Sunday, 22 July 2018

Pilgub


Saya baru "ngeh" kalau pemilihan gubernur Jawa Tengah itu kurang 4 hari lagi. Kalau teman SMP saya tidak mengingatkan pengecekan DPT Pilgub melalui whatsapp, saya anteng-anteng saja. Namun justru, setelah ingat ini, saya baru menulis status tentang pengalaman semenjak menjadi warga negara yang konon mengikuti tradisi pesta demokrasi di negara kita, Indonesia.

Seperti tahun-tahun politik sebelumnya. Saya tidak pernah mengikuti ajang kampanye secara offline maupun online melalui media sosial. Mengetahui acara sepeda santai yang EO nya tidak jauh dari orang politik pun saya mengurungkan niat ketika diajak teman saya. Entah, hasrat mendengar partai politik di telinga harus benar-benar banyak filter hingga bisa masuk ke alam sadar saya.

Saya bukan antipati terhadap partai politik. Kalau boleh berbagi pengalaman, semenjak usia 8 tahun atau kelas 4 MI saya sudah menjadi simpatisan parpol. Setiap 2 minggu sekali saya menghadiri deklarasi partai semacam mirip kampanye. Saya ikut naik truk rame-rame dari kecamatan satu ke kecamatan lain, bergantian. Kalau truk sudah penuh saya harus rela bayar sendiri naik angkot uang saku habis, untuk minum pun joinan sama peserta lain. Meski belum menjadi pemilih, kepala saya dari kecil sudah sering kebentur tiang bendera partai saat deklarasi. Kesenggol-senggol simpatisan lain di bawah panggung. Hingga menemani almarhum bapak saya bekerja serabutan sebagai tim dekorasi lapangan, hingga pukul 01.00 dini hari mengurus keperluan partai. Singkatnya, euforia partai politik sudah dari kecil sebagai hiburan sampingan setelah main sepedaan, kelereng, bentik, kemah-kemahan dan nonton Crayon Sinchan di RCTI.

Setelah sistem demokrasi menjadi pilihan langsung, seharusnya saya turut melanggengkan hobi saya tersebut. Menjadi tim "rewo-rewo" salah satu kader pasangan calon sepertinya menjanjikan. Kalau dulu saya sering minta uang buat beli saku dari ibu saya, malah sekarang bisa minta sama seorang tim sukses sekedar beli bensin ataupun es teh di jalan, wah lebih sejahtera sebenarnya kalau dilestarikan kebiasaan ini.

Saya pun tetap "legowo" tidak ada unsur kebencian kepada teman-teman yang kebetulan menjadi anggota atau simpatisan pasangan calon pemimpin. Berpolitik itu tidak salah, yang salah itu menodai nuansa politik dengan kecurangan. Kapasitas kecurangan bisa meluas segala lini dari interen partai hingga merugikan negara. Setiap orang bisa berdiri di balik partai, namun yang terpenting kualitas akhlak secara individu dan cara pandang tujuan berpolitik menjadi prinsip utamanya.

Sebagai orang yang hidup di generasi millenial, media sosial turut menjadi alat kampanye pemilu secara online. Saya percaya terhadap segala iklan kampanye. Secara garis besar, calon pemimpin tidak akan jelek, bagus semua baik semua. Sudah ada etikad menjadi pemimpin saja sudah kebanggaan tersendiri. Tidak semua orang berani mencalonkan diri sebagai pemimpin. "Kok saya bisa bilang seperti itu?". Sebab, bagi diri saya, berani mengatakan kepada masyarakat, "Saya ini orang baik dan layak untuk menjadi pemimpin" bagi saya pribadi hal itu paling berat.

Sesuatu yang bisa saya lakukan adalah menggunakan hak pilih saya sebagaimana mestinya. "Kalau ditanya milih siapa?maka saya hanya bisa senyum terpaksa. Keputusan itu ternyata sudah saya pikirkan jauh-jauh hari sebelum usia 17 tahun. Landasan berpikir seorang remaja yang saya gunakan, bahwa pembelan baik partai politik dan pasangan calon pemimpin berakhir di bilik suara. Siapapun partai serta pemimpinnya kita masih menjadi diri sendiri, berdaulat, sebagaimana takdir Tuhan dinamis dalam berpikir.

23 Juni 2018 (late post)

No comments:

Post a Comment