Dari wacana Pilkaret, Pilkades,
Pilkada dan pil-pil lainnya, istilah pecut manyeruak di kampung saya. Obrolan
ringan di warung-warung desa seorang pecut terus membuka tabir cara berbagi isu
yang bisa mendongkrak popularitas bagi jagonya.
Misalnya ada orang yang sudah
memilih A sebagai jagonya, sudah pasti tidak mengenal jalan visi misi
"ngalor-ngidul", bahkan ketemu saja hanya sebentar. Apesnya bakal
calon yang konon sebagai pemimpin itu didapat dari "ngrungu-ngrungu"
berita hangat laris bak kacang rebus. Bergeraknya pecut ini secara masif
bergerilya, membelokkan dari berbagai sudut pandang, mereka akan mengetahui
karakteristik dari mangsa cukup lihay dari seorang blantik sapi perah.
"Nek jareku, pasangan
pilihanmu mbah, kuwi di dhelok dhisek. Njenengan durung tenanan reti tho, sesuk
nek dadi meh aweh opo ngge kampunge dhewe?"
Gertakan "di dhelok
dhisek", oleh sang pecut itu bisa membuat mbah yang giginya tinggal dua
itu bernafas panjang mukanya mlotrok, lalu kebingungan.
Lebih nyentrik serta bergaya
intelektual lalu pecut memberikan iming-iming bernada dasar C hingga ke nada
tinggi F. Nada tersebut terus bersautan dari jalan beraspal, beras raskin,
kesejahteraan guru-guru TPQ dan segala macam kontrak politik, cukup membuat
mbah yang matanya katarak itu diam seribu bahasa.
"Wes, ora usah bingung
Mbah, manuto pilihanku, kih lho..jagoku si B tenang, beres-beres jaminane
dhalan iki alus karo pos kampling kae mengko ono TV LCD, tenan kuwi!",
tegas pecut.
Dari luar warung itu ada remaja
tanggung seumuran SMA itu tertawa cekikian, "Dhapuramu...cut,...cut! wong
tuwo di ghataki, bhelgedhes".
No comments:
Post a Comment