Friday, 30 June 2017

Bangga Endonesah

Tampaknya saya harus senyam-senyum sendiri saat harus lahir di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari bangun tidur sudah mendengar pedagang "sego megono" yang menjajakan nasinya dengan harga 2 ribu rupiah ditambah tempe goreng menjadi 3 ribu rupiah. Saya kira sarapan di Pekalongan ini sudah murah sekali. Meskipun saya tahu berasnya ini sebagian dari impor dan prestasi swasembada beras hanya dongeng simbah di belakang truk pantura "Piye le..kabare?enak jamanku tho?".
Pemandangan berikutnya, ada pedagang tempe keliling naiknya sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Kemudian menawarkan "...pee tempe.." berkali-kali. Dengan harga yang sama 2 ribu rupiah kalau dibuat irisan tempe bisa sampai 8 buah atau cukup dibuat oseng sekali makan,hmmm...sedapnya. Berakhir sama setelah saya tanya asal ternyata kedelainya juga dari impor.
Dari dua pemandangan di atas ternyata masyarakat "endonesa" termasuk saya, bisa bertahan dari apapun kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Saya tidak bisa memperhitungkan antara harga beli bahan membuat nasi megono sementara berasnya saja sudah 12 ribu rupiah, belum lagi disaat "cecek" (gori;nangka muda) mengalami kelangkaan bisa jadi ukuran kecil bisa nyampai 30 ribu rupiah belum lagi harga bungkus daun pisang mencapai 50 ribu untuk sekali jualan. Sementara pangsa pasar masyarakat Pekalongan masih ajeg mengenal "sego megono" sebagai sego rakyat dengan harga yang super murah meriah. Semua ini adalah IQ nya pedagang "endonesa" yang berpredikat cumlaude sangat taktis sekali mengotak atik harga kulakan dan penjualan agar dapurnya bisa "ngebul", paling tidak bisa menyekolahkan anaknya bahkan hingga sampai bangku perkuliahan.
Lagi-lagi saya juga terpesona kepada pedagang tempe. "Kok bisa ya membuat jenis bahan makanan seenak ini?". Seluruh pikirannya tertumpah saat harus fokus menakar ramuan ragi Rhizopus Oligosporus menyatu dengan kedelai kuning tentunya bukan malika yang disebut-sebut di tayangan iklan Kecap Bango. Pedagang tempe ini masih bisa senyum ramah menyapa calon pembeli meski tidak ada niatan membeli. Keadaan ini mungkin tidak akan pernah terjadi 4 tahun silam ketika kelangkaan kedelai yang mengakibatkan harga kedelai melangit. Fenomena ini konon sebagai dampak naiknya kurs dollar yang juga mengalami kenaikan yang signifikan seperti yang tertulis dalam harian ekonomi NERACA terbitan 13 Agustus 2013.
Pelaku ekonomi kerakyatan di atas telah eksis hingga sekarang. Tanpa berdemo menuntut kenaikan harga, mereka melakoni usaha dengan rasa khusuk. Bahkan pendapatan esok hari pun mereka belum tahu. Sesuatu yang paling bisa mendamaikan hatinya adalah senyum mengupayakan hari ini agar bisa lebih baik dari hari kemarin.
Senyum orang "endonesa" tak gentar menghadapi gejolak ekonomi. Sesuatu yang jarang ada dimiliki bangsa lain adalah letak keberkahan mendasar rakyat "endonesa" yang sama sekali tidak meminta malah memberi kepada negara termasuk pajak. Rakyat "endonesa" pintar tersenyum karena "endonesa" adalah pusaka yang benar-benar mereka jaga.

No comments:

Post a Comment