Pemerintah secara resmi menaikkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pelayanan administrasi bersifat PNBP,
antara lain Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM),
Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Tanda Nomor Kendaraan Bermotro (TNKB)
dan Surat Izin Senjata Api dan Bahan Peledak.
Menyikapi kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah menjadi bahan renungan bagi kita
semua. Begitu menjamurnya kendaraan roda 2 dan 4 yang bisa merubah paradigma
strata sosial di masyarakat. Peningkatan tersebut terasa seiring banyaknya
peminat kendaraan serta didukung oleh kemudahan akses kepemilikan berupa
lembaga finansial seperti leasing yang juga berkembang secara signifikan. Pada
akhirnya leasing turut memeriahkan demi mengejar jenjang sosial masyarakat yang
prematur dan terkesan dipaksakan. Tindakan saling mempengaruhi antara penjual
dan lembaga finansial bagaikan simbiosis mutualisme dalam menerobos pangsa
pasar otomotif nasional. Bagi pembeli pada tingkatan sedang maupun ke bawah
beban angsuran demi angsuran mencekik pendapatan sebagai tanggungan yang
dipikul ditiap bulannya.
Pangsa pasar meningkat karena ada permintaan dari konsumen yang berpotensi sebagai dampak industri besar-besaran. Secara faktual bahwa seluruh lapisan masyarakat sangat menggemari berbagai jenis kendaraan. Bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah kendaraan roda 2 menjadi primadona. Antusiasme masyarakat desa tercermin, apabila pihak perusahaan kendaraan mengeluarkan tipe model terbaru yang bisa berganti menyesuaikan tren yang berkembang saat itu. Kalangan menengah mencoba sedikit demi sedikit merangkak mencicil dana pertama sebagai angsuran memiliki roda empat yang apabila sudah memenuhi persyaratan leasing maka diajukannya kredit mobil sebagai modalitas setelah kendaraan roda dua. Pemandangan serupa tidak kalah menariknya bagi kalangan atas karena kalangan dibawahnya sudah mendominasi wilayah kepemilikan stratanya. Mau tidak mau pada akhirnya meng-upgrade kondisi mobilnya baik dari kemampuan kapasitas mesin ataupun mereknya. Seharusnya masyarakat juga memikirkan agar tidak selalu tergantung dengan kendaraan bermotor dan mengikuti aliran tren otomotif yang hadir di layar kaca. Coba renungkan kembali, di negara pembuatnya (Jepang), masyarakatnya lebih setia dengan bersepeda. Bahkan sekaliber prosfesor pun masih setia dengan budaya sepeda meski hanya untuk jarak dekat. Pada prinsipnya mereka tidak terlalu ingin hidup dengan penuh gaya konsumtif seperti di negara kita, tidak hanya itu cara memandang tingkat strata masyarkat tidak hanya keberhasilan materi yang dicapai melainkan sisi kebagaiaan yang mereka inginkan, sedangkan untuk bahagia mereka tidak melalui cara hidup yang penuh kemewahan, itu potret masyarakat Jepang yang dikategorikan negara maju.
Pertemanan saya di facebook sebagai penggemar sepeda, dapat mengubah cara berfikir. Bahwa tidak selamanya mesin itu membuat kita lebih mudah, bahkan berpotensi menjadi sampah perkotaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta sangat jalan raya didominasi berbagai kendaraan yang melintas. Begitu ramainya kota-kota besar di pulau jawa juga terjadi hal serupa semaikin tahun jumlahnya seakan menjamur. Keadaan seperti ini, berpotensi wilayah kabupaten di seluruh Pulau Jawa akan terjadi permasalahan sosial yang diakibatkan karena dampak budaya berotomotif ria dari semua kalangan masyarakat. Akibatnya akses jalan raya semakin dipenuhi banyaknya pengguna kendaraan. Status sebagai pelajar semakin mudah memiliki sepeda motor, karena tren menggunakan sepeda motor ke sekolah sudah mulai ditahun 2000-an. Bayangkan saja apabila setiap satu sekolah berjumlah 1000 siswa. Apabila 75% menggunakan kendaraan roda dua berarti sudah 750 motor yang keluar dari rumah. Sehingga puncak kemacetan terjadi pada saat pagi hari disaat aktivitas pelajar dan pekerja dimulai diwaktu yang sama. Selain itu terjadi pada sore hari hari di titik keramaian seperti di persimpangan atau jalur trafic light. Dampak lain yang dapat dirasakan mengenai buruknya kualitas udara yang berada di jalur kemacetan. Untuk alat ukur tingkat polusi di sudut perkotaan masih belum terpasang sehingga masyarakat juga tidak bisa mengakses secara realtime kondisi udara yang mereka hirup setiap melewati jalur kemacetan.
Pangsa pasar meningkat karena ada permintaan dari konsumen yang berpotensi sebagai dampak industri besar-besaran. Secara faktual bahwa seluruh lapisan masyarakat sangat menggemari berbagai jenis kendaraan. Bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah kendaraan roda 2 menjadi primadona. Antusiasme masyarakat desa tercermin, apabila pihak perusahaan kendaraan mengeluarkan tipe model terbaru yang bisa berganti menyesuaikan tren yang berkembang saat itu. Kalangan menengah mencoba sedikit demi sedikit merangkak mencicil dana pertama sebagai angsuran memiliki roda empat yang apabila sudah memenuhi persyaratan leasing maka diajukannya kredit mobil sebagai modalitas setelah kendaraan roda dua. Pemandangan serupa tidak kalah menariknya bagi kalangan atas karena kalangan dibawahnya sudah mendominasi wilayah kepemilikan stratanya. Mau tidak mau pada akhirnya meng-upgrade kondisi mobilnya baik dari kemampuan kapasitas mesin ataupun mereknya. Seharusnya masyarakat juga memikirkan agar tidak selalu tergantung dengan kendaraan bermotor dan mengikuti aliran tren otomotif yang hadir di layar kaca. Coba renungkan kembali, di negara pembuatnya (Jepang), masyarakatnya lebih setia dengan bersepeda. Bahkan sekaliber prosfesor pun masih setia dengan budaya sepeda meski hanya untuk jarak dekat. Pada prinsipnya mereka tidak terlalu ingin hidup dengan penuh gaya konsumtif seperti di negara kita, tidak hanya itu cara memandang tingkat strata masyarkat tidak hanya keberhasilan materi yang dicapai melainkan sisi kebagaiaan yang mereka inginkan, sedangkan untuk bahagia mereka tidak melalui cara hidup yang penuh kemewahan, itu potret masyarakat Jepang yang dikategorikan negara maju.
Pertemanan saya di facebook sebagai penggemar sepeda, dapat mengubah cara berfikir. Bahwa tidak selamanya mesin itu membuat kita lebih mudah, bahkan berpotensi menjadi sampah perkotaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta sangat jalan raya didominasi berbagai kendaraan yang melintas. Begitu ramainya kota-kota besar di pulau jawa juga terjadi hal serupa semaikin tahun jumlahnya seakan menjamur. Keadaan seperti ini, berpotensi wilayah kabupaten di seluruh Pulau Jawa akan terjadi permasalahan sosial yang diakibatkan karena dampak budaya berotomotif ria dari semua kalangan masyarakat. Akibatnya akses jalan raya semakin dipenuhi banyaknya pengguna kendaraan. Status sebagai pelajar semakin mudah memiliki sepeda motor, karena tren menggunakan sepeda motor ke sekolah sudah mulai ditahun 2000-an. Bayangkan saja apabila setiap satu sekolah berjumlah 1000 siswa. Apabila 75% menggunakan kendaraan roda dua berarti sudah 750 motor yang keluar dari rumah. Sehingga puncak kemacetan