Wednesday 21 February 2018

Filosofi Pacul Oleh Masyarakat Jawa

“Sepurane Lhur, sedelok maneh aku meh macul. Tak izin balik sek yo. Mengko gampang dilanjut maneh ngobrol ngalor-ngidule ning liyo dino!”, kurang lebih ucapan seperti itu yang sering aku dengar dari beberapa temanku.

Dalam Bahasa Jawa macul mempunyai arti mencangkul. Berasal dari kata benda pacul sedangkan aktifitasnya disebut macul.. Beralih pada kehidupan sosial ternyata ada yang menggunakan istilah macul sebagai istilah aktivitas bekerja.

Penggunaan istilah macul  jika dimaknai dalam kehidupan sehari-hari, “Macul kok dilakukan sampai dini hari bahkan sampai pagi?” maka akan melampaui batas sebagaimana lazimnya. Ini bukan makna  mencangkul sebenarnya. Adalah bahasa komunikasi lisan agar ranah kerjanya seorang petani itu bisa merasuk dalam kehidupannya. Alasan yang bisa melatarbelakangi itu semua karena pekerjaan seperti petani sangatlah mulia. Kalau pada umumnya macul-nya petani di sawah pagi pagi hari jika memang analogi bekerja seseorang sampai malam hari sudah barang tentu ini tidak bisa setiap orang bisa melakoninya.

Menurut wejangan Sunan Kalijogo kegiatan macul mempunyai filosofi yang berarti ngipatakae barang kang muncul. Secara sederhana kegiatan macul ini awalnya menghilangkan bagian yang tidak rata (bergelombang). Dari salah satu fungsinya itu dahulu masyarakat Jawa memberi pesan agar tabiat manusia itu senantiasa menghilangkan sifat-sifat yang tidak rata sebagaimana jalurnya manusia untuk selalu berbuat baik. Sifat serakah, sombong, iri hati, menang sendiri, congkak dan sebagainya adalah sifat ketidakrataan manusia seiring akal dan pikirannya berkembang. Makna macul juga sebagai wejangan hidup yang sudah tertanam, menghilangkan sesuatu yang bisa mencelakakan manusia  mulai dari  cara mencari penghidupan salah satunya ketika bekerja.

Merambah pada bagian-bagian pacul yang dibagi menjadi 3 bagian istilah yaitu doran, bawak dan langkir. Pegangan pacul berbahan kayu bentuknya memanjang disebut dengan doran. Sebutan doran berasal dari kata dongo marang Pangeran. Fungsi doran sebagai pegangan pacul tak luput dari pesan filosofi agar manusia senantiasa berdoa kepada Allah SWT yang selalu menjadi petunjuk hidup.

Pada bagian pangkal pacul terdapat bawak berupa lubang tempat masuknya pegangan pacul. Juga sebagai tumpuhan beban ketika pacul itu diayunkan yang berarti obahing awak. Pada pencapaian manusia menjalankan semua aspek kehidupannya harusnya untuk selalu berusaha. Aspek geraknya manusia merupakan cara yang berasal dari akal manusia yang implementasikan dalam laku ataupun perbuatan yang tidak melanggar jalur kodratnya sebagaimana pengabdian sebagai makhluk Allah SWT. Bekerja sebagaimana cara manusia menjemput rezeki yang berasal dari  pola akal kreatifnya manusia yang tidak berseberangan dengan rasa patuhnya kepada Allah SWT.

Pada bagian paling bawah cangkul terbuat dari  logam besi tajam  atau yang disebut dengan langkir yang berarti ladheping pikir. Oleh karena manusia dibekali akal serta pikirannya yang seharusnya bisa digali kemampuannya melalui sosial kemasyarakatan ataupun sosial keilmuan. Betapa manusia dibebaskan oleh Allah SWT mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Tidak pula  harus menuntut manusia berpendidikan tinggi yang mempunyai atmosfir birokrasi pendidikan yang mengharuskan mengeluarkan biaya yang tidaklah murah. Ternyata banyak ilmu yang diperoleh dari akibat interaksi sosialnya manusia yang disebut dengan pengalaman. Gambaran tersebut sebagai upaya agar manusia tidak luput dari tugasnya melihat dari kiri dan kanannya menelaah jarak masa lalu dan masa yang akan datang agar manusia berfikir lebih jeli dan teliti akan perubahan zaman.

Dari beberapa filsofi tersebut dapat disimpulkan bahwasanya manusia itu pada prinsipnya untuk selalu macul membenahi segala macam sifat negatifnya. Atas petunjuk Allah SWT manusia senantiasa memegang teguh jalan kebenaran Allah SWT. Melalui usaha atau langkah kongkret yang bisa dilakukan manusia. Selain itu kemampuan manusia untuk berpikir sangatlah perlu digali sebagai landasan atas usahanya lagar lebih baik. Pesan yang filosofi jawa melalui pacul ini sungguh sangat dalam maknanya. Masyarakat jawa pun pada umumnya membawa pacul ini di pundaknya ketika berjalan. Bukannya sangat bisa ketika membawa pacul ini bisa ditenteng ternyata tidak demikian. Bisa jadi karena bagi mereka pacul merupakan pesan yang sakral tidak boleh begitu saja disepelekan. Tidak hanya seorang petani  profesi lain juga turut memikul filosofi tentang pacul ini.




No comments:

Post a Comment