Langgam tersebut berjudul
"Caping Gunung". Sebuah karya ciptaan Alm. Bp. Gesang yang bercerita
mengenai kerinduan masyarakat pegunungan (desa) kepada anaknya (generasi
penerus).
Patut diapresiasi kepada pihak
PT. KAI sangat berfilosofi dalam memilih judul langgam yang sesuai dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Tengah.
Menurut wikipedia dari
seluruh jumlah penduduk Jawa Tengah 47% di antaranya merupakan angkatan kerja.
Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42,34%) diikuti
dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%). Dari data
tersebut diketahui bahwa jumlah petani masih menduduki peringkat teratas
dibanding mata pencaharian lainnya.
Sehingga makna caping yang
identik dengan sebuah penutup kepala seorang petani menjadi simbol kehidupan
yang mengerucut. Selain sisi horisontal berbentuk lingkaran yang lekat dengan
kearifan lokal, ramah, bersahaja juga sisi pengerucutan hubungan vertikal juga
masih dijunjung erat keberadaannya.
Secara kedekatan sosial makna
langgam jawa "Caping Gunung", mengingatkan kepada para perantauan
untuk menyapa kembali leluhur mereka. Bukan hanya sekedar memberi salam,
melainkan mencontoh norma-norma kesopanan, agar turut dibawa meskipun sampai
kehidupan perkotaan. Tidak hanya itu, disaat kembali pun masyarakat desa juga
mengharapkan anak-anaknya dengan penuh kerendahan hati, tepo sliro dan tidak
merusak tradisi asli mereka.
Pesan dari PT KAI melalui
langgam jawa tersebut semoga bisa mengena dalam hati bagi siapa saja yang
mendengarnya, termasuk saya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSalam,
ReplyDeleteKemarin saya naek kereta Bathara Kresna juga diiringi alunan musik Jawa, tapi Bossanova an. Pas buat menikmati perjalanan. :)