Tuesday 28 February 2017

Jejak Terakhir Harimau

Pagi ini hutan di kawasan pesisir pantura tidak seperti biasanya. Kijang yang biasa langsung berkelana mencari rumput hanya berdiri tanpa menghiraukan hari ini mau makan apa. Lalu perut dibiarkan rasa lapar melanda, “Tumben bener ini hutan kok semakin ramai tapi saling bercerita sendiri-sendiri?”, tanya kijang kepada kancil yang mengerti saat kijang asyik melakoni “laku” atas laparnya menghauskan hingar bingar keserakahan hewan herbivora dan karnivora.
“Ah, itu hanya perasaan kamu aja, jang”, jawab kancil memakan rumput disebelah tebing tempat pengembala beristirahat.

Kijang meninggalkan kancil melihat kerbau berada pohon beringin diatasnya masih sibuk mengunyah rumput, ada sekerumunan tupai sedang bermain kelapa kering yang jatuh satu minggu yang lalu. Atas inisiatif sendiri kijang berjalan menemui tupai di pinggir pohon pinus sekitar 1 Kilometer dari tempat kijang baerada. Tidak ada teman bercerita atas kegundahan rasa hari ini, lalu pilihan itu terbaik baginya menuju ke tepian pohon pinus mencari teman berceloteh menghabiskan hari menjelang siang.

Langkah kijang akan tampak sebentar lagi tupai akan didatangi oleh kijang, saat  itu anak tupai berkata kepada ibunya, ”Itu dari arah timur kok kijang ke arah kita?”, kaki anak tupai menunjuk langkah kaki kijang.

Sedang bapak tupai tidak menanggapi pertanyaan itu karena sedang bersama anak paling bungsu bermain 10 meter dengan anak-anak lainnya.

Ibu tupai serasa penasaran atas kabar yang mengejutkan dari salah satu anaknya. Dari semak-semak kemudian dia membuka agar pandangannya lebih leluasa terlihat. Salah satu kaki kirinya tidak terlalu lama menahan berat tanaman alang-alang, “Aduh ini terlalu berat, coba panggilkan bapak biar kesini mumpung kijang masih jauh datangnya”, timpal ibu tupai dengan wajah kecut.

Mendengar gusar anak-anak yang meninggalkan semua permainan, tanpa dipanggil bapak tupai datang menghampiri lalu berkata, “Ada apa apa ini kok pada kumpul di semak-semak?”, tanya bapak tupai penuh penasaran.

“Ah pak, tau nggak itu di depan ada kijang sepertinya akan menuju kesini, mungkin dari kejauhan tadi melihat kita sedang asyik bermain terus mau nyamperin kita”, ucap anak tupai berlaga agak mengadu kepada sang bapak.

Bapak tupai mendekat ke arah Ibu mencoba menggantikan posisinya mengintai dibalik semak-semak. Lalu ibu tupai berusaha mundur seraya ia tahu bahwa bapak tupai ingin sekali melihat kijang yang katanya akan mendekat.

Daun panjang terlibas suara derap kaki kijang semakin kencang.
“Oh iya benar, kijang akan kemari tuh...langkangnya lurus menuju ke arah kita”, ungkap bapak tupai matanya masih lurus memandang ke depan.
“Tapi biarkan ia kesini anak-anakku kalian tetap tenang biar bapak yang akan menghadapi semuanya”, pinta bapak tupai menenangkan kondisi keluarganya.

“Kreeeshh....kreesssh....”, bunyi kaki kijang menginjak dedaunan kering
“Hai tupai, aku melihat kalian tadi bermain di sini, kalian sekarang dimana?”, kijang tergopoh-gopoh datang dibarengi nafas tersengal-sengal agaknya terlalu capek karena perjalanan.

Anak-anak tupai terdiam lalu bapak tupai mencoba berkata, “Ada apa kijang kau datang kemari?”, tanya bapak tupai dengan gagah namun mereka masih berada dibalik semak-semak.

Kepala kijang menoleh dibalik semak-semak itu, lalu dia masih berdiri sembari kelelahan. “Aku tidak akan memusuhi kalian, aku hanya ingin bertanya dengan kalian”, jawab harimau dengan sedikit menjelaskan maksud tujuannya.

Mendengar jawaban tersebut lalu tupai mengerti, langkah kakinya turut memberanikan diri menemui kijang tapi anak-anaknya masih bersembunyi di balik semak-semak.

Keduanya bertemu dalam diskusi singkat menjelang sinar matahari menyingsing. Kijang terdiam sejenak sementara nafasnya mulai membaik kemudian berkata, “Tupai kedatanganku akan memberikan kabar bahwa di hutan sebalah tebing sana ada kabar bahwa hari ini harimau akan mengundurkan diri sebagai penguasa hutan”, kijang berhadapan empat mata bersama tupai.

“Oh begitu jang, lantas ada hubungannya dengan keberadaan kita jang?”, tanya tupai kepada kijang penuh makna.
Lalu kijang menoleh sekitar pohon pinus yang tinggi kemudian ia baru merasakan keadaan rindang hatinya membenarkan jika para tupai sangat nyaman bermain disini.

