Friday 17 February 2017

Penyadaran Manusia Melalui Janji Fir’aun

Kegiatan rutin Majis Masyarakat Maiyah Suluk Pesisiran edisi 12 Febuari 2017 bertempat di Pendopo Kecamatan Kedungwuni Pekalongan. Acara dihadiri oleh penggiat-penggiat dari Maiyah Suluk Pesisiran, Bhaurekso Kendal dan juga sedulur Maiyah Pemalang. Satu per satu rangkaian acara dimulai dengan mengambil judul Janji Fir’aun yang dikemas penuh kebersamaan dengan diiringi band pembuka sholawat Lintang Kerti dari Kecamatan Wonopringgo Kabupaten Pekalongan.

Cak Su’ud sebagai moderator acara sedikit mengulik mengenai sejarah Fir’aun yang merupakan bapak angkat Nabi Musa.
“Sebenarnya janji Fir’aun itu seperti apa, dan bagaimana cara menyikapinya?”, begitulah cara Cak Su’ud menggiring jamaah yang mulai antusias mengikuti acara maiyahan.

Sedikit review sejarah Cak Su’ud bercerita disaat Nabi Musa dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun saat itu pula Nabi Musa yang dikenal mempunyai sebilah tongkat kemudian atas perintah oleh Allah SWT beliau memukulkannya ke dalam laut. Saat umatnya merasa kebingungan terhadap yang mereka lihat tentang keajaiban tersebut, Nabi Musa pun menjelaskan bahwa semuanya itu atas perintah dan izin Allah SWT.

Memasuki sesi acara maiyahan Cak Mufid menjelaskan adanya keterkaitan, “Ada hubungan antara kejadian Fir’aun dan Nabi Musa yang mempunyai dialektika antara tongkat, laut, lari dan tenggelam” , ujar Cak Mufid mengungkapkan prolog narasinya.

Menurut Cak Mufid kesemuanya unsur-unsur tersebut terstruktur dan bisa diperinci menjadi urutan sebagai percontohan tokoh manusia yang berada di puncak keburukan. Penggunaan istilah puncak berarti diantara keburukan manusia merupakan titik tertinggi kesalahan yang menganggap dirinya Fir’aun mempunyai kesetaraan kekuasaan sebagai Tuhan.

Cak Mufid juga mengajak kepada jamaah maiyah untuk berfikir mengenai proses peristiwa tenggelamnya fir’aun “Laut terbelah itu proses tanahnya digeser oleh Tuhan atau angin yang membelah lautan?”, tanya Cak mufid kepada seluruh jamaah maiyah.

Jamaah ada yang menjawab, “Tenggelamnya Fir’aun karena angin yang membelah lautan”, ucap salah satu jamaah yang hadir maiyahan.

Dalam penjelasannya Cak Mufid menegaskan, “Apabila jawabannya misalnya angin maka Tuhan mendatangkan angin yang mengkondisikan air laut bertahan sehingga bagian dasarnya bisa dilewati Nabi Musa AS beserta umatnya”, papar Cak Mufid.

Bersamaan dengan itu Cak Mufid berpesan agar semua kejadian tersebut terjadi sebagai pemberlajararan perwujudan cara Tuhan  agar manusia mengambil ilmu pengetahuan yang bisa berguna dalam berbagai sendi kehidupan.

Mengenai keterkaitannya lebih dalam tentang judul pembahasan Janji Fir’aun, Gus Eko menerangkan janji manusia dengan Tuhannya dalam spektrum jauh sebelum manusia berbentuk jasad.
“Sebelum manusia dijasmanikan (diadakan) itu sudah mempunyai  kesaksian (janji) yaitu alatsu  birobbikum qaalu balaa”, papar Gus Eko.

Pengakuan bahwa dirinya kelak adalah hamba Tuhan yang akan berupaya patuh atas perintah-Nya. Ketika Nabi Musa AS dihadapkan dengan ayah angkatnya yaitu Fir’aun, maka ada keinginan terbesit baginya untuk kembali kepada janji atau ikrarnya kepada Tuhan dalam bentuk pengakuan. Akan tetapi keadaan tersebut berbalik mengingkari atas janjinya mengenai konsep dasar keesaan Tuhan. Dari sinilah terdapat sesuatu yang penting dipelajari tentang janji Fir’aun, karena tidak hanya sebatas sejarah yang tertulis dalam Al Qur’an  melainkan keterikatan keadaan zaman yang mengikuti Al Qur’an hingga sekarang.

Selain itu Gus Eko juga menerangkan makna Fir’aun, “Mengenai Fir’aun berasal dari kata fir’aunillah yang berarti orang-orang yang lari dari pertolongan Allah SWT”, terang Gus Eko.

