Numpak
merupakan bahasa jawa dapat diartikan sebagai naik. Pendekatannya bisa kepada
makhluk hidup, misalnya "numpak jaran, numpak kebo dsb". Bisa pula
diikuti kata benda berupa alat transportasi mempunyai arti menggunakan. Kalau
saya "numpak pit" berarti sedang menggunakan sepeda. Begitu juga
kalau "numpak motor" berarti menggunakan motor dan seterusnya.
Cara
pandang lebih meletakkan penilaian subyektif terhadap sesuatu yang ditangkap
indera penglihatan. Proses selajutnya ditransformasikan ke dalam pikiran yang
melahirkan respon, baik verbal atau tindakan. "Kuwi ming definisi ngawur
sebagai wong awam" seperti saya ini. Sembari saya melanjutkan tulisan ini,
saya memberi kesempatan bagi Anda agar berlapang dada, memaklumi atas
keterbatasan pikiran saya dalam mendifinisikan sesuatu ruang lingkup serta
penjabarannya.
Dalam
pikiran manusia mempunyai 2 kesempatan menilai sesuatu dari sisi positif dan
negatif. Beruntung jika seseorang mempunyai kemampuan berfikir keduanya.
Adakalanya berfikir negatif memang perlu, karena dengan menyadari kita berfikir
negatif sesegera mungkin kita berpindah untuk selalu berpikir positif.
Pengaruh
cara berpikir ini, bisa dipengaruhi oleh suasana hati dalam diri seseorang.
Makanya ada istilah dibawa perasaan (baper), ini membuktikan bahwa hal-hal
sepele bisa dibesarkan karena perasaan. Orang yang ingin mengenali dirinya
sendiri sedapat mungkin seseorang itu bisa mengendalikan diri dari hal yang
dirasa agar tidak dimasak menjadi perasaan, semoga mudeng yang saya maksud.
Bukti
contoh kebaperan yang diikuti cara pandang aktifitas seseorang adalah ketika
istilah "numpak" diikuti dengan alat transportasi. Saya selalu
bercermin ketika menggunakan alat transportasi apapun kecuali naik pesawat.
Perkataan jujur saya, patut di pertaruhkan karena saya berbagi hal atas dasar
apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan apa yang saya rasakan
Ketika
naik sepeda saya sering kali merasa jengkel kepada pengguna jalan lain baik
motor ataupun mobil yang seenaknya nyalip kencang dari belakang. "Jane,
pengin misuh, tapi kok wagu, lha wonge ora ngerungu semisal tak pisuhi karo
juga yo ora patut.". Akhirnya hanya berhenti tarik nafas sejenak sembari
gelengkan kepala. Banter-banternya, "Syem...kaged tenan jhe, mak
lap!"
Begitu
juga saat naik motor, meski sudah sangat berhati-hati di jalan tetap saja
menimbulkan masalah. Jalan pantura yang sudah 2 jalur seakan masih kurang saat
truk badan besarpun tak mau mengalah. Saling menyalip satu sama lain. Motor
roda dua pun tersisih ngrusuk hingga bahu jalan. Biasanya pemandangan ini
berubah pas musim hujan mirip iklan detergen. Ketika bus lewat siap-siap sepeda
motor dihujani kubangan air disamping jalan, basah kuyup pasti.
Keadaan
berbeda, saat saya kebeneran nebeng naik mobilnya teman. Saya melihat jelas
kesembronoan pengguna roda dua nyalip motong jalan kemudian tiba-tiba berhenti
di depan. Seakan pingin nimpuk mukanya pakai uang seratus ribuan. Belum lagi
ketika mobil sudah memberikan lampu dim untuk memintan kesempatan menyeberang
masih saja pengguna sepeda motor melaju dengan kencangnya. "Ah...betapa
malangnya nasib Pak Sopir, sudah sesuai peraturan orang lain yang
melanggar."
Dari
situlah saya menikmati heterogenitas karakter manusia saat berkendara.
Kenikmatan bercermin diri sendiri ketika di jalan raya. Minimal ketika naik
sepeda harus siap konsekuensinya sebagai kaum minoritas di jalan. Esensi
terakhir ketika naik motor saya tidak akan sembrono kepada pak sopir dan
terakhir saya no komen bercermin harus menghormati siapa ketika naik pesawat.
No comments:
Post a Comment