Pernah Sampeyan denger
pepatah Jawa yang berbunyi kebo nyusu
gudhel? Hmmm…kalo Sampeyan wong Jowo pernahlah sekalipun
bener satu kali diajarin pas waktu SD, bener
kan?
Jangankan gitu, lha
wong saya yang dari MI aja pernah kesrimpet mempelajari pepatah itu meski hanya ulasan sejenak dalam
muatan lokal. Pepatah itu mengandung
pengertian bahwa orang yang tua sekalipun pada posisi tertentu bisa belajar
dengan orang yang lebih muda. Lho, kok bisa gitu ya?
Padahal umumnya orang tua itu lebih berpengalaman
dalam hal pelajaran hidup karena waktu telah banyak mengisahkan cerita hidup. Ah…semakin penasaran saja yuuk…kita ikuti aja kupasan
selanjutnya.
Pendekatan kultural orang Jawa kuno sangat lekat
dengan alam. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi hal nyata atau malah banyak
terjadi dikehidupan berikutnya. Sebagai orang Jawa sebenarnya saya ingin
menemukan asal muasal pepatah itu muncul. Namun, sampai tulisan ini saya ketik saya
belum menemukan data sejarah yang mengungkapkan perihal itu.
Tapi perlahan saya akan mentadabburi makna kebo nyusu gudhel dan kembali lagi, ini
hanya hasil resolusi pandang masih perlu diperdalam lebih lanjut. Di awali dengan mengupas pemilihan
hewan kebo sebagai subyek pelaku. Kebo atau kerbau pada masyarakat Jawa
dikenal sebagai hewan yang dimanfaatkan sebagai pembajak sawah. Kelebihan kerbau mempunyai badan kekar kemudian
disambung oleh alat pembajak terbuat dari kayu. Kebutuhan itu digunakan sebagai
alat pembajak sawah sebelum tandhur.
Jalinan interaksi antara petani dengan kerbau terhubung dalam ruang lingkup pekerjaan
dan pengabdian.
Kata nyusu lebih
dimaknai proses mengambil zat makan secara
alamiah melalui kelenjar susu milik induk kerbau. Namun yang menjadi
kontradiksi dari pepatah kebo nyusu
gudhel adalah ketidakmungkinan gudhel
mempunyai kelenjar susu. Dari sini orang Jawa berproses dari tidak mungkin
menjadi mungkin karena sesuaru hal. Tentunya mungkin tersebut dihubungkan
dengan realita kehidupan manusia khususnya orang dewasa perlu juga mendengarkan
pengalaman dari orang yang lebih muda barangkali hal tersebut bisa menambah
pengetahuan yang bermanfaat. Dari sinilah menurut saya pepatah kebo nyusu gudhel itu lahir.
Apa hubungannya antara kebo nyusu gudhel dengan jiwa ngopeni
kebo?
Kalo
menurut saya jiwa ngopeni
kebo bisa dilakukan oleh petani ataupun gudhel.
Semuanya tergantung pada kalimat yang dibelakang dari jiwa ngopeni kebo. Apabila diikuti oleh
petani, peran jiwa ngopeni kebo lebih
sebagai tuan dari pemilik kerbau. Sedangkan, jika ditelisik dari lanjutan
pepatah kebo nyusu gudhel makna jiwa ngopeni kebo disandang oleh gudhel. Tentunya ini juga sebuah korelasi
sebelumnya antara kebo nyusu gudhel kemudian
perlahan terjadi kedekatan emosional yang berdampak jiwa ngopeni kebo.
Saya akan mempersempit lagi makna kebo tidak lagi sebagai orang tua melainkan pada pimpinan atau
kepala. Alasan pergeseran dari makna itu adalah makna kebo nyusu gudhel bisa berarti seorang pimpinan atau kepala belajar sesuatu dari bawahan dalam berbagai
bidang apapun. Sejatinya setiap orang mempunyai kelebihan serta kekurangannya
masing-masing. Kesempatan adalah waktu berharga yang disediakan Tuhan untuk saling
belajar kebaikan tentunya.
Nah,
makna ngopeni
kebo lebih dekat dan presisi pada jiwa anak buah atau bawahan yang telah
mamahami karakter dari seorang pimpinan atau kepala. Saya memposisikan subyek ngopeni ini pantasnya dilakukan oleh gudhel. Hal yang perlu diketahui bahwa
yang namanya seorang pimpinan atau kepala pasti ada pressure (tekanan) baik berupa target kerja atau program kerja dari
atasannya lagi. Keadaan selanjutnya bisa diperpanjang dalam hirarki birokrasi
yang beranak-pinak yang pada sering terjadi pada puncaknya keputusan yang
berujung pada politik kepentingan golongan tertentu.
Setiap dari birokrasi mempunyai struktur dan kultur. Secara
singkat struktur telah dijelaskan di atas mengenai tingkatan jabatan yang
membedakan antara kepala dan bawahan. Aspek kultural lebih mendekatkan pada
kebiasaan kerja. Ada yang mewarisi situasi feodal, demokratis, kompetisi bahkan
eliminasi. Jadi sudah bukan rahasia umum apabila pimpinan atau kepala di tempat
Sampeyan bekerja melakukan pressure (tekanan) percayalah dia pun
juga sebagai korban tekanan dari atasan sebelumnya, fix dan itu benar-benar saya amati dari pengalaman perusahaan
tempat teman saya bekerja.
Jiwa ngopeni
kebo juga bisa dalam bentuk pendekatan sosial emosional. Pintar melihat
keadaan sebagai langkah awal bisa berdiskusi terutama menyangkut kegundahan
pimpinan. Sering bertanya tentang perasaannya ketika selepas pulang bekerja. Tanyakan
pula dampak sibuknya pekerjaan dengan keluarganya. Maka pancingan itu bisa
membuat pimpinan menceritakan keadaan sebenarnya. Kiranya cara itu sedikit bisa mereganggakan jeratan tekanan yang
terjadi. Syukur-syukur posisi gudhel itu
bisa memberi respon membangun atau bahkan ide-ide kreatif sebagai pemecah
masalah yang belum tersesaikan. Contoh tersebut memang sangat dekat dengan jiwa
ngopeni kebo yang jarang ada dalam
tatanan birokrasi yang telah mengakar bahkan sudah tumbuh menjadi sistem yang
besar.
No comments:
Post a Comment