Ulasan ini
saya tulis karena latar belakang keluarga yang mendasarinya. Saya terlahir dari
keluarga saya sebagai orang pendidik. Ibu saya mantan seorang guru Sekolah
Dasar sedangkan kakak saya laki-laki masih aktif sebagai staf pengajar teknik
di sebuah Sekolah Mengengah Kejuruan di tempat kelahiran saya, Pekalongan. Tak
luput dari perannya sebagai fasilitator di dunia pendidikan, beliau sering
berbagi pengalaman serta pendapat seputar dunia pendidikan termasuk maraknya
penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang menjadi perbincangan
publik.
Alhamdulillah
saya tidak berkecimpung di dunia pendidikan. Saya memilih di jalur lain yang
sangat berbeda. Saya menikmati ketidaktahuan ini, menjadi orang awam ternyata
membuat saya lebih terpacu ingin mencari tahu sebenarnya yang telah terjadi. Saya perlu
mencari pendekatan sosial kultural untuk mencari input yang bisa saya telaah
sedikit demi sedikit. Meski secara
korelasi bagi para pakar yang ahli di bidangnya ini, mungkin pendapat saya ini
hanya dipandang sebelah mata. Bisa pula hanya dianggap orang yang mengigau di
siang hari.
Pembahasan
SKTM sebaiknya diawali dengan mengetahui pengertian makna istilah kemiskinan
yang berada di masyarakat. Makna tersebut berbeda dengan arti istilah yang
menurut perundangan mengatur masalah ini. Penjelasan makna tersebut hanya
sebuah cara pendekatan masalah agar memudahkan menganalisa syukur-syukur bisa
menjadi evaluasi terhadap diri saya sendiri yang masih butuh pencerahan dari
berbagai pihak. Adapun makna tersebut diantaranya yaitu kemiskinan yang
bersifat material, dalam konteks struktural, kemiskinan dalam mentalitas dan
kemiskinan sebagai wadah keseluruhan dari makna sebelumnya, yaitu kemiskinan pengamalan
beragama.
Kemiskinan
bersifat material merupakan pandangan pemerintah atas ketidakmampuan orang tua
karena keterbatasan penghasilan. Wujud alasan dari kemiskinan material
mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan keringanan biaya bagi masyarakat
yang benar-benar tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Umumnya
istilah miskin kategori ini lebih mudah, bisa dilihat dari fisik dhohir-nya meski kadang untuk menentukan
kategorinya petugas harus mempunyai konsep kejelian, keadilan serta keluasan
pandang.
Kemiskinan
konteks struktural, pendekatannya pada pola-pola kebiasaan alamiah yang terjadi
di masyarakat. Secara tidak langsung dari mata pencaharian, pendapatan, keadaan
tempat tinggal masyarakat membuat pengkategorian kemiskinan secara subyektif. Pemerintah
yang diwakili pemerintah desa tidak mempunyai kedekatan ruang pandang mikroskopis.
Artinya dalam menggolongkan satu rumah sebagai golongan miskin atau tidak, mempunyai
resiko tanggung jawab lebih besar. Meskipun secara peraturan perundangan
kategori keluarga yang tidak mampu mempunyai persyaratan yang harus terpenuhi.
Jika saja pemerintah desa mengeluarkan SKTM kepada kepala keluarga yang
berpenghasilan rata-rata 20 rupiah setiap hari, maka untuk keesokan harinya jangan
sampai SKTM diberikan kepada keluarga yang berpenghasilan 100 ribu perharinya.
Sedang para calon pembuat SKTM untuk sekedar memberikan informasi pendapatannya
secara jujur masih belum mencapai nilai optimal, masih sembunyi-sembunyi dan
berwarna abu-abu.
Kemiskinan mentalitas
berpijak pada gejala demam masyarakat yang mendadak miskin. Pencetus tersebut
disebabkan dari program yang diselenggarakan pemerintah yang disana ada kebijakan
“bagi-bagi” dalam hal apapun. Sejarah telah mencatat program pemerintah dalam Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT), Program Raskin, Jaminan Kesehatan dan terakhir pada
program pendidikan. Kesemuanya program tersebut tidak jarang menimbulkan polemik
horisontal antar sesama masyarakat, pemerintah desa maupun instansi lain yang
berhubungan dengan program tersebut.
Penjabaran
makna kemiskinan yang terakhir sangat sensitif terhadap kebiasaan pengamalan
beragama. Jauh dari tulisan ini dibuat saya tidak bermaksud menyinggung dari kualitas
beribadah dari sisi personalitas. Saya meyakini seluruh bangsa Indonesia adalah
bangsa yang religius yang berketuhanan Yang Maha Esa. Saya hanya berharap falsafah
negara sudah mempunyai modal yang sangat besar. Hendaknya kita sama-sama
menjunjung tinggi nilai keagamaan yang lebih rinci yaitu kejujuran. Saya pun
tidak berani mengatakan semua pembuat SKTM bukan orang jujur. Alangkah baiknya
sebelum kaki melangkah menuju kantor kepala desa hendaknya kita menghitung
nikmat-nikmat Tuhan yang telah Dia berikan. Kendaraan roda dua tahun pembuataannya
di atas tahun 2010, kebun atau sawah yang luasan berkahnya bisa memberikan
nafas kehidupan dan terakhir nikmat sehat yang masih bersemangat bahwa esok
Tuhan akan memberikan jawaban kesulitan jika niatan tulus memberikan biaya
pendidikan. Itu semua sebagai nikmat Tuhan yang sejatinya tidak boleh
dipungkiri dan mengatakan sebagai masyarakat miskin.
dijaman now ini byk yg beranggapan bhw wong miskin di uwongke misal gak punya beras dikasih raskin, gak punya lauk dikasih BLT, gak bs nyangoni sekolah (ktnya sekolah gratis) dikasih KIP, gak bs masuk sklh favorit cukup pake SKTM...dan bagi org yg kaya jg enak ktnya...anaknya ga lolos masuk sklh yg diharapkan tinggal kluar duit bs lolos,gak bs cari krj byr blkng dp posisi....loh lha?!nah bagi yg menengah hidupnya...hrs byk menabung, berdoa,n memberi semangat pd anaknya agar bs bersaing....kedepannya siapa yg bertahan dg situasi ini??? ...mungkin org miskin ato yg merasa miskin jangka pendeknya senang namun tanpa dia sadari jangka panjang akan melahirkan generasi2 miskin dr turunannya...krn sdh terbiasa hidup di mudahkan n mentalnya terbiasa bermental lemah...dan itu salah siapa...siapa yg salah...loh lha?!
ReplyDeleteSangat mendetail mbak analisanya, memang mendidik agar tidak bermental "mengharap" dan "meminta" sebagai PR kita semua jika dikembangkan menjadi pandangan lebih luas dalam bidang pekerjaan pun akan lebih kuat jika bisa pekerja yang berdiri sendiri dan bisa menjadi pohon besar sebagai tempat teduh orang lain.
Delete