Monday, 26 June 2017

Semprong

Begitulah sebutan masyarakat sekitar rumah saya tentang wafer roll berisi coklat yang hampir ada disetiap lebaran. Tentunya hal itu tidak serta merta terjadi tiba-tiba. Sebelumnya kue kering tradisional  serupa yang sudah ada meski tanpa balutan dalam pasta coklat sebagai varian rasa.

Delapan dari sepuluh rumah yang sudah saya sambangi  semprong rasa coklat ini telah tersedia dengan merek yang berbeda. Tapi memang harga mempengaruhi rasa dan lidah tidak akan pernah berbohong. Semprong yang enak dari packingnya saja sudah meyakinkan. Begitupun dengan isi pasta coklat didalamnya. Semakin mahal harga semprong maka coklatnya semakin tebal.

Tapi yang namanya produk yang banyak dicari maka kompetitornya berlomba-lomba menarik pembeli. Termasuk penawaran dengan harga ekonomis khususnya ditawarkan kepada arisan sembako hari raya. Saya amati setiap kali ada peserta yang mengikuti arisan tersebut semprong ini menjadi kue kering yang wajib ada. Alasannya sangat klise, yaitu paling disukai oleh anak-anak.

Ulasan itu pernah saya ajukan kepada panitia arisan sekitar 15  tahun yang lalu, saat saya harus menemani ibu saya mengambil sembako menjelang H-5 lebaran. Artinya semprong ini masih nge-hits berkeliaran selama lebaran hingga saat ini.

Namun apakah ada persamaan hubungan peminat semprong anak-anak dahulu dengan sekarang?
Ternyata berbeda, cenderung mengalami penurunan daya respon minat oleh anak-anak. Meski saya tidak bisa menampakkan data kuantitatif, namun saya bisa mengetahui suatu hal yang anak-anak senangi ketika bersilaturahmi.

Anak-anak jaman dahulu belum disibukkan dengan benda yang bernama android. Alhasil ketika diajak bersilaturahmi hanya bisa mendengarkan obrolan orang tua yang ngga nyambung hasilnya. Semprong sebagai camilan pengisi kesuntukan disela-sela kejenuhan menunggu saatnya pulang.

Namun sekarang perubahannya kian terasa. Dari anak-anak seusia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar saat ditawari jajanan dimeja lebih menyukai benda kotak yang dilabeli android. Saya mengakui taraf hidup masyarakat sekarang lebih bisa dikatakan layak dalam hal masalah asupan gizi sehingga untuk makanan ringan mungkin sudah bukan hal yang begitu menarik.

Tapi ternyata justeru pengaruh teknologi mengubah gaya sosial anak-anak yang apatis terhadap lingkungan sekitar dan semprong masih tersedia banyak karena kekurangan peminatnya.



No comments:

Post a Comment