Meski
tak sedekat dengan pembalut, untuk mengenal tisu bagi saya sangatlah mudah.
Hampir setiap hari saya menyobek 1 helai dari gulungan tisu. Makanya terasa
lebih gayeng "glendengi" siapa tahu ada keanehan terselubung terhadap
benda satu ini, "Apa iya...sih?"
Orang
berkacamata kalau lupa bawa "kanebo" dari tukang kacamata, sudah
kelar hidupnya. Pandangannya menjadi keder parsial. Di acara resepsi, melihat
irisan brownies coklat dikira empal daging, pas dimakan dagingnya berasa manis.
Itu saja tetep ngeyel yakin itu daging sapi. Sedang kemudian masih lupa kalau
kacamatanya masih belepotan noda jari tangan dan juga terkena cipratan air
hujan. Di sini peran tisu begitu vital sebagai pengganti pembersih kacamata.
Alhasil,
untuk mengilhami kebiasaan pelupa, paling tidak saya harus membawa satu lembar
tisu di kantong. Meski terkadang saking banyaknya aktifitas, tisu ini akan
berubah bentuk menjadi "kuwelan". Jika diizinkan keadaan ini
berlanjut, tisu akan sama-sama ikut masuk dalam pencucian, lalu ambyar semua.
Bisa diakui kredibilitas tisu sangat diprioritaskan bagi orang berkacamata.
Kemesraan tisu dengan kacamata seperti hubungan rokok dan korek api.
Pemandangan
formal lain disaat masuk ke toliet. Tisu gulung ini biasanya ditaruh di samping
berdekatan dengan kloset. Ibaratnya hewan, dia hidup sesuai habitat yang
ditentukan yaitu tisu toilet. Semua orang "fair" lahirnya jenis tisu
ini diperuntukan agar irit air dan sekelumit alasan lainnya.
"Agaknya
ada sebagian orang yang masih memilih membersihkan kotoran menggunakan tisu
atau digunakan sekedar "finishing" menghilangkan air setelah bercebok
ria?, wah mberuh!" itu semua urusan celana dalamnya masing-masing.
Pabrik
plastik pecah belah pun turut melirik kebiasaan masyarakat kita. Ketika tisu
gulung harus terbuka di meja makan tanpa ada wadah. Ini sebagai momentum bagus
membuat "prototype" tempat tisu gulung. Fakta ini menyeruat diikuti
adanya respon bagus masyarakat yang ditandai adanya tenda-tenda makan di
pinggir jalan lebih banyak menyediakan tisu gulung dibandingkan dengan tisu
makan.
Jumlah
kebutuhan tisu gulung di meja makan ternyata lebih banyak dibandingkan di
toilet. Kita hitung saja, misalnya di rumah makan ada 10 meja makan dan 2
toilet. Bisa diprediksi tisu mana yang cepat habis duluan? jika dalam satu meja
ada 5 orang yang makan ayam goreng lalapan setelah makan harus mengambil tisu
gulung untuk membersihkan mulutnya. Dari 5 orang tersebut tidak semuanya
membutuhkan tisu gulung di toilet karena masih ada air.
Dari
realita keadaan tersebut ada beberapa perusahaan tisu enggan melabeli tisu
gulung dengan tisu toilet. Mereka mengejar target pangsa pasar lebih-lebih
kalau masih kebingungan mereka melabelinya dengan tisu serbaguna. Keanehan
terselubung ini bentuknya seperti tisu toilet namun bisa bertransformasi pula
kedudukanya bisa berada di meja makan.
Keadaan
itu akan ditampik dengan nada ndagelan, "Masyarakat Indonesia itu sangat
fleksibel, semuanya itu kembali pada kepentingannya yaitu sama-sama
membersihkan, yang pentingkan tisu itu bersih, lupakan isi di toilet",
kelar sudah.
No comments:
Post a Comment