Wednesday, 28 February 2018

Gethuk Lindri

Melewati hari ke-2 diantara Hari Truk Nasional di jalur pantura, ternyata membawa dampak positif bagi sebagian pedagang. Seperti pagi ini ada beberapa pedagang gethuk lindri yang berencana ingin menjual barang dagangannya di sekitaran daerah Kota Pekalongan.
Pemandangan pedagang gethuk lindri sangat mudah ditemui di daerah jalur pantura arah Pekalongan-Semarang. Kemacetan yang berbuntut panjang bisa menyebabkan rasa lapar bagi para pengendara khususnya para pengemudi truk dari luar kota. Jajanan gethuk lindri yang kaya akan karbohidrat ini paling tidak bisa sebagai pengganjal lapar sebelum mereka sarapan. Bisa jadi karena untuk turun membeli makanan sangat tidak mungkin betapa penuhnya kondisi pemakai jalan raya semakin siang semakin memadat.
Kekhasan lain dari pedagang gethuk ini dengan media pengeras suara layaknya TOA mushola. Ciri khas lain bahwa pedagang gethuk lindri masih menggunakan sepeda onthel. Hal tersebut dari dulu hingga sekarang aktifitas gowesnya tidak berubah meski deretan pedagang lain sudah beralih ke kendaraan roda dua yang konon menjadi lebih cepat dan efisien. Mempertahankan ciri khas memang tidak semua pedagang bisa melakukannya. Menurut saya, perilaku profesional selain mengutamakan mutu harus mempunyai tanda sebagai identitas. Pedagang gethuk lindri ini sangat istiqomah menjalankan amanah dari Tuhannya.

Masih Kangen Dengan HP Jadul

Gaes... Kita jalan-jalan ke masa lalu, Yuk!”
“Apa ya yang akan dibahas, sepertinya paling gampang yaitu tentang handphone. Yap, tentang hp.”
Di era millenial ini alat komunikasi berupa hp sudah tidak yang bisa dienyahkan keberadaannya.
“Kok bisa ya?”   
Simpelnya kalau mau pergi kemudian hp belum ada di kantong, pilihan terbaik masih memilih untuk putar balik  mengambil hp kembali. Mungkin saja alasan perginya tidaklah sebentar. Sisi ketergatungan itu merujuk pada kepentingan berkomunikasi dengan orang lain yang juga mempunyai perangkat sama.
“Lantas, sejak kapan sih kita mulai menggunakan hp?”
Kalau jawabanku sih, ketika semua sistem perangkat pertelekomunikasian sudah mapan dalam berbagai aspek. “Jiah, tambah mubeng Lhur, dyarrr!”
 
