Tampaknya saya harus senyam-senyum sendiri saat harus lahir di
negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari bangun tidur sudah mendengar pedagang
"sego megono" yang menjajakan nasinya dengan harga 2 ribu rupiah
ditambah tempe goreng menjadi 3 ribu rupiah. Saya kira sarapan di Pekalongan
ini sudah murah sekali. Meskipun saya tahu berasnya ini sebagian dari impor dan
prestasi swasembada beras hanya dongeng simbah di belakang truk pantura
"Piye le..kabare?enak jamanku tho?".
Pemandangan berikutnya, ada
pedagang tempe keliling naiknya sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Kemudian
menawarkan "...pee tempe.." berkali-kali. Dengan harga yang sama 2
ribu rupiah kalau dibuat irisan tempe bisa sampai 8 buah atau cukup dibuat
oseng sekali makan,hmmm...sedapnya. Berakhir sama setelah saya tanya asal
ternyata kedelainya juga dari impor.
Dari dua pemandangan di atas
ternyata masyarakat "endonesa" termasuk saya, bisa bertahan dari
apapun kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Saya tidak bisa memperhitungkan
antara harga beli bahan membuat nasi megono sementara berasnya saja sudah 12
ribu rupiah, belum lagi disaat "cecek" (gori;nangka muda) mengalami
kelangkaan bisa jadi ukuran kecil bisa nyampai 30 ribu rupiah belum lagi harga
bungkus daun pisang mencapai 50 ribu untuk sekali jualan. Sementara pangsa
pasar masyarakat Pekalongan masih ajeg mengenal "sego megono" sebagai
sego rakyat dengan harga yang super murah meriah. Semua ini adalah IQ nya
pedagang "endonesa" yang berpredikat cumlaude sangat taktis sekali
mengotak atik harga kulakan dan penjualan agar dapurnya bisa "ngebul",
paling tidak bisa menyekolahkan anaknya bahkan hingga sampai bangku
perkuliahan.
Lagi-lagi saya juga terpesona
kepada pedagang tempe. "Kok bisa ya membuat jenis bahan makanan seenak
ini?". Seluruh pikirannya tertumpah saat harus fokus menakar ramuan ragi
Rhizopus Oligosporus menyatu dengan kedelai kuning tentunya bukan malika yang
disebut-sebut di tayangan iklan Kecap Bango. Pedagang tempe ini masih bisa
senyum ramah menyapa calon pembeli meski tidak ada niatan membeli. Keadaan ini
mungkin tidak akan pernah terjadi 4 tahun silam ketika kelangkaan kedelai yang
mengakibatkan harga kedelai melangit. Fenomena ini konon sebagai dampak naiknya
kurs dollar yang juga mengalami kenaikan yang signifikan seperti yang tertulis
dalam harian ekonomi NERACA terbitan 13 Agustus 2013.
Pelaku ekonomi kerakyatan di atas
telah eksis hingga sekarang. Tanpa berdemo menuntut kenaikan harga, mereka
melakoni usaha dengan rasa khusuk. Bahkan pendapatan esok hari pun mereka belum
tahu. Sesuatu yang paling bisa mendamaikan hatinya adalah senyum mengupayakan
hari ini agar bisa lebih baik dari hari kemarin.
Senyum orang "endonesa"
tak gentar menghadapi gejolak ekonomi. Sesuatu yang jarang ada dimiliki bangsa
lain adalah letak keberkahan mendasar rakyat "endonesa" yang sama
sekali tidak meminta malah memberi kepada negara termasuk pajak. Rakyat
"endonesa" pintar tersenyum karena "endonesa" adalah pusaka
yang benar-benar mereka jaga.
No comments:
Post a Comment