Begitulah sebutan
masyarakat sekitar rumah saya tentang wafer roll berisi coklat yang hampir ada
disetiap lebaran. Tentunya hal itu tidak serta merta terjadi tiba-tiba.
Sebelumnya kue kering tradisional serupa yang sudah ada meski tanpa
balutan dalam pasta coklat sebagai varian rasa.
Delapan
dari sepuluh rumah yang sudah saya sambangi semprong rasa coklat ini
telah tersedia dengan merek yang berbeda. Tapi memang harga mempengaruhi rasa
dan lidah tidak akan pernah berbohong. Semprong yang enak dari packingnya saja
sudah meyakinkan. Begitupun dengan isi pasta coklat didalamnya. Semakin mahal
harga semprong maka coklatnya semakin tebal.
Tapi
yang namanya produk yang banyak dicari maka kompetitornya berlomba-lomba
menarik pembeli. Termasuk penawaran dengan harga ekonomis khususnya ditawarkan
kepada arisan sembako hari raya. Saya amati setiap kali ada peserta yang
mengikuti arisan tersebut semprong ini menjadi kue kering yang wajib ada.
Alasannya sangat klise, yaitu paling disukai oleh anak-anak.
Ulasan
itu pernah saya ajukan kepada panitia arisan sekitar 15 tahun yang lalu,
saat saya harus menemani ibu saya mengambil sembako menjelang H-5 lebaran.
Artinya semprong ini masih nge-hits berkeliaran selama lebaran hingga saat ini.
Namun
apakah ada persamaan hubungan peminat semprong anak-anak dahulu dengan
sekarang?
Ternyata
berbeda, cenderung mengalami penurunan daya respon minat oleh anak-anak. Meski
saya tidak bisa menampakkan data kuantitatif, namun saya bisa mengetahui suatu
hal yang anak-anak senangi ketika bersilaturahmi.
Anak-anak
jaman dahulu belum disibukkan dengan benda yang bernama android. Alhasil ketika
diajak bersilaturahmi hanya bisa mendengarkan obrolan orang tua yang ngga
nyambung hasilnya. Semprong sebagai camilan pengisi kesuntukan disela-sela
kejenuhan menunggu saatnya pulang.
Namun
sekarang perubahannya kian terasa. Dari anak-anak seusia taman kanak-kanak
hingga sekolah dasar saat ditawari jajanan dimeja lebih menyukai benda kotak
yang dilabeli android. Saya mengakui taraf hidup masyarakat sekarang lebih bisa
dikatakan layak dalam hal masalah asupan gizi sehingga untuk makanan ringan
mungkin sudah bukan hal yang begitu menarik.
Tapi
ternyata justeru pengaruh teknologi mengubah gaya sosial anak-anak yang apatis
terhadap lingkungan sekitar dan semprong masih tersedia banyak karena
kekurangan peminatnya.
No comments:
Post a Comment