Paket perdana yang sekarang dijual hanya 2 ribu rupiah jangan serta merta Sampeyan kepenak, gonta-ganti nomor hp. Kalau Sampeyan ingat tentang awal pertama kali munculnya kartu perdana di Pekalogan. Sekitar tahun 2000, harganya dibanderol sekitar 500 ribu rupiah, gaes!. Bentuknya sih, memang eksklusif. Paket starterpack dari sisi wadah kartu perdana berupa mika plastik mirip tempat tool set elektronik. Sangat elegan, serta berbagai informasi disajikan secara lengkap. Bahkan kalau perdana itu dikeluarkan di musim mudik lebaran, ada bonusnya, tuh! yaitu peta jalur mudik dilengkapi berbagai informasi rest area, restoran, bengkel mobil dan lainnya meskipun hanya pulau Jawa saja. Bagi sebagian orang bentuk paket kartu perdana tersebut adalah barang mahal. Ini menjadi salah satu alasan hp hanya digunakan kalangan yang mempunyai kocek lebih, pantas lah perdananya saja sudah 500 ribu apalagi unit hpnya bisa dibayangkan engga harganya? Hhmm...Penyedia jasa layanan pertelekomunikasian (operator seluler) pada awalnya hanya beberapa saja itu pun konon  juga sahamnya ada yang masih berplat merah. Agar sinyal itu hadir di kecamatan A misalnya. maka di sana juga harus dibagun Base Transciver Station (BTS) dan pemancarnya berupa menara (tower) sebagai penguat sinyal GSM kepada pengguna. Seperti kita ketahui bersama operator layanan berbasis sinyal GSM kualitasnya sangat bagus karena ditunjang oleh BTS disetiap tempat minimal di setiap kecamatan. Untuk membangung sebuah BTS saja memakan waktu serta anggaran yang tidak murah. Perizinan serta kompensasi terhadap eksekusi resiko lahan warga sekitar proyek BTS menjadi polemik berbulan-bulan hingga mencapai titik kesepakatan. Jadi, meskipun Sampeyan mempunyai kocek yang tebal kalau di daerahnya belum di jangkau sinyal operator seluler ya percuma saja gaes, lha wong BTS nya saja belum dibangun, kok!.
Selanjutnya mengenai unit hp itu sendiri. Semenjak produsen hp seperti Ericsson, Siemens dan Nokia yang awalnya masuk jajaran merek hp di Indonesia. Menurut saya hanya ada satu merek hp yang merakyat yaitu Nokia. Masyarakat mulai belajar fitur hp melalui Nokia. Selain sangat mudah dipelajari karena akses menu dalam bentuk gambar, variannya serinya beraneka ragam. Dari fasilitas layar monochrome hingga berbasisa layar TFT yang beribu warna menarik lainnya. Begitu pula ragam suara nada dering dari monophonic berlanjut teknologi polyphonic hingga berbentuk nada dering mp3 yang berasal dari potongan sebuah lagu. Saking rajinnya pihak Nokia menelurkan seri hp yang didominasi menggunakan angka misalnya 3310,3350, 5510, 5110 dan sebagainya dalam waktu yang sangat singkat. Salah satu sistem pemasaran Nokia  tersebut berdampak pada harga pasar hape akan cepat mengalami perubahan tatkala sudah ada seri terbarunya. Masih ingat kan gaes? dulu hp itu merupakan barang mahal. Semenjak seri-seri hp bertebaran maka harga hp seken masih dapat dijangkau oleh masyarakat ada yang sekitar 100-200 ribu meski waktu itu harga hape juga ada berkisar antara 2-4 juta jika memang fiturnya dirasa paling lengkap di jamannya.
                                                                                                           
Sistem pertelekomunikasian memang saling menunjang antara penyedia layanan operator, BTS serta daya beli masyarakat tentang unit hp. Saya sebagai masyarakat awam, juga berterima kasih atas segala fungsinya hp dan semboyannya Nokia Connecting People mendekatkan yang jauh. Namun, perkembangan pertelekomunikasian ini juga mempunyai side effect terhadap kemampuan bersosialisasi secara langsung yang semakin berkurang serta dampak dan berbagai masalah nasional lainnya. Maka seyogyanya, mari kita kembalikan alat komunikasi ini sebagai jembatan untuk berkomunikasi secara langsung. Sekali lagi ini sebagai jembatan saja. Yang paling terpenting tingkatan tertinggi berkomunikasi itu jika kita bisa bertemu langsung mengerti raut ekspresi wajah serta gestur lawan bicara sehingga makna serta tujuan berkomunikasi bisa tepat sasaran.

Logo Yang Pernah Tenar di Jamannya

Gejala sesorang yang sedang demam diantaranya pada fase tertentu akan mengalami kenaikan suhu badan. Peristiwa itu juga saya analogikan terhadap taruhan eksistensi  nostalgia generasi jaman now tahun 2003 di daerah saya Pekalongan. Jadi saya ingin mengatakan sebelum Sampeyan mengutuk polah sering makan micinnya anak-anak jaman now tahun 2018 maka sepatutnya juga melihat tingkah di masa now-nya Sampeyan. Ada kejanggalan atau keanehan yang menyeruak yang tidak disadari juga sangat wagu jika dilihat oleh jaman old kala itu.

Seiring hitsnya lagu Risalah Hati milik Dewa pada tahun 2003 turut membuat atmosfer dunia percintaan anak muda semakin romantis saja. Persaingan masalah percintaan itu sangat wajar. Namun, tidak diuntungkan bagi mereka yang harus pupus karena faktor kalah bondho. Eh...jangan salah bondho itu sangat sakral dan mudah kebawa perasaaan (baper). Bisa jadi kalau keberuntungan dari bin (keturunan) ada gen tajir ya engga masalah. Fasilitas motor sudah lengkap tinggal mengurus jadwal tipe kendaraan yang akan dipakai hari itu. 

