Wednesday 22 February 2017

Setelah 8 Pekan Vakum

Suara ketukan pintu rumah itu terdengar berkali-kali, “Om...om...om Syukron...om...om Syukron”, dari depan rumah suara itu terus menggema hingga belakang rumah.

Pagi hari Ahad 19 Febuari 2017 Om Budi nyamperin dan ngajak gowes. Cuaca lumayan cerah dari pagi-pagi biasanya. Dari bulan Januari hingga Febuari alhamdulillah Allah SWT selalu memberikan Rahmat dari langit berupa air begitu syukurnya pemandangan pagi ini .

Sepeda Specialized merah putih milik Om Budi sudah berada di depan rumah. “Om yukk...berangkat”, ajak Om Budi saat itu mengenakan jersey biru berkantong belakang.

Ritme kayuhan sepeda agak aku tingkatkan kecepatannya, menuju kawasan pantura terasa sangat tidak nyaman. Kendaraan besar terus menjejali jalanan, saling menyalip memaksa pengguna jalan seperti kendaraan bermotor, becak dan sepeda terus menepi hingga kehabisan ruang aman berkendara.
.
Kepulan asap solar terus menderu, menghempas tak terhindarkan. Kaos jersey bagian depan aku tarik ke atas kemudian aku tutupkan ke hidung sebagai cara yang menurutku paling bisa aku lakukan. Kalau pakai masker nafas pun terengah-engah tak beraturan.

“Kok tumben banget ya, truknya banyak?”, tanya Om Budi agak panik disaat truk besar saling salip ingin berada dibagian depan.

Meninggalkan kota kemudian menuju desa rumah tinggalnya Om Royan yaitu Pegandon yang letaknya kurang lebih 4 Km dari kota. Cukup menunggu gang keluar desa, saat setelah itu Om Royan datang menghampiri bersama dengan sepeda GIANT biru kesayangannya.

Kayuhan Om Royan semakin mendekat ke arahku kemudia berkata, “Sudah lama ya nunggu?”, Om Royan bersalaman dengan Om Budi, aku tetap memilih memacu kayuhan agar bisa bertemu dengan Om Amru yang berada sudah standby menghadang di depan jalan kurang lebih 1,5 Km.

Sekitar 15 menit perjalanan full speed sampai di depan SMP Karangdadap posisi Om Amru masih duduk-duduk santai menunggu rombongan kita datang.
“Om Amru...sori baru datang”, sepeda cozmic ku kemudian aku parkir diantara pinggir gang.
“Oya gak papa mas tenang aja, ini saja sekalian istirahat”, jawab Om Amru duduk posisi kaki lurus seperti goweser dalam keadaan lelah sekali.

Aku memilih meregangkan kaki yang mulai tegang melihat di keliling toko-toko belum buka, namun rutinitas masyarakat sudah menunjukkan kegiatannya. Suasana pasar Karangdadap malah telah ramai banyak orang melakukan kegiatan transaksi jual beli komoditas pasar tradisional.
 

Heart rate terasa masih berdegup kencang, ngos-ngosan tak terelakan tidak ada cara lain untuk mengkambinghitamkan latihan gowes yang telah lama tidak dilakukan. “Jarang gowes langsung dihajar full speed, istirahat dulu akh...sebentar ya Om Amru”, usulku kepada Om Amru kemudian beliau langsung mengiyakan usulanku.

Waktu 5 menit telah berlalu, keringat Om Budi paling banyak bercucuran turun dari dahi hingga leher terasa sekali pembakaran lemak-lemak tubuh telah sempurna.
“Om ayo...berangkat lagi menuju Doro”, ucap Om Budi sembari mengambil sepedanya dan mulai mengayuh kembali menuju jalan raya.

Sepanjang jalan aku memlilih paling depan meski ini agak dipaksakan menuju Pasar Doro. Keadaan perut sudah minta diisi makanan. Kayuhan perlahan aku turunkan menuju warung makan di perempatan. Sungguh pagi ini Allah SWT mempertemukan kembali aku dengan Mbah Adem penjual kue bandhos yang sudah pernah saya angkat dalam reportase gowes pada bulan Novemer 2016. Kangen itu terasa terobati setelah sesaat sampai depan warung malah saya lebih memilih bersalaman bareng Mbah Adem sambil membeli kue bandhos.

