Sunday, 29 July 2018

Jiwa “Ngopeni Kebo”

Pernah Sampeyan denger pepatah Jawa yang berbunyi kebo nyusu gudhel? Hmmm…kalo Sampeyan wong Jowo pernahlah sekalipun bener satu kali diajarin pas waktu SD, bener kan?
Jangankan gitu, lha wong saya yang dari MI aja pernah kesrimpet mempelajari pepatah itu meski hanya ulasan sejenak dalam muatan lokal. Pepatah itu mengandung pengertian bahwa orang yang tua sekalipun pada posisi tertentu bisa belajar dengan orang yang lebih muda. Lho, kok bisa gitu ya?
Padahal umumnya orang tua itu lebih berpengalaman dalam hal pelajaran hidup karena waktu telah banyak mengisahkan cerita hidup. Ah…semakin penasaran saja yuuk…kita ikuti aja kupasan selanjutnya.

Pendekatan kultural orang Jawa kuno sangat lekat dengan alam. Sesuatu yang tidak mungkin menjadi hal nyata atau malah banyak terjadi dikehidupan berikutnya. Sebagai orang Jawa sebenarnya saya ingin menemukan asal muasal pepatah itu muncul. Namun, sampai tulisan ini saya ketik saya belum menemukan data sejarah yang mengungkapkan perihal itu.

Tapi perlahan saya akan mentadabburi makna kebo nyusu gudhel dan kembali lagi, ini hanya hasil resolusi pandang masih perlu diperdalam lebih lanjut. Di awali dengan mengupas pemilihan hewan kebo sebagai subyek pelaku. Kebo atau kerbau pada masyarakat Jawa dikenal sebagai hewan yang dimanfaatkan sebagai pembajak sawah. Kelebihan  kerbau mempunyai badan kekar kemudian disambung oleh alat pembajak terbuat dari kayu. Kebutuhan itu digunakan sebagai alat pembajak sawah sebelum tandhur. Jalinan interaksi antara petani dengan kerbau terhubung dalam ruang lingkup pekerjaan dan pengabdian.

Kata nyusu lebih dimaknai proses mengambil zat makan  secara alamiah melalui kelenjar susu milik induk kerbau. Namun yang menjadi kontradiksi dari pepatah kebo nyusu gudhel adalah ketidakmungkinan gudhel mempunyai kelenjar susu. Dari sini orang Jawa berproses dari tidak mungkin menjadi mungkin karena sesuaru hal. Tentunya mungkin tersebut dihubungkan dengan realita kehidupan manusia khususnya orang dewasa perlu juga mendengarkan pengalaman dari orang yang lebih muda barangkali hal tersebut bisa menambah pengetahuan yang bermanfaat. Dari sinilah menurut saya pepatah kebo nyusu gudhel itu lahir.

Apa hubungannya antara kebo nyusu gudhel dengan jiwa ngopeni kebo?
Kalo menurut saya jiwa ngopeni kebo bisa dilakukan oleh petani ataupun gudhel. Semuanya tergantung pada kalimat yang dibelakang dari jiwa ngopeni kebo. Apabila diikuti oleh petani, peran jiwa ngopeni kebo lebih sebagai tuan dari pemilik kerbau. Sedangkan, jika ditelisik dari lanjutan pepatah kebo nyusu gudhel makna jiwa ngopeni kebo disandang oleh gudhel. Tentunya ini juga sebuah korelasi sebelumnya antara kebo nyusu gudhel kemudian perlahan terjadi kedekatan emosional yang berdampak jiwa ngopeni kebo.

Saya akan mempersempit lagi makna kebo tidak lagi sebagai orang tua melainkan pada pimpinan atau kepala. Alasan pergeseran dari makna itu adalah makna kebo nyusu gudhel bisa berarti seorang pimpinan atau kepala  belajar sesuatu dari bawahan dalam berbagai bidang apapun. Sejatinya setiap orang mempunyai kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Kesempatan adalah waktu berharga yang disediakan Tuhan untuk saling belajar kebaikan tentunya.

Nah, makna ngopeni kebo lebih dekat dan presisi pada jiwa anak buah atau bawahan yang telah mamahami karakter dari seorang pimpinan atau kepala. Saya memposisikan subyek ngopeni ini pantasnya dilakukan oleh gudhel. Hal yang perlu diketahui bahwa yang namanya seorang pimpinan atau kepala pasti ada pressure (tekanan) baik berupa target kerja atau program kerja dari atasannya lagi. Keadaan selanjutnya bisa diperpanjang dalam hirarki birokrasi yang beranak-pinak yang pada sering terjadi pada puncaknya keputusan yang berujung pada politik kepentingan golongan tertentu.

Setiap dari birokrasi mempunyai struktur dan kultur. Secara singkat struktur telah dijelaskan di atas mengenai tingkatan jabatan yang membedakan antara kepala dan bawahan. Aspek kultural lebih mendekatkan pada kebiasaan kerja. Ada yang mewarisi situasi feodal, demokratis, kompetisi bahkan eliminasi. Jadi sudah bukan rahasia umum apabila pimpinan atau kepala di tempat Sampeyan bekerja melakukan pressure (tekanan) percayalah dia pun juga sebagai korban tekanan dari atasan sebelumnya, fix dan itu benar-benar saya amati dari pengalaman perusahaan tempat teman saya bekerja.

Jiwa ngopeni kebo juga bisa dalam bentuk pendekatan sosial emosional. Pintar melihat keadaan sebagai langkah awal bisa berdiskusi terutama menyangkut kegundahan pimpinan. Sering bertanya tentang perasaannya ketika selepas pulang bekerja. Tanyakan pula dampak sibuknya pekerjaan dengan keluarganya. Maka pancingan itu bisa membuat pimpinan menceritakan keadaan sebenarnya. Kiranya cara itu sedikit  bisa mereganggakan jeratan tekanan yang terjadi. Syukur-syukur posisi gudhel itu bisa memberi respon membangun atau bahkan ide-ide kreatif sebagai pemecah masalah yang belum tersesaikan. Contoh tersebut memang sangat dekat dengan jiwa ngopeni kebo yang jarang ada dalam tatanan birokrasi yang telah mengakar bahkan sudah tumbuh menjadi sistem yang besar.


No comments:

Post a Comment