“Jika ada hubungan secara langsung kamu mungkin bisa ngeles, harimau yang kita tahu kan dia sebagai penguasa hutan tempat kita singgah ini, jadi kalau mendengar dia akan lengser paling tidak kita mau mendengar pesan terakhirnya kepada seluruh penghuni hutan”, obrolan kijang semakin serius kepada tupai.

“Oh..oh..oh..saya tahu!”, kepala tupai menengadah ke atas berlagak mikir sambil modar-mandir di hadapan kijang.
“Jaaa.....aaaadiii.....kedatanganmu kemari mau ngingetin saya buat datang diacara pelepasan raja hutan sang harimau?”, tanya tupai dengan berbagai asumsi namun hanya itu yang bisa ditangkap secara sederhana.

“Begitulah kiranya, Pai! sepertinya besok akan terjadi harimau akan menyerahkan seluruh taring dan cakar kakinya”, jawab kijang terasa lega maksud kedatangannya telah dipahamai oleh tupai.
“Baik...kalau itu maumu besok saya akan datang ke hutang sebelah tebing ini hanya sebagaimana penghormatan kepadamu, jang! bukan murni dari undangannya harimau”, tupai menyetujui atas tawaran dari kijang.

Seiring pembicaraan berjalan keduanya berpisah pulang meninggalkan tepian hutan pinus. Kijang berlari menuju ke selatan

*** 

Pagi menjelang ketika burung telah berkicau menyambut semangat ceria, ayam berkokok berkerumun berjalan bersama menuju hamparan tanah lapang. Kera-kera bergelantungan dari pohon satu ke pohon yang lain namun semakin turun menuju dasar tanah, rumput yang masih menghijau karena semalam hujan telah mengguyur membawa kesejukan suasana.

Menunggu adalah hal dilakukan mereka disaat semua kabar santer terdengar bahwa hari ini sang harimau akan berbicara terakhir kepada seluruh penghuni hutan. Ternyata tidak begitu lama kehadiran harimau akhirnya datang juga. Dug...dug...dug...dari balik timur langkah kaki harimau terdengar dari atas bukit tingginya 5 meter suara itu semakin kentara. Sedang dibawahnya bukit merupakan tempat seluruh penghuni hutan berkumpul menunggu kehadirannya.

Tupai telah beranjak dari peraduan sedang berjalan menuju lapangan bersama 5 anaknya mereka sengaja datang agak telat karena anak yang terakhir sangat sulit dibangunkan. Selah beberapa menit kedatangannya maka harimau memberikan sambutan perkataan diatas bukit dan disaksikan seluruh penghuni hutan.

“Terima kasih saudaraku, pagi ini kalian telah berkumpul berhadapan denganku”, ucap harimau menyambut kehadiran mereka.
Suasana masih hening mendengarkan baginda harimau yang tidak seperti biasanya pucat tak beraturan seperti ada masalah yang disembunyikan kepada khalayak umum. Mereka para penghuni hanya bisa menebak secara saksama sesuatu yang dipikirnya.

“Kalian tahu mengapa pagi ini seluruh penghuni hutan saya kumpulkan?”, tanya harimau.
Tidak ada yang menjawab meski kijang yang berada dibawah harimau berdiri mengerti alasan tersebut.

“Atas junjungan kejantanan saya sebagai raja hutan mulai hari ini saya tidak lagi menjabat sebagai raja hutan karena kulit loreng saya tak sekencang dulu lagi sedang kemampuan lari saya telah berkurang tidak gesit ataupun lincah hingga bisa berpindah kesana kemari. Taringku telah tumpul karena tiap hari saya mencincang daging hingga lembut enak dimakan, cakar yang sering untuk mencabik-cabik mangsa yang bandel telah enggan keluar dari telapak kaki, meski saya coba asah setiap hari, namum syaraf kaki berkata lain ia telah lambat merespon perintah dari pikiran. Hingga kini saya tidak berdaya lagi. Ini memang harus saya sadari harimau itu akan hilang menurut seleksi alam karena kemuliaanku ada disini yaitu kekuasaan. Tidak berarti kalian bisa survive kapan saja dan dimana saja. Kalian itu tidak rendah, namun sering merendah tapi itu itu adalah kemulian kalian. Tidak jumawa karena taring, tidak terlihat sangar karena cakar dan eksistensi kalian akan bertahan karena mampu mengatasi kesulitan dengan sendirinya tanpa tuntutan gaya hidup atas kekuasaan”, papar harimau kepada penghuni hutan.

Penghuni hutan terdiam menyaksikan harimau belok kanan secara perlahan kemudian berkata, “Selamat tinggal...maafkan saya atas segala kekhilafan”, kemudian harimau tersenyum lalu merunduk seakan menyembunyikan atas kesedihan yang amat mendalam.


Tidak ada yang memberikan komentar atas kepergiannya hanya rasa belas kasihan kepada harimau. Mereka menyadari harimau akan terseleksi alam atas jumlahnya sedikit dan tergantikan harimau-harimau yang lebih muda. Tidak ada yang paling lebih dari tugas seluruh hewan karena diantara paling menyenangkan adalah mereka yang menikmati tugasnya sesuai yang diperintah dari sang raja diraja penguasa alam semesta.

Sumber: wwf.com

No comments:

Post a Comment