringgo. “Biyen simbah melu nandur pari neng kene jamane
tentara Jepan nembe mlebu”, (dahulu simbah ikut menanam padi disaat tentara
jepang baru masuk wilayah ini), ucap Mbah Nawar kepada kami. Nada ucapan tiap
kata Mbah Nawar sangat pelan sedikit terbata-bata seirama keadaan tubuhnya
mulai tremor (gemetar) hingga tangannya pun harus menggunakan tongkat. Saat
ditanya resep agar bisa tetap bisa sehat beliau menjawab, “Seng penting sampeyan akeh melakune mengko awakmu sehat”, (yang
penting kamu banyak jalan kaki nanti kamu akan sehat), jawab Mbah Nawar. Kami
juga menanggapi tentang jasa kepahlawanannya dengan membanggakan kehebatannya
bahkan keberaniannya berperang. Selain itu kita mengajak berfoto ria sembari
berkelakar dan menyisipkan guyonan kecil
kepada beliau. Terik sinar matahari semakin terasa, tidak lama kemudian kami
mempersilakan Mbah Nawar melanjutkan perjalanannya kembali.
Pemaparan
narasi diatas ternyata banyak sekali kejadian yang tidak terduga dalam kegiatan
gowes. Bertemu dengan sosok pahlawan bangsa yang masih hidup hingga sekarang,
bukanlah hal yang tidak sengaja melainkan perintah untuk belajar kepada beliau.
Mbah Nawar sudah menikah tatkala jepang terakhir masuk ke Indonesia. Apabila
Jepang masuk ke tanah Jawa pada tahun 1942 dan Mbah Nawar sudah menikah.
Apabila disaat menikah berusia 17 tahun berarti tahun kelahiran Mbah Nawar
sekitar 1925 artinya perkiraan usia Mbah Nawar sekarang yaitu 91 tahun. Sungguh
masih sehat secara fisik keadaan Mbah Nawar meskipun sudah mulai tremor beliau tetap setia bertani di
tanah kelahirannya. Mbah Nawar sudah menembus sisi kemurnian hati manusia serta
masih bertanggung jawab mengisi kemerdekaan. Lahan pertanian yang sekarang
garap dahulunya diperoleh dengan susah payah hingga berdarah darah bertempur
melawan pemerintahan Jepang. Kesetiannya sebagai petani sudah mengakar masih
saja bergelut mengolah hasil kemerdekaan, mengupayakan kebaikan tanah agar bisa
dicocok tanam. Meskipun sepele Mbah Nawar membawa sebungkul ketela pohon beliau
sangat mensyukuri adanya, karena beliau merasakan pahitnya merebut lahan
pertanian dimasa penjajahan. Ketela pohon itu menjadi saksi hasil kemerdekaan
yang diperjuangkan hingga sekarang. Sebatas rakyat biasa terasa damai sudah
mendapatkan hal yang sederhana namun bagi beliau adalah sesuatu yang istimewa
karena dia seorang pejuang sejati bagi negara.
dapet satu lagi informasi trek di pulau jawa. keren mas infonya..
ReplyDeletesiapp mas saya tunggu gowes barengnya heheee
ReplyDelete