Rasanya kok rugi, memaknai kata
tersebut apabila pikiran kita rasanya masih saja menari-nari pada satu
pengertian. Konon berbagai tempat wisata telah disinggahi, aneka kuliner sudah
dicicipi dan berbagai seminar motivasi sudah diikuti. Memaknai kata pamer, dari
SD hingga pendidikan yang pernah "nggerogoti" kursi lipatnya kampus
masih liner serta ajeg tidak ingin mencari tahu pergeseran makna lain yang
mungkin saja berdampak kebaikan.
Tradisi mudik terasa membawa
pelajaran bagi saya. Terutama kaum pemudik itu dari teman terdekat, pasti saya
suruh bernarasi tentang pengalaman hidup termasuk hal terkecil yang terjadi
selama di perjalanan. Dari gejala cara berkomunikasi arus mudik yang populer
dengan istilah "Pamer Susu", bisa melonggarkan batasan kekencangan
otot kita tentang istilah pamer. Dalam komunikasi antar pemudik kata tersebut
berarti padat merayap susul-menyusul. Setidaknya para pemudik itu, bisa
memanfaatkan idiom bagian yang berkonotasi negatif diubahnya menjadi bahasa
informatif saat berkomunikasi.
Bersosial dalam 2 dimensi seperti
di dunia maya mempunyai keterbatasan. Pergeseran tujuan pose foto media sosial
yang di unggah bisa berbeda tujuan dengan penilaian khalayak. Sedang secara
resolusi pandang tidak mengetahui kebiasaan yang menurutnya wajar sedang baginya
tidak menjadi masalah. Asumsi kewajaran tersebut karena pertemanan lain yang
mempunyai kesamaan strata sosial ekonomi bahwa hal tersebut telah mahfum bukan
penunjukan kelebihan. Dari sisi heterogenitas perbedaan kebiasaan sebenarnya
sudah sedikit bisa terjawabkan.
Sepatutnya juga harus sering
menarik nafas lebih dalam. Kalau Anda seorang juragan ternak mempunyai
pertemanan dengan seorang kontraktor bangunan jangan buru-buru mengatakan
beliau pamer. Saat memposting pose berdiri di lobi gedung mewah bertingkat.
Bisa bertujuan agar bangunan tersebut bisa segera digunakan, sehingga
pembayaran proyek segera dilunasi. Sedang jarak resolusi pemahaman dari
khalayak tidak sampai sel-sel tujuan awal foto tersebut di unggah.
Hobi pelayar samudera yang
menggunggah foto saat berkeliling Benua Eropa bisa jadi bukan niatnya untuk
memamerkan kepada Anda yang hobinya piknik di belakang rumah. Mereka sudah tahu
bahwa sangat terlalu berat orang lain bisa meniru kebiasaannya. Bagi mereka,
hal tersebut hal yang wajar karena teman sejawatnya juga melakukan hal yang
sama. Mereka berbagi pengalaman perjalanan serta menyisipkan cerita. Sedang
orang lain yang kapasitasnya berbeda seharusnya merasa bersyukur mengetahui
berbagai macam informasi dunia bukan sebagai justifikator pamer yang terus
disebarkan.
Beda lagi apabila teman Anda
seorang pembaru dalam berpikir, setiap hari akan disuguhi uneg-uneg diluar
konteks umumnya. Segala macam buah pikiran yang diutarakan tersebut bukan
pertanda pamer unjuk kepandaian. Penyebab dari itu pada dasarnya dari seluruh
temannya pun melakukan hal sama, sedang pijakan Anda mungkin sudah berbeda
latar belakang. Itu pun masih tidak tahu menahu kebiasaan teman-temannya
membagi pola berpikirnya menghadapi permasalahan.
Saya lebih setuju jika kemesraan
pertemanan itu dalam dunia nyata. Keterikatan batin bisa memahami latar
belakang, kebiasaan, serta mengenal lebih dekat itu jauh lebih penting. Kalau
perlu mengerti atitud, kebiasaan pergaulannya sehari-hari. Sekalipun teman Anda
dalam kehidupan nyata ada benih kebanggan yang berindikasi pamer. Anda akan
lebih bernilai jika itu cukup dipahami saja, serta doakan agar Tuhan senantiasa
selalu membimbingnya.
Penguasaan teknologi yang tidak
dibarengi pengendalian penilaian akan berpotensi merugikan. Mengatakan pamer akan
lebih berbahaya, karena mengatakan pamer secara verbal berarti telah mengetahui
niat sebenarnya. Takaran manusia mampu melihat niat seseorang dalam hati
berarti bisa melihat yang tak kasat mata. Sungguh hebatnya yang demikian,
sedangkan tujuan awal mungkin bisa berbeda bahkan bertolak belakang.
Saya memerkan
"dingklik", lalu apa dapat Anda pikirkan?
No comments:
Post a Comment