Monday 13 March 2017

Ajaklah Mereka Dengan Hati dan Renungkan Perbandingan (1:17.000)

Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bersepeda, ohh....bagus lah!, juga mengingatkan kebiasaan lama yang hampir punah tergerus budaya instan bermotor ria. Yaa....Bentuk ajakan tersebut sangatlah beranekaragam dari kampanye bebas polusi melalui iklan layanan masyarakat, ajakan media sosial, klub sepeda, car free day, fun bike dan lain sebagainya. Kegiatan bersepeda sudah mulai dilirik oleh sebagian masyarakat, meski terkadang hanya sebagai olah raga tiap hari minggu. Oke...oke..fine...gak jadi masalah, selama ada kepedulian tentang kesehatan masih bagus, juga ada kepedulian lain lho...yaitu tentang kerusakan lingkungan karena polusi udara.

Secara garis besar sih..!,  ada 2 cara ya...mengajak bersepeda yaitu dari hati ke hati dan iming-iming berhadiah....lho kok bisa? Nanti kita akan bahas lebih dalam lagi...dari serentetan kalimat semoga bisa menangkap poin-poin terpenting dari masing-masing paragraf di bawah ini.

Tentunya yang sudah mengenal hobi bersepeda satu minggu gak gowes karena suatu alasan, terlalu disayangkan melewatinya. Momen bersama teman yang sehobi akan membuat rasa kangen bercanda bersama melalui berbagai macam medan perjalanan. Klub gowes sudah seperti keluarga kalaupun ada satu yang berhalangan hadir mesti ada yang tanya alasan ketidakhadirannya itu.

Poin terpenting disini bahwa sepeda itu sebagai sarana pertemanan dari berbagai lini kehidupan. Dari masing-masing anggota ini berpotensi mengajak teman lain yang memang benar-benar sama sekali belum mengenal hobi bersepeda.

“Ayo...gowes cari keringat, bisa ketemu temen-temen...!!! asyik lho...bisa piknik terus tiap minggu, dijamin deh dapat pengalaman baru”, dengan berceloteh, tersenyum ramah, lalu sampaikan kepada mereka bisa membuat rasa penasaran dalam pikirannya, meskipun hanya wacana ke depan tentang keinginan berolahraga. Yaa...yang namanya promosi itu bisa langsung laku, juga bisa nanti entah kapannya yang penting ajak lain mencintai olah raga.

Ajakan itu terasa bisa ditanggapi lebih antusias, disaat teman sudah mulai bertanya tentang harga sepeda yang kualitasnya oke, tapi murah..hehehe...biasanya kita pusing mencari merek sepeda tersebut...”Tapi tahap awal sangat bagus... sudah separuh perjalanan!”.

Mereka tidak salah karena memang sudah pantasnya, sebelum membeli sepeda harus banyak bertanya kepada yang sudah banyak melakoni berbagai pengalaman tentang sepeda. Apalagi harga sepeda relatif tidak murah...betul kan ya? semoga begitu..hahaa...

“Yukk...bersungguh sungguh jadi agen promosi kesehatan...langsung maju..cuuuzz.!!!”
Tetap dikawal kalau perlu...tawarkan kesedian waktu menemaninya membeli sepeda. Cara ini sebagai bukti bahwa goweser itu ramah bahkan keakraban persaudaraan ini bisa muncul disaat pertama kalinya membeli sepeda, ini sebuah pengalaman dan berbicara realita.

Eeeiiitsss.....lalu apabila sepeda barunya itu sudah terbeli, hanya sampai disini?
Lalu, “Bagaimana sikap selanjutnya setelah teman telah membeli sepeda barunya?”

Ajaklah gowes berdua...jangan langsung suruh bergabung bersama klub sepeda, biasanya masih minder dengan kemampuannya. Padahal anggapan ini bisa dikatakan berbanding terbalik dari asumsi tersebut.

Hanya sekedar berkeliling menikmati suasana lingkungan sekitar...boleh lah ! deket-deket saja...yang penting mencoba hal baru yang sudah lama ditinggalkan.

