Wednesday, 28 February 2018

Ngutang Lagi

Pekalongan yang konon terkenal dengan usaha batiknya, banyak terjadi suka duka cerita diantara para pengusaha maupun pedagang yang menurut saya cukup menarik untuk diperhatikan. Meski dalam sekala kecil di wilayah kampung tempat tinggal saya, paling tidak saya tidak perlu mengambil sampel yang jarak pandangnya semakin jauh, ini menguntungkan bagi saya tentunya tidak direpotkan mengenai pembiasan pengambilan sampel data.

Merunut kembali kepada hirarki antara pengusaha batik atau masyarakat Pekalongan yang menyebutnya juragan  atau seorang bos ada beberapa bagian yaitu para pekerja atau mereka sendiri sering mengkonotasikan sebagai kaum buruh atau kuli.  Namun atas anggapan itu, menurut saya ini malah justeru mereka adalah sebagai motor penggerak eksistensi batik hingga sekarang ini. Dari pedangang kain mori, pedagang obat batik, buruh gambar batik, buruh membatik, buruh pewarnaan batik, buruh keceh, buruh penjahit batik serta pedagang batik. Kesemuanya itu satu rangkaian ekosistem dunia perbatikan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Ada yang baru-baru punya usaha dagang batik baru sekitar 5 tahun berjalan mula-mula dari dagangan online shop dengan beberapa reseller merangkak naik. Bermula dengan menyediakan stok agak dilebihkan  berbagai ukuran kain. Upaya itu ternyata didukung oleh perangkat hape androidnya yang mempunyai sisi ketajaman luar biasa. Setiap ada produk baru turun dari proses pembatikan tahap berikutnya adalah proses pemotretan batik. Setelah itu foto tersebut diunggah ke dalam toko online. Ada yang menunggu pembeli langsung ada pula yang melalui reseller produk batiknya akan dijual kembali. Setelah sama-sama sepakat maka pembeli akan mentransfer uang beserta ongkos kirimnya jika itu dibebankan oleh pembeli. Kemudian penjual batik melakukan proses pengepakan langsung dikirim melalui jasa ekspedisi.

Untuk memperlancar usaha serta mempertahankan eksistensi batiknya ada pengusaha dan pedagang bekerjasama .melalui pihak ke-3 yaitu lembaga keuangan. Tidak semua lembaga keuangan berlabel bank dan tidak semua bank bernuansa konvensional dan setiap berbau syariah belum tentu berbau islam itu adalah rumus pendapat saya dan kalaupun Sampeyan boleh tidak sependapat ya tidak masalah. Makanya Sampeyan tidak usah kaget jika setiap pinggir jalan di Pekalongan terdapat banyak bank yang berdiri dekat kantor kecamatan, koperasi simpan pinjam, baitul mal dan bank titil yang door to door menyambangi nasabah setiap harinya.

Mendekati musim lebaran maka permintaan pemesanan batik mengalami kenaikan dari hari biasanya. Keadaan itu dipicu karena budaya nasional yang biasanya akan membeli baju baru ketika menjelang hari raya. Keadaan tersebut para pengusaha mensiasati dengan meminjam modal kepada pihak bank untuk membeli bahan mentah seperti kain mori, malam serta obat batik. Proses persiapan itu minimal 2 bulan sebelum hari raya karena jika mendekati hari raya harga bahan mentah seperti  kain cenderung mengalami kenaikan. Atas salah satu dasar itu biasanya para pengusaha mulai mengajukan proposal kredit kepada pihak lembaga keuangan, makanya di Pekalongan usaha simpan pinjam ini menjamur begitu pesat, yang konon sebagai instrumentasi publik tolok ukur kemajuan dalam perdagangan padahal menurut saya tidak selamanya demikian.

No comments:

Post a Comment