Wednesday 8 March 2017

Sinau Katul

Diantara kesibukan tetangga yang sedang asyik menikmati hari liburnya, saya memilih gowes mengurangi berat tubuh karena kancing celana sudah mulai gak cukup lagi. Semenjak bulan Desember hingga Febuari kemarin curah hujan cukup tinggi, kok mau gowes kadang memulai aktifitas lainnya saja masih mempertimbangkan urgent atau tidak. Meski kalau gowes ini bisa masuk 2 kategori tersebut. Hal yang terpenting tetep harus gowes hari minggu ini, syukur-syukur bisa ngurangin lemak biarpun cuma sedikit.

Dari rumah hanya seorang diri alias sendiran menuju ke Desa Pamutih salah satu desa di Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Hidrobag berisi tool, pompa, ban cadangan dan botol tupperware berisi air putih cukuplah hanya gowes ringan biar kelihatan atlet meskipun cakupannya tingkat RT. Ada yang tak ketinggalan yaitu smartphone android yang sebelumnya saya nyalakan aplikasi pengitungan jarak tempuh bersepeda dengan sensor GPS. Semuanya disiapkan sebagai bekal pelengkap yang digendong kemana-mana.

Kayuhan pertama saya lakukan dan seterusnya perlahan meninggalkan rumah. Suasana komplek perumahan masih sepi tidak menampakkan aktifitas yang muncul diluar rumah. Om Edy telah mewanti-wanti agar ketika sampai di Desa Tasikrejo harap menghubunginya.

Sekilas tentang Desa Pamutih berada di Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang, tempat lahirnya Om Edy teman seperjuangan gowes saya. Ada hal yang menarik bagi saya di desa ini yaitu tentang jahe susu dan hasil pertanian berupa tanaman padi. Kalau datangnya malam cocok tidak afdhol jika tidak mampir ke warung tradisonal susu jahe, namun karena ini pagi hari maka hal yang patut dirasakan yaitu kenikmatan pemandangan pertanian berupa lahan sawah disepanjang jalan.

Telah sampailah di Desa Tasikrejo yang merupakan desa perbatasan antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang. Smartphone saya ambil apliakasi whatsapp aku buka kemudian menghubungi Om Edi, “Om aku udah memasuki Desa Tasikrejo”, begitu isi pesan tersebut.

Sejenak saya berhenti di depan Madrasah Salafiyah mengamati kegiatan masyarakat diantaranya banyak membawa alat pertanian berupa cangkul, arit, pompa pupuk dan tak lupa sedikit bekal yang dibawa menuju sawah tempat mereka bekerja.  Keceriaan kecil terpancar dari senyum sumringah menyambut pagi. Prediksi saya ternyata bulan ini musim panen yang menyebabkan mereka lebih sibuk dari hari biasanya.

Perjalanan kembali saya lanjutkan menuju Desa Pamutih, jalan lurus ke arah barat termasuk jalur utama penghubung desa. Kegiatan interaksi sosial ekonomi terwujud dalam kebiasaan masyarakat bermatapencaharian sebagai penjahit konveksi dan bertani. Rumah-rumah yang di pinggir jalan terlihat terbuka kemudian disana terdapat mesin jahit yang jumlahnya lebih dari satu. Artinya kreatifitas masyarakat disini juga sangat bagus dibidang ekonomi.

Pemandangan selanjutnya yaitu hamparan persawahan disisi kanan dan kiri. Tananaman padi menguning kompak memberikan tanda bahwa masa tanamnya dulu juga pada waktu bersamaan. Pada masa panennya pekerja dari daerah lain turut berpartisipasi serta bekerja dengan pemilik lahan persawahan. Mereka sebagai pekerja lepas buruh harian.  Umumnya mereka berombongan naik mobil pick up berangkat dan pulang bersama-sama. Tugas mereka hanya memanen atau istilah lokalnya disebut nggeret. Biasanya pemilik sawah turut serta dalam proses pemanenan. Dibantu dengan mobil keliling yang menawarkan jasa mesin pengolah padi mereka bekerja dalam satu tempat secara bersama-sama.

Sampai juga akhirnya di Desa Pamutih laporan kembali saya lakukan melalui pesan singkat kepada Om Edi. Tak lama kemudian beliau datang menggunakan sepeda motor bersama anak perempuannya yang masih balita. Bersamanya akhirnya menuju ke rumah beliau berganti mengambil sepeda gowes. Akhirnya kami pun bergowes ria menapaki jalanan Desa Pamutih dan sekitarnya.

Saya masih penasaran ingin belajar tentang pengetahuan tentang persawahan termasuk padi. Paling mudah dipelajari bentuk hasilnya terus tentang cara pengolahan. Maka tidak salahnya sambil menikmati gowes saya terlibat diskusi kecil dengan Om Edi.
“Om Edi yang namanya gabah itu hasil dari panenan kan ya?” , tanya saya sambil memilih jalan agar menepi.
”Bener om, jadi masih kasar biasanya masih ada rantingnya meskipun dikit”,
“Terus...kalau istilah katul itu hasil paling akhir dari kulit padi yang halus sedangkan dedhek itu hasil kasarnya kan betul begitu?”
“Bukan begitu om  dedhek itu ya kulitnya padi sedangkan katul adalah kupasan kulit ari padi yang dihaluskan”.
“Ohh...begitu om, selama ini persepsiku tentang pengolahan padi ternyata salah”.

Sambil mikir saya mengingat kembali waktu dulu bersama almarhum bapak saya sering disuruh membeli katul sebagai makanan ayam. Ditempat juragan padi katul tersebut dijual dengan harga Rp. 800 rupiah ternyata sekarang sudah naik menjadi Rp.2000. Menurut Om Edy katul ini pada prosesnya diseleksi pada saat padi dibuka kemudian bagian setelah kulit luar dikupas dan dihaluskan lagi. Ada dua bagian sortiran yang halus dan yang kasar. Bentuk hasil yang halus ini yang disebut dengan katul yang berguna untuk makanan ternak unggas. Beliau memaparkan juga mengenai istilah dedhek yaitu kulit yang paling luar sebagai bahan campuran pembakaran, pupuk dan sebagainya.

Tak terasa dari obolan tentang hasil padi tersebut menghantarkan ke tempat wisata mangrove di kawasan Sungai Comal. Sebuah dermaga kecil dilengkapi tempat menunggu perahu yang berlabuh mengantarkan wisatawan yang hendak menuju hutan mangrove. Menurut wisatawan yang baru menikmati perjalanan menggunakan perahu, diperlakukan waktu kurang lebih 20 menit agar sampai tempat wisatnya. Saya pun akhirnya mengurungkan niat karena masih banyak kagiatan lain hingga malam hari. Gowes kali ini cukup memberikan tambahan pengetahuan tentang padi dan hadiah menikmati kawasan sekitar hutan mangrove yang belum lama dibuka oleh pemerintah setempat.


No comments:

Post a Comment