Kalau bertempat tinggal di pedesaan sangat banyak tempat-tempat asyik sebagai destinasi menikmati alam apalagi kalau melewati jalur pematang sawah...”Wow...wow...wow..bisa bikin hati tentrem”. Di area perkotaan tidak kalah menariknya lho...sebagai pemanasan ya...ajaklah mereka menikmati suasana pagi sebelum aktifitas menampakkan kemacetan. Satu jam sudah cukup lah...! carilah spot menarik berfoto bersama sebagai kenangan pertama kali gowes bareng...ceekreeeekk...upload...hhahahaaa...

Cara-cara ringan pendekatan hati, bersosialisasi berkawan secara berkesinambungan maka rasa persaudaraan akan semakin erat. Kalau sudah dianggap saudara, maka tiada batas untuk saling membantu dalam segala hal.

***
Yang ke-dua yaitu mengajak masyarakat bersepeda dengan iming-iming berhadiah.
“Yuppps...sebentar tahan!!!jangan underestimate dulu”.

Ada batasan mengenai konotasi iming-iming berhadiah diatas. Konteks yang dimaksud disini yaitu mengumpulkan masyarakat bersepeda lalu pada akhir momennya terdapat adu nasib perolehan hadiahnya.
“Hahaa..haha....rada berat kalimatnya...”, namun esensi kata yang berlaku yaitu adu nasib dan hadiah.

Perlahan-lahan saja...yang penting bisa memahami...satu per satu perbedaannya.

Bisa ditafsirkan sendiri mengenai iming-iming berhadiah dengan berbagai nama atau label kegiatan. Yang tepenting ada kedua unsur tersebut. Meskipun sama-sama mendapatkan hadiah, tidak sama lho....dengan ajang perlombaan bersepeda. Kalau lomba itu mengedepankan profesionalitas goweser jadi disini yang dituntut skill, kekuatan fisik dan strategi memenangkan perlombaan, sebagai pembedanya yaitu adu nasib yang hanya bermodalkan secarik tiket yang diundi dihadapan notaris dan pihak kepolisan.

“Okeey....yuk masuk...kita perdalam lagi mengenai ajakan bersepeda dengan cara mengadu nasib mendapatkan hadiah tersebut”.

Banyaknya komunitas penghobi sepeda dari segala macam onthelis (sepeda jadul), road bike (balap sepeda), fixie, city bike , MTB (sepeda gunung) dan lainya. Mempunyai power kebersamaan dalam satu komunitas. Tidak tanggung tangung dalam berbagai kota jumlahnya mencapai ratusan bahkan angka ribuan. Latar belakang tersebut menjadi alasan maraknya kegiatan iming-iming berhadiah marak terjadi dalam tiap tahunnnya bahkan pemerintah daerah turut mensponsorinya.

“Masih kuat membaca tulisan ini....atau semakin capek?...hagzh...hagz....hagz...yang penting jangan biarkan kening Anda berkerut apalagi ngantuk...hadeh.....wkwkkw...okey lanjut dah!!!”.

Tidak luput dari keberadaan hadiah yang sangat krusial menentukan jumlah peserta yang akan berpartisipasi serta sebagai penentu sukses tidaknya panitia membuat acara. Semakin mahal hadiah maka peserta akan semakin penasaran menentukan nasibnya dalam ajang tersebut. Panitia pun sangat pandai mencari hadiah yang bisa  merayu hati peserta dari kondisi sosial ekonomi dari masing-masing daerah.

Apabila masyarakat masih berpandangan mobil itu barang mewah, bisa jadi ini menjadi prioritas hadiah utama yang akan dipertaruhkan. Seketika itu akan menjadi buah bibir dikalangan masyarakat, merebak hingga ke kota tetangga bahkan ke pedesaan. Tentunya kalau ingin menjadi peserta tidak serta merta gratis, kalau bayar itu sudah pasti.

Meledaknya jumlah peserta yang ikut berpartisipasi dalam acara, bukan hanya dari penghobi bersepeda yang tidak pernah naik sepeda pun pada akhirnya “dipaksa” naik sepeda sambil hati kecilnya bicara sendiri, “Semoga mendapatkan hadiah mobil”. Pencapaian peserta sangat bervariatif bahkan jumlah tiket penjualnya lebih besar dari peserta yang hadir. Artinya satu peserta bisa membeli lebih dari satu untuk memperbesar peluang mendapatkan hadiahnya.

“Semoga masih kuat membaca....wkwkwkwk...karena setelah ini masuk ke dalam hitungan matematika dari masing-masing jumlah tiket yang terjual...Yuk....Cekidotttt!!!!”

