Pekalongan yang konon terkenal dengan
usaha batiknya, banyak terjadi suka duka cerita diantara para pengusaha maupun
pedagang yang menurut saya cukup menarik untuk diperhatikan. Meski dalam sekala
kecil di wilayah kampung tempat tinggal saya, paling tidak saya tidak perlu
mengambil sampel yang jarak pandangnya semakin jauh, ini menguntungkan bagi
saya tentunya tidak direpotkan mengenai pembiasan pengambilan sampel data.
Merunut kembali kepada hirarki antara
pengusaha batik atau masyarakat Pekalongan yang menyebutnya juragan atau seorang bos ada beberapa bagian yaitu
para pekerja atau mereka sendiri sering mengkonotasikan sebagai kaum buruh atau
kuli. Namun atas anggapan itu, menurut
saya ini malah justeru mereka adalah sebagai motor penggerak eksistensi batik
hingga sekarang ini. Dari pedangang kain mori, pedagang obat batik, buruh
gambar batik, buruh membatik, buruh pewarnaan batik, buruh keceh, buruh penjahit batik serta pedagang batik. Kesemuanya itu
satu rangkaian ekosistem dunia perbatikan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain.
Ada yang baru-baru punya usaha dagang batik
baru sekitar 5 tahun berjalan mula-mula dari dagangan online shop dengan beberapa
reseller merangkak naik. Bermula dengan menyediakan stok agak
dilebihkan berbagai ukuran kain. Upaya
itu ternyata didukung oleh perangkat hape androidnya yang mempunyai sisi
ketajaman luar biasa. Setiap ada produk baru turun dari proses pembatikan tahap
berikutnya adalah proses pemotretan batik. Setelah itu foto tersebut diunggah
ke dalam toko online. Ada yang menunggu pembeli langsung ada pula yang melalui reseller produk batiknya akan dijual
kembali. Setelah sama-sama sepakat maka pembeli akan mentransfer uang beserta
ongkos kirimnya jika itu dibebankan oleh pembeli. Kemudian penjual batik
melakukan proses pengepakan langsung dikirim melalui jasa ekspedisi.
Untuk memperlancar usaha serta
mempertahankan eksistensi batiknya ada pengusaha dan pedagang bekerjasama .melalui
pihak ke-3 yaitu lembaga keuangan. Tidak semua lembaga keuangan berlabel bank
dan tidak semua bank bernuansa konvensional dan setiap berbau syariah belum
tentu berbau islam itu adalah rumus pendapat saya dan kalaupun Sampeyan boleh tidak sependapat ya tidak
masalah. Makanya Sampeyan tidak usah kaget jika setiap pinggir jalan di
Pekalongan terdapat banyak bank yang berdiri dekat kantor kecamatan, koperasi
simpan pinjam, baitul mal dan bank titil yang
door to door menyambangi nasabah setiap harinya.
Mendekati musim lebaran maka
permintaan pemesanan batik mengalami kenaikan dari hari biasanya. Keadaan itu
dipicu karena budaya nasional yang biasanya akan membeli baju baru ketika
menjelang hari raya. Keadaan tersebut para pengusaha mensiasati dengan meminjam
modal kepada pihak bank untuk membeli bahan mentah seperti kain mori, malam
serta obat batik. Proses persiapan itu minimal 2 bulan sebelum hari raya karena
jika mendekati hari raya harga bahan mentah seperti kain cenderung mengalami kenaikan. Atas salah
satu dasar itu biasanya para pengusaha mulai mengajukan proposal kredit kepada
pihak lembaga keuangan, makanya di Pekalongan usaha simpan pinjam ini menjamur
begitu pesat, yang konon sebagai instrumentasi publik tolok ukur kemajuan dalam
perdagangan padahal menurut saya tidak selamanya demikian.
No comments:
Post a Comment