Saya baru "ngeh" kalau pemilihan gubernur Jawa Tengah itu kurang 4 hari lagi. Kalau teman SMP saya tidak mengingatkan pengecekan DPT Pilgub melalui whatsapp, saya anteng-anteng saja. Namun justru, setelah ingat ini, saya baru menulis status tentang pengalaman semenjak menjadi warga negara yang konon mengikuti tradisi pesta demokrasi di negara kita, Indonesia.
Seperti tahun-tahun politik
sebelumnya. Saya tidak pernah mengikuti ajang kampanye secara offline maupun
online melalui media sosial. Mengetahui acara sepeda santai yang EO nya tidak
jauh dari orang politik pun saya mengurungkan niat ketika diajak teman saya.
Entah, hasrat mendengar partai politik di telinga harus benar-benar banyak filter
hingga bisa masuk ke alam sadar saya.
Saya bukan antipati terhadap
partai politik. Kalau boleh berbagi pengalaman, semenjak usia 8 tahun atau
kelas 4 MI saya sudah menjadi simpatisan parpol. Setiap 2 minggu sekali saya
menghadiri deklarasi partai semacam mirip kampanye. Saya ikut naik truk
rame-rame dari kecamatan satu ke kecamatan lain, bergantian. Kalau truk sudah
penuh saya harus rela bayar sendiri naik angkot uang saku habis, untuk minum
pun joinan sama peserta lain. Meski belum menjadi pemilih, kepala saya dari
kecil sudah sering kebentur tiang bendera partai saat deklarasi.
Kesenggol-senggol simpatisan lain di bawah panggung. Hingga menemani almarhum
bapak saya bekerja serabutan sebagai tim dekorasi lapangan, hingga pukul 01.00
dini hari mengurus keperluan partai. Singkatnya, euforia partai politik sudah
dari kecil sebagai hiburan sampingan setelah main sepedaan, kelereng, bentik,
kemah-kemahan dan nonton Crayon Sinchan di RCTI.
Setelah sistem demokrasi menjadi
pilihan langsung, seharusnya saya turut melanggengkan hobi saya tersebut.
Menjadi tim "rewo-rewo" salah satu kader pasangan calon sepertinya
menjanjikan. Kalau dulu saya sering minta uang buat beli saku dari ibu saya,
malah sekarang bisa minta sama seorang tim sukses sekedar beli bensin ataupun es
teh di jalan, wah lebih sejahtera sebenarnya kalau dilestarikan kebiasaan ini.
Saya pun tetap "legowo"
tidak ada unsur kebencian kepada teman-teman yang kebetulan menjadi anggota
atau simpatisan pasangan calon pemimpin. Berpolitik itu tidak salah, yang salah
itu menodai nuansa politik dengan kecurangan. Kapasitas kecurangan bisa meluas
segala lini dari interen partai hingga merugikan negara. Setiap orang bisa
berdiri di balik partai, namun yang terpenting kualitas akhlak secara individu
dan cara pandang tujuan berpolitik menjadi prinsip utamanya.
Sebagai orang yang hidup di
generasi millenial, media sosial turut menjadi alat kampanye pemilu secara
online. Saya percaya terhadap segala iklan kampanye. Secara garis besar, calon
pemimpin tidak akan jelek, bagus semua baik semua. Sudah ada etikad menjadi
pemimpin saja sudah kebanggaan tersendiri. Tidak semua orang berani mencalonkan
diri sebagai pemimpin. "Kok saya bisa bilang seperti itu?". Sebab,
bagi diri saya, berani mengatakan kepada masyarakat, "Saya ini orang baik
dan layak untuk menjadi pemimpin" bagi saya pribadi hal itu paling berat.
Sesuatu yang bisa saya lakukan
adalah menggunakan hak pilih saya sebagaimana mestinya. "Kalau ditanya
milih siapa?maka saya hanya bisa senyum terpaksa. Keputusan itu ternyata sudah
saya pikirkan jauh-jauh hari sebelum usia 17 tahun. Landasan berpikir seorang
remaja yang saya gunakan, bahwa pembelan baik partai politik dan pasangan calon
pemimpin berakhir di bilik suara. Siapapun partai serta pemimpinnya kita masih
menjadi diri sendiri, berdaulat, sebagaimana takdir Tuhan dinamis dalam
berpikir.
23 Juni 2018 (late post)
No comments:
Post a Comment