Dari pengalaman yang sudah pernah berjalan dari tiga sampel kota di Pulau Jawa yang pernah mengadakan acara serupa berjumlah 10.000 an  (sepuluh ribuan), 20.000 an (dua puluh ribuan) dan terakhir 17.000 an (tujuh belas ribuan) tiket terjual dari rata-rata harga tiket Rp. 35.000 (tiga puluh lima ribu rupiah).

Kita ambil sampel data terakhir pencapaian hasil 17.000 tiket terjual apabila dikali Rp. 35.000 sudah mencapai angka Rp. 595.000.000 (lima ratus juta sembilan puluh lima juta rupiah).  Pencapaian hasil pemasukan tersebut sebagai uang tunai dari perolehan penjualan tiket, belum lagi dari sponsor pendukung acara. Biasanya sponsor juga memberikan dukungannya berupa hadiah hiburan. Sedang pengeluaran hadiah utama berupa mobil dengan kisaran harga Rp. 120.0000 (seratus dua puluh juta rupiah).

Berprasangka baik itu akan lebih baik sebagaimana peserta sudah “legowo” kalaupun ada keuntungan ya...semoga ada keuntungannya bagi panitia. Sedangkan bagi peserta pun juga tidak mengalami kerugian karena uang Rp.35.000 bisa mendapatkan kaos, snack, bertemu dengan teman, sehat dan bisa joged bareng di depan panggung. Realita ini bisa membuka lebar pengetahuan bagi penyelenggara dan peserta kegiatan. Masyarakat seharusnya semakin pintar dalam hal ini goweser juga turut menjadi agen yang mencerdaskan bangsa.

Lantas problematika yang terjadi dari dampak ajang ini adalah sebagai berikut

Bahwasanya orientasi yang terbentuk dari pemikiran masyarakat baik umum maupun penghobi sepeda yaitu sisi matrealisme dari hasil adu nasib melalui kegiatan bersepeda. Perbandingan perolehan hadiah utama yaitu 1 : 17.000 tiket penjualan. Dari jumlah 17.000 tiket hanya 1 tiket yang berhak memenangkan hadiah utama. Pihak penyelenggara bertindak sebagai sarana atas jawaban angin syurga” dalam doa masyarakat yang ingin sekali memperoleh penghidupan lebih layak dari kehidupan sosialnya. Hanya membayar uang recehan bisa memperoleh hasil sebegitu besarnya bahkan bisa meningkatkan prestis dikalangan masyarakat menengah atau malahan bisa jadi rejeki nomplok bagi yang benar-benar membutuhkan.

Dari sisi efektifitas, hadiah utama berupa mobil bertolak belakang dengan tujuan lain bersepeda yaitu mengurangi dampak polusi udara. Pihak penyelenggara secara tidak menyadari, melanggar dari esensi akhir bersepeda dari pandangan dampak lingkungan. Juga mereka memanfaatkan momentum jumlah penghobi sepeda yang sudah terbentuk sebagai “pejalan sunyi” ditengah carut marut budaya otomotif yang berkembang begitu pesatnya. Mereka hanya mementingkan target penjualan tiket sedang mengenal komunitas sepeda pun bahkan mereka belum pernah mengerti. Ya...mereka hanya sebuah event organizer yang mengumpulkan masyarakat melalui penjualan tiket.

“Lalu pertanyaan lain yang berkembang, apakah dari kegiatan iming-iming berhadiah tersebut masyarakat umum sudah mulai membiasakan diri bersepeda?”

Jawabannya ada dalam hati setiap para peserta setelah mengikuti acara kegiatan iming-iming berhadiah, dari segala perenungan yang mendalam. Melihat dengan tolok ukur fenomena tujuan utama dari penyelenggara,  hal yang ditimbulkan dari kegiatan dan paradigma yang terbentuk oleh masyarakat. Orientasi matrealisme masih menjadi pertimbangan utama dan bahkan membelokkan kesadaran murni para pelaku agen persaudaraan “pejalan sunyi” dari akar hobi yang menjunjung tinggi sportifitas, travelilling, sosial dan penyelamatan lingkungan.

Semoga hati kita terus menyandarkan diri sebagai musyafir yang akan finish kepada Sang Pencipta.




No comments:

Post a Comment