“Mbah, pripun keadaane, sehat mbah?” (bagaimana keadaannya, sehat kek?), glove ­aku lepas tangan kanan aku sodorkan menarik tangannya Mbah Adem sambil bersalaman.
“Alhamdulillah waras, dik”, jawab Mbah Adem kemudian tersenyum khasnya.
“Bandhos tiga ribu, Mbah”, pesanku agar Mbah Adem memilihkan diantara menunggu hasil adonan yang masih dimasak di loyang pencetakan.
“Ohh iyaa...kok dewekan dik?” (Kok sendirian dek) tanya Mbah Adem tersenyum sesekali mengambil adonan kelapa terigu encer dari ember berwana hijau.
Niki kaleh rencang enten ten wingking Mbah”, (Ini bareng temen dibelakang kek), jawab saya sambil menunggu kue bandhos itu matang.

Dalam waktu beberapa detik rombongan lainnya pun datang bersama itu pula kue bandhos pun akhirnya jadi.
“Ini Om Royan kue bandhosnya”, bingkisan berbentuk kota aku buka berisi 6 pasang kue bandos siap makan.
“Enak tho Om?”, tanyaku kepada Om Royan, menikmati panasnya kue bandhos yang dimakannya.
“Enak om, ini simbahnya difoto mas!”, perintah Om Royan kepadaku.
“Udah aku buatkan reportase kok Om Roy”, jawabku sambil memegang handphone android.
Dari situlah Om Royan merasa penasaran mengenai sosok Mbah Adem yang penuh inspirasi. Berbagai pertanyaan yang dikontarkan kepada Mbah Adem termasuk mengenai eksistensinya sebagai pedagang kue bandhos hingga sekarang.

Keadaan warung mulai lengang, Om Budi tancap gas memesan seporsi nasi pecel begitupun Om Royan dan Om Amru. Meski aku telah merasakan lapar yang sangat luar biasa, pertemuanku dengan Mbah Adem membuat rasa lapar itu lebih tidak begitu terasa. 
Lalu Om Amru keluar dari warung lalu berkata, “Om, ayo sarapan”, langsung turun agar tempat duduk yang berada di dalam warung bisa bergantian. Akupun mengiyakan ajakan dari Om Amru, satu porsi nasi pecel sebagai menu sarapan kali ini.

Perut sudah terisi hampir penuh setelah sayur pecel habis beserta nasi putih diakhiri dengan teh panas sebagai penutupnya. Terasa nyaman sekali perut ini, ternyata tidak hanya aku yang merasakan nikmat kenyang,
“Wah...kenyang banget porsinya”, ucap Om Amru disaat membawa sepeda beranjak meninggalkan warung. Memang benar mungkin karena sayur kaya akan serat jadi terasa penuh mengisi perut. Sampai akhirnya kita melanjutkan perjalanan.

“Kemana lagi nih Om Roy?”, tanyaku sambil membawa sepeda meninggalkan warung sementara Mas Royan sudah berada di depan rombongan hingga ke arah barat depan pasar.
“Kita langsung cari duren ke arah Lemah Abang”, jawab Om Royan mempercepat kayuhan. Kawasan Lemah Abang adalah daerah banyak sekali pedagang durian di Kecamatan Doro. Biasanya ada pedagang disini membelinya langsung dari petani durian. Kualitasnya dijamin durian lokal bukan durian kiriman dari daerah lain.

“Biasanya Om Budi lebih tahu mas, rumah bapak penjual durian di Lemah Abang”, begitulah ungkap Om Royan ketika melalui tugu selamat datang di Desa Lemah Abang.

Pedaling pilihan utama melewati tanjakan yang cukup tinggi, degupan jantung atau irama heart rate semakin naik. Om Budi dan Om Amru dibelakang Om Royan, sedangkan aku masih terus mengawal didepan. Lalu pada tanjankan terakhir Om Royan menyalip. Memang sudah expert Om Royan di trek tanjakan.


“Oh...ampun bos tanjakannya!”, keringat terus mengucur membasahi jersey sahutku kepada Om Royan.
Akhirnya telah sampailah dirumah pedagang durian yang tidak sempat menanyakan namanya. Om Budi menghampiri rumah pedagang itu, namun apa daya bapak pedagang yang dimaksud tidak ada dirumah perjalanan pulanglah kemudian yang kita pilih.

Tidak seperti berangkat perjalanan pulang kecepatan turunan lebih dahsyat kencangnya. Kita tidak bisa mengukur karena disepeda tidak terpasang alat pengukur kecepatan. Handling dan breaking yang bisa kita lakukan agar tetap aman selama perjalanan. Tujuan pulang ke rumah masing-masing menjadi esensi perjalanan pulang sementara siang harinya harus tetap bekerja hingga malam.

2 comments:

  1. Nama kuenya unik. Jadi penasaran seperti apa ya rasanya? Hehe

    ReplyDelete
  2. kue bandhos mas..enak tenan..rasanya..wkwkwk

    ReplyDelete