Saya selalu berusaha menjadi orang yang simpel, selalu
dibikin enak. Jare wong Kalongan
kondho kae, urep kuwi digawe santai rasah digawe mumet. Saya tidak lupa
menyisipkan harapan masio sederhana mugo-mogo aku biso dadhi wong sing biso nerimo
kahanan. Harapan itu selalu aku ingat-ingat selama laga ini berjalan di
dunia dan Allah SWT masih mengijinkan saya menjadi orang Pekalongan.
Buah pikir dari kesimpelan saya itu, saya contohkan saat
merasakan puncak kenyamanan naik Honda Astrea Grand tahun 1996 layaknya saya
menikmati desiran roda mobil Grand Livina tahun 2016. Lha…kok iso? Sepertinya ini adalah masalah sepele sebatas guyon saja. Bahkan sekedar iseng-iseng
pelipur lara karena garasi kanan kiri tetangga sebelah sudah terisi mobil sebagai
pelengkap jenis kendaraan. Saya tidak akan gentar sekalipun lahan kosong depan
rumah saya mau dibuat lapangan parkir pesawat Sukhoi pun, saya tidak pernah keberatan.
Prinsip penghayatan simpel saya itu bukan menyindir
pemberian Tuhan dengan menyatiri nilai fisik motor jaman dulu dengan keadaan
mobil jaman sekarang. Justru saya ini
masih terus berpikir mengapa kok saya
belum begitu nafsu atas keperluan itu. Padahal tidak sedikit teman seusia saya
sudah mulai melirik model mobil yang pantas untuk keperluannya. Jangankan mobil
yang nominalnya ratusan juta, Lha wong untuk
ganti motor saja saya masih enggan move
on, malah belum lama saya rawat dan terlihat bersinar kembali bersama
habitat sejawatnya (komunitas) dan saya berharap juga engga mati roso atas kecanggihan mobil yang sekarang luar biasa
hebatnya.
Pengalaman berkendara saya pun cukup warheg (kenyang) karena hampir setiap
saya melintas di jalan Pantura. Tontonan motor serta mobil baru sudah menjadi
pemandangan biasa. Barang-barang mewah tersebut di angkut truk besar menuju kearah
jalur Semarang. Persisnya saya tidak tahu arah tujuan truk tersebut. Namun
secara pasti proses pengangkutan itu berangkat dari pabrik otomotif di Jawa
Barat kemudian langsung dikirim ke berbagai penjuru wilayah Indonesia. Dari
mulai jenis kendaraan sedan, city car,
SUV, double
cabin hingga mobil bekas build up yang
masih ada packing plastik laminatingnya.
Jauh dari pikiran saya sudah tidak gumunan lagi, ketika mobil sudah menjadi
barang keperluan. Sebelum dipikirkan matang, langkah yang menjadi prioritas
adalah korelasi terhadap keseimbangan, keharmonisasian antara pemasukan serta
pendapatan masih dalam batas aman atau malah menjadi awal dari kehancuran
sistem ekonomi keluarga. Selain itu sudah terpikirkan terhadap dampak sosial
yang bisa dirasakan orang-orang lemah terhadap anggapannya. Bahwasanya ketika
pencapaian itu sudah berimplikasi terhadap kehidupannya, adakah sedikit harta
yang bisa mereka rasakan, tanpa harus mereka pinta? Itu semua harus melaui
tahapan lolos sensor sebelum memutuskan untuk membelinya.
Saya tidak mempunyai pandangan sinis kepada produsen
mobil. Tanpa saya provokatif untuk tidak membeli mobil pun saya kira rayuan sales
mobil bisa bikin klepek-klepek calon
pembeli. Melalui tulisan ini tidak ada sedikit pun rasa dengki kepada teman saya
rajin setiap tahunnya harus merayakan ulang tahun mobilnya di kantor SAMSAT
terdekat.
Saya hanya ngudo
roso, bagi Sampeyan yang belum
kesampaian punya mobil engga usah
sedih apalagi bunuh diri. Kalau memang benar terjadi, malah kemungkinan pasaran mobil bisa naik.
Berita viral bunuh diri akibat kepingin mobil sering dibicarakan di dunia maya.
Dengan memanfaatkan suasana
sebagai bahasa iklan sebagai dalih, untuk menghindari stres bunuh diri para produsen mobil memutar otak agar produksinya
laku keras. Melalui kerja sama jasa leasing
kemudian membuat iklan, “Dari pada bunuh diri, kembali kami tawarkan kredit mobil dengan DP samakin murah,”, akibat
itu pasaran mobil naik tapi sayang kadung
sudah meninggal. Silakan semua pilihan saya serahkan sepenuhnya kepada Sampeyan.
No comments:
Post a Comment