Setiap diri manusia berpotensi akan lari dari pertolongan Allah SWT dalam keadaaan apapun. Maka usaha manusia tetap berada dalam koridor sebagaimana jalan yang telah ditentukan, maka manusia harus berhenti sejenak. Kemudian menuju titik kesadaran awal yang melekat pada janji atau ikrar manusia terhadap Allah SWT. Sedangkan percontohan terhadap janji fir’aun adalah sebagaimana janji manusia yang lari terhadap pertolongan Allah SWT.

Disela-sela jalannya acara maiyahan penampilan band sholawat Lintang Kerti turut menghibur jamaah maiyah yang membawakan sederet judul lagu diantaranya GIE dan Yaa Lal Wathan yang diusungnya. Tak lupa dari pembina band sholawat yaitu Mas Yanto menceritakan sedikit sejarah band sholawat Lintang Kerti yang awal pertama kali merintis dari acara milad GP Anshor di Wonopringgo, harapan beliau “Dengan adanya kegiatan Maiyah Suluk Pesisiran, band sholawat Lintang Kerti bisa menjadi pengisi dalam setiap acaranya”,ujar beliau pada ditengah-tengah acara maiyahan tersebut.

Menjawab pertanyaan dari jamaah, “Bagaimana menyikapi sistem pemerintahan yang memang benar-benar dipaksakan apabila terjadi ketimpangan?”. Selanjutnya Cak Mufid menjawab, “Peganglah prinsip hidup selama yang kita yakini masih benar maka bertahanlah terhadap pendirian tersebut dan berusaha melihat kanan ke kiri terhadap perubahan”.

Mengenai sistem pemerintahan yang sudah berjala  kita hanya bisa bertahan karena dari sudah sedari dulu banyak ditemukan kerancuan tetang hakikat pemilihan pemimpin secara langsung. Lagi-lagi rakyat hanya dipilihkan kandidat dari beberapa perwakilan yang sudah lama mengakar dan berjalan. Maka ikuti saja alur yang ada namun bentuklah karakter pribadi generasi muda agar lebih baik.

Ada pula yang memberikan tanggapan mengenai judul maiyahan kali ini, “Mengenai Fir’aun dalam Al Qur’an yang sudah menjadi percontohan manusia yang berusaha mensejajarkan kemampuan kepada Tuhannya”, tegas salah satu sedulur Maiyah Pemalang.

Menurutnya, hal ini berarti melebihi ingkarnya iblis yang masih dalam tidak mau bersujud kepada Nabi Adam, iblis pun tidak berani menyamakan dirinya kepada Tuhan. Tentang janji Fir’aun sebagaimana janjinya membangun peradaban pemerintahan dengan penuh kesombongan di Kota Mesir kala itu. Baginya ada rasa kecemasan terhadap fenomena pemimpin jaman sekarang yang mempunyai sifat yang sama dengan Fir’aun, semoga itu tidak terjadi di negera kita.

Memuncaki acara maiyahan Gus Eko menerangkan sesuatu yang sedang didiskusikan tidak hanya bentuk jasmani ingkarnya Fir’aun melainkan tentang diri manusia yang sudah berikrar kepada Tuhannya namun secara langsung berusaha menutup-nutupi ikrar tersebut. Menurut Gus Eko, "Makna dari kata Fir’aun dari Fir’aunillah yang artinya lari dari pertolongan Allah SWT.

Gus Eko juga menjelaskan tentang pencarian nilai manusia mengenai kepahaman masing-masing manusia tentang jalan menuju Tuhannya yang berakhir pada proses yang sama yaitu mujur (terlentang artinya kematian). Selain itu juga Cak Mufid memberikan penjelasan megenai prinsip kedekatan Tuhan dengan hambanya, bahwasanya Rahmat Tuhan berada didepan murkanya artinya apabila manusia berusa melangkahkan kakinya 2 meter menuju jalan kebaikan maka Tuhan akan lebih dekat 1 meter kepada hambanya. Konsep tersebut membuka cara berfikir manusia tentang hubungan kedekatan yang harus diusahakan setiap diri manusia.

Diakhir acara maiyahan dipungkasi dengan bersama-sama merenung melantunkan syair duh gusti, sholawatan dilanjutkan dengan berdoa bersama yang dipimpin langsung oleh Gus Eko. Kembali lagi Gus Eko mengingatkan untuk mengambil nilai kebaikan dari pertemuan yang sudah berjalan. Seluruh rangkaian acara dilalui bersama dalam keadaan khidmat, ceria serta kebersamaan yang terlukis dalam setiap jamaah yang hadir didalamnya.

Sumber : Foto Koleksi Abdullah Amin MSP

No comments:

Post a Comment