Selain batik, Pekalongan
menyuguhkan makanan sejuta umatnya yaitu nasi megono. Kalau kebetulan ada tamu
dari luar kota saya selalu memaksa agar pernah mencoba makanan berbahan dasar
nangka muda ini. Saya sering "ngangsu
kawruh" apa saja dari daerah lain. Obrolan ringan dari mulai keadaan
geografis, kebiasan masyarakat hingga muaranya pasti berujung pada makanan.
Saya bukan pecinta kuliner,
minimal tahu aja sudah cukup. Kalau diizinkan bertemu antara rasa penasaran
dengan keadaan sebenarnya, dosis rasa syukur terus saya tambahi.
"Ooo...ngene iki pok? ternyata rasane ngene....Alhamdulillah!", dan
itu jarang terjadi.
Lidah memang engga saya manjakan.
Lha, wong sebenarnya perut itu pun, tidak punya mata. Kebutuhan perut hanyalah
terisi makanan agar tidak kelaparan. Masalah bentuk dan rasa hanya terjadi
proses di mata, otak dan mulut manusia.
Ada seorang mahasiswa Kupang NTT
yang hobi makan soto dan sop. Pertama kalinya memakan nasi megono. Minggu siang
itu setelah kesanan kemari mencari warung makan, ketemulah warung nasi megono.
Obrolan berlanjut dan mahasiswa itu masih duduk menunggu ibu penjual nasi.
"Ketika sudah ada di
Pekalongan, secara perlahan kamu harus bisa menyesuaikan kebiasaan orang sini
melalui nasi megono." saranku kepada mahasiswa itu. Dia hanya mengangguk,
"Oh...tidak masalah yang penting cocok dengan keuangan saya."
jawabnya. Sesekali ia membayangkan bentuk olahan nangka muda yang sebelumnya
saya ceritakan. Keadaan tersebut bisa sebagai saran untuk sekedar menghemat
sebagai anak kos. Ya, megono lebih murah dibanding dengan soto dan sop.
No comments:
Post a Comment