Wednesday, 28 February 2018

Cara Pandang "Numpak"

Numpak merupakan bahasa jawa dapat diartikan sebagai naik. Pendekatannya bisa kepada makhluk hidup, misalnya "numpak jaran, numpak kebo dsb". Bisa pula diikuti kata benda berupa alat transportasi mempunyai arti menggunakan. Kalau saya "numpak pit" berarti sedang menggunakan sepeda. Begitu juga kalau "numpak motor" berarti menggunakan motor dan seterusnya.

Cara pandang lebih meletakkan penilaian subyektif terhadap sesuatu yang ditangkap indera penglihatan. Proses selajutnya ditransformasikan ke dalam pikiran yang melahirkan respon, baik verbal atau tindakan. "Kuwi ming definisi ngawur sebagai wong awam" seperti saya ini. Sembari saya melanjutkan tulisan ini, saya memberi kesempatan bagi Anda agar berlapang dada, memaklumi atas keterbatasan pikiran saya dalam mendifinisikan sesuatu ruang lingkup serta penjabarannya.

Dalam pikiran manusia mempunyai 2 kesempatan menilai sesuatu dari sisi positif dan negatif. Beruntung jika seseorang mempunyai kemampuan berfikir keduanya. Adakalanya berfikir negatif memang perlu, karena dengan menyadari kita berfikir negatif sesegera mungkin kita berpindah untuk selalu berpikir positif.

Pengaruh cara berpikir ini, bisa dipengaruhi oleh suasana hati dalam diri seseorang. Makanya ada istilah dibawa perasaan (baper), ini membuktikan bahwa hal-hal sepele bisa dibesarkan karena perasaan. Orang yang ingin mengenali dirinya sendiri sedapat mungkin seseorang itu bisa mengendalikan diri dari hal yang dirasa agar tidak dimasak menjadi perasaan, semoga mudeng yang saya maksud.

Bukti contoh kebaperan yang diikuti cara pandang aktifitas seseorang adalah ketika istilah "numpak" diikuti dengan alat transportasi. Saya selalu bercermin ketika menggunakan alat transportasi apapun kecuali naik pesawat. Perkataan jujur saya, patut di pertaruhkan karena saya berbagi hal atas dasar apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan apa yang saya rasakan

Ketika naik sepeda saya sering kali merasa jengkel kepada pengguna jalan lain baik motor ataupun mobil yang seenaknya nyalip kencang dari belakang. "Jane, pengin misuh, tapi kok wagu, lha wonge ora ngerungu semisal tak pisuhi karo juga yo ora patut.". Akhirnya hanya berhenti tarik nafas sejenak sembari gelengkan kepala. Banter-banternya, "Syem...kaged tenan jhe, mak lap!"

Begitu juga saat naik motor, meski sudah sangat berhati-hati di jalan tetap saja menimbulkan masalah. Jalan pantura yang sudah 2 jalur seakan masih kurang saat truk badan besarpun tak mau mengalah. Saling menyalip satu sama lain. Motor roda dua pun tersisih ngrusuk hingga bahu jalan. Biasanya pemandangan ini berubah pas musim hujan mirip iklan detergen. Ketika bus lewat siap-siap sepeda motor dihujani kubangan air disamping jalan, basah kuyup pasti.

Keadaan berbeda, saat saya kebeneran nebeng naik mobilnya teman. Saya melihat jelas kesembronoan pengguna roda dua nyalip motong jalan kemudian tiba-tiba berhenti di depan. Seakan pingin nimpuk mukanya pakai uang seratus ribuan. Belum lagi ketika mobil sudah memberikan lampu dim untuk memintan kesempatan menyeberang masih saja pengguna sepeda motor melaju dengan kencangnya. "Ah...betapa malangnya nasib Pak Sopir, sudah sesuai peraturan orang lain yang melanggar."

Dari situlah saya menikmati heterogenitas karakter manusia saat berkendara. Kenikmatan bercermin diri sendiri ketika di jalan raya. Minimal ketika naik sepeda harus siap konsekuensinya sebagai kaum minoritas di jalan. Esensi terakhir ketika naik motor saya tidak akan sembrono kepada pak sopir dan terakhir saya no komen bercermin harus menghormati siapa ketika naik pesawat.

No comments:

Post a Comment