Monday 6 March 2017

Pagi Kue Pukis

Motor Grand Livina tahun 1996 aku keluarkan dari halaman rumah, bersama pagi aku melaju mencari kewajaran hidup layaknya seperti manusia lainnya. Mengawali pekan ini aku mencoba mengingat terakhir kebiasaanku ditengah jalan membeli kue pukis yaitu sekitar 2 minggu yang lalu. Keinginan itu tiba-tiba muncul sudah tentu semuanya ada yang bekerja yaitu Maha Penggerak hati manusia.

Di pinggir jalan hanya menggunakan meja kecil sebagai tempat masak kue. Laki-laki paruh baya mengambil adonan dari ember kecil yang dituang ke dalam cetakan berisi 20 kue pukis. Anak laki-lakinya matanya kosong berada di sampingnya menunggu isyarat perintah yang keluar dari mulut bapaknya.

Pagi itu anak ini tidak menampakkan kesibukan sama halnya dilakukan anak-anak seusianya naik sepeda menuju ke sekolah. Dua sepeda butut tergeletak diantara dedaunan kering dibawah pohon mangga. Sedang lapak jualan kue ini berada menghadap jalan raya pertigaan jalur perumahan.

Aku menyeberang jalan ditengah hiruk pikuk keramaian masyarakat hendak mengantarakan sekolah ataupun berangkat bekerja. Selesai sudah akhirnya telah sampai di seberang jalan, motor aku pinggirkan lalu disebelah gang menuju perkampungan.

Terlihat masih sibuk saja bapak penjual pukis ini. Membuka tutup tempat cetakan sesekali mengambil kue pukis yang sudah matang kemudian dipindakan ke dalam loyang tempat penyajian. Sebelum ia menawarkan, aku langsung memulai memesan kue pukis  dari bagian belakang bapak penjual berdiri,
“Pukis yang hijau 1 kotak , Pak! Yang garing ya”, aku membuka helm agar lebih santai ngobrolnya.
Tanpa menoleh ke belakang bapak ini menjawab,
“Iya mas yang ini ya”, sambil menunjukkan kue pukis yang masih belum matang.
“Pokoknya yang garing pak”,  aku mengulangi pesanan untuk kedua kalinya.

Bersamaan dengan itu, seorang ibu datang menggunakan motor matik merah bersama anak balitanya juga menghampiri lapak kue pukis ini. Lalu terjadi perbincangan ringan antara ibu dengan bapak penjual kue pukis,
“Lha ini kok baru kelihatan, Bu?”, sembari senyum tapi masih asyik saja ngurusi kue pukis di cetakan.
“Iyah nih pak, soalnya baru bisa nganter anak hari ini”, jawabnya ibu sambil mengeluarkan lembaran uang kertas.
“Dua ribu boleh pak?”, tanya ibu penuh harap.
“Boleh sekali bu, seribu aja boleh kok”, jawab bapak dengan  ramah.

Pesanan pukis agar garing ternyata memakan waktu, obrolan kecil membaur agar terasa mengusik kejenuhan menunggu.
“Pak kalau hujan gimana dagangannya?”, rasa penasaran itu timbul karena belum pernah melihat tatkala pagi hujan.
“Biasanya sih nebeng di warung sebelah mas, gimana lagi ya belum punya payung, katanya harganya 90 ribu tapi masih banyak kebutuhan lainnya”, senyum bapak tanpa gelisah.

“Oh begitu pak”, aku tidak meneruskan kembali percakapan.
Lalu bapak ini berkata lagi, “Kompor yang saya bawa ini saja saya masih punya satu mas, jadi kalau istri mau masak nunggu saya pulang. Makanya kemarin ada yang nyuruh ninggal saja kompornya disini namun saya bilang biar saya bawa pulang saja”, begitu bapak ini bercerita.

Hanya bisa menghela nafas dalam, terasa ditampar karena masih kurang jauh berinteraksi dengan sekitar. Diantara cerita dan pengalaman bebera penjual yang kutemukan baru kali ini mendengar keadaan rumahnya dengan rasa kejujuran. Dia tidak menunjukkan belas kasihan, dari cara berbicara tidak ada nada memelas kepada orang lain. Sangat beruntung karena pagi ini sudah belajar kesederhanaan, kesabaran  dan ketelatenan dari bapak penjual pukis. Bahkan seorang yang hanya mempunyai satu kompor tetap berusaha menghidupi keluarganya.


No comments:

Post a Comment