Jiwa petualangan pemuda juga tidak luput dari rasa kesandung lebih tepatnya kalah saingan atas sesuatu yang dimiliki. Meskipun lelah atas jalan hidupnya yang tidak mempunyai daya dengan langkah lemah lesu pemuda patah hati itu saat setelah pulang apel dengan sebuah nyanyian,
“Shogun bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski pun kau tak cinta...kepadaku”
 
Nyanyian satir itu ditujukan kepada gadis pujaannya yang lebih memilih seorang pemuda atas dasar mempunyai motor yang merupakan barang mewah dan dikampung saya. Kehadiran  bebek 4 Tak besutan dari Suzuki tersebut membawa energi yang luar biasa. Bentuk lampu segitiga sangat elegan, serta bodi yang ramping bisa menarik perhatian orang lain. Makanya ada tipe gadis ABG pada masa itu sangat senang sekali jika bisa mbonceng menggunakan helm proyek berwarna putih berstiker HuGoS Cafe Tempat Party Separty-partynya. 
Di tahun itu pula motor belum menjamur seperti sekarang. Kalau bukan anak dari seorang bos batik, atau seorang pedagang penyuplai beras keinginan naik motor  yang ada hanya isapan jempol belaka. Tentunya bagi seorang gadis yang mempunyai keinginan untuk eksis dipergaulan maka atas keadaan ini menerima dengan lapang dada. Jika memang ada pemuda sedang dalam misi PDKT meskipun secara tampang tidak ada yang spesial, maka keadaan fasilitas penunjang seperti motor menjadi pertimbangan yang berat sebelah.Saya juga terkadang juga sempat no comment atas fenomena tersebut. Bungkamnya saya pun tidak serta merta takut salah mengatakan sesuatu, akan tetapi saya masih belum bisa sadar atas respon melongo melihat motivasi keduanya. Bahwasanya yang ada sekarang itu tidak berati sesuatu hasil yang diusahakan, melainkan posisi mereka adalah masih tahap proses menuju kehidupan. Seharusnya juga tidak mudah bisa haha...hihi...sedang posisi masa depan masih dalam awang-awang. Saya pun tidak akan turut memaksakan orang lain harus sependapat, karena memang menasehati seseorang yang sedang jatuh cinta adalah sebuah kekonyolan belaka.

Rumus menjadi anak gaul sangat simpel. Dandan pakaian yang berwarna jreng stabilo hijau atau ada variasi 3 warna merah hijau dan kuning kalau berdiri di pinggir jalan mirip lampu bangjo, ewhahahaa...Praktisnya telebih dengan uang 25 ribu bisa membeli helm proyek putih dan stiker 2 ribu rupiah yang bertuliskan HuGoS Cafe saat itu sangat marak diminati. Memantaskan diri ditatanan sosial agar podo karo liane menggunakan 2 jurus jitu tersebut cukup ampuh dalam kategori gadis kodya yang suka gaul, hang out bareng gank dan coker-coker kece.
Mengenai resolusi pengetahuan tentang HuGoS Cafe secara mendalam mereka mempunyai nilai 0 mutlak tentang isi ruang kafe. Tahu persis letaknya kafenya pun tidak tahu apalagi  tentang kebiasaan pengunjung serta bentuk minuman yang disajikan di kafe tersebut. Sedangkan, kalau orang awam sempat membaca Tempat Party Separty-partynya di bawah logo HuGoS Cafe sangat boleh baginya berprasangka baik kalau stiker itu merupakan merchadise seusai masuk dari kafe itu. Meski keadaan realitanya sangat bertolak belakang.  Menurut hemat saya jaman old dan now itu hanya batasan waktu,subyek penilainya yang terpenting adalah filterisasi tren menghadapi peradaban yang semakin jauh dari tatanan budaya lokal setempat.



Pilihan Ganda

Kebiasaan memilih sudah saya alami semenjak pendidikan dasar. Ada proses pemilahan di antara beberapa jawaban yang tersedia. Dari pemaparan tersebut siswa diberikan kewenangan memilih jawaban yang dianggapnya benar.

Pilihan ganda menjadi makanan yang disajikan disaat ulangan catur wulan saat itu. Memang pilihan ganda membuat siswa merasa terbantu menemukan jawaban. Dari yang semula tahu semakin yakin. Dari yang lupa menjadi ingat karena memang sudah tersedia jawaban yang benar. Begitu pula yang tidak tahu jawaban dari soal yang disajikan. Meskipun telah tersedia jawaban yang benar, tetap kurang yakin bahkan salah dalam memilih jawabannya. Lika-liku pilihan ganda memerlukan persiapan belajar padahal tugas utamanya hanya sekedar memilih jawaban.

Pola pengecualian dari seluruh soal juga diberikan. Biasanya mempunyai kapasitas jumlahnya lebih kecil. Umpanyanya apabila jumlah soal pilihan gandannya 30 soal, pola pengecualian hanya 5% atau sekitar 6 soal. Pola ini umumnya pola identifikasi masalah. Dari hasil pemaparan identifikasi adalah jawaban tinggal para siswa memilih pengecualian dari beberapa jawaban yang benar.

Kebiasaan memilih jawaban yang benar semakin berlanjut ke tingkat pendidikan selanjutnya. Sebagai masyarakat awam saya mengamati kecenderungan bentuk soal pilihan ganda menjadi tradisi pendidik kepada para kaum terdidik. Dari seorang manajer kepada karyawan dan sebagainya.

Ada dampak kehidupan sosial ketika para kaum terdidik terjun di lingkungan masyarakat. Pola memilih sesuatu benar terhadap masalah, menjadi tolok ukur pilihan jawaban yang dianggapnya telah sesuai dengan jawaban kebenaran. Terlebih apabila kaum terdidik tersebut berkumpul dengan rekan kaum pendidik yang memberikan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan masyarakat. Sedang hubungan pendekatan emosi, religi, tradisi serta geografi dan aspek lain tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.

Akhirnya kreatifitas memberikan alternatif jalan keluar dari permasalahan masyarakat menjadi mandek, buntu dan melahirkan babak masalah baru.

Ah, sepertinya soal pola pilihan ganda harus ada batasan. Perberlakuan itu khususnya bagi mereka yang disiapkan menjadi seorang penjawab masalah-masalah bangsa dengan kreatifitasnya sebagai makhluk Pancasila.

Nabung dan Kredit

Memulai kebiasaan menabung dari kecil cukup baik dibandingkan dengan mendidiknya sebagai pelaku konsumtif. Di sekolah, pendidikan menabung biasanya mulai diterapkan. Beruntung jika guru Sekolah Dasarnya bisa telaten menjadi fasilitator keperluan tersebut.

Meski pada prakteknya kebiasaan menabung bukan esensi menyisikan uang saku siswa, melainkan program menabung orang tua kepada wali murid yang pada akhir semester itu bisa diminta saldonya. Namun, itu semua bukan menjadi masalah mendasar. Seperti halnya menyuruh anak menyerahkan uang ke dalam kotak infaq masjid. Dari itu semua hal mengajarkan pendidikan kebaikan sejak kecil.

Seiring dengan perkembangan anak, pendidikan menabung masih berlanjut. Lembaga keuangan juga menerbitkan produk penyimpanan tabungan untuk anak-anak dengan berbagai fasilitas. Di antaranya kepemilikan resmi buku tabungan miliknya meski dibawah usia 12 tahun. Selain itu aneka hadiah langsung sebagai urutan beberapa pendaftar yang ditentukan oleh bank. Tidak lain anjuran tersebut sebagai tongkat estafet dari pakar pendidikan yang dilirik oleh pakar ekonomi perbankan dan itu menurut saya sah-sah saja.

Beranjak seorang anak menjadi remaja bahkan ketika dewasa, program dari lembaga keuangan seolah mengalami perubahan. Memaknai seolah, berarti saya belum tentu mencapai kesesuaian penuh terhadap realitas data studi program lembaga keuangan yang masih menekankan produk tabungan. Pendekatan yang saya pakai adalah antara hubungan menguntungkan antara dua belah pihak yakni nasabah dan lembaga keuangan dalam mengatasi kebutuhan modal pada umumnya kepeluan lain pada khususnya.

Hal yang mengena pada diri saya ketika pamflet tawaran pinjaman uang berada di atas mesin atm. Tentunya penunjukan produk pinjaman tersebut ditawarkan kepada mereka kaum dewasa yang dulunya diajari untuk rajin menabung. Sangat kentara fungsi dasar dualisme lembaga keuangan ini mencokol pada beberapa proses antara menerima dan menyalurkan penerimaan keuangan.

Pinjaman uang tersebut layaknya bukan halnya sebagai aurat yang sebenarnya ditutupi sebagaimana cara pencapaian kebutuhan yang menurut saya adalah sebuah kerahasiaan. Sedangkan demi mengejar proses target pinjaman, segala cara dilakukan hingga menawarkan pinjaman di tempat terbuka.
Cerita hemat pangkal kaya bagi anak-anak merubah paradigmanya dari akibat iklan pinjaman uang 30 menit cair. Sejenak dan sedangkal itu hanya pandangan subyektif saya dan tidak diyakini untuk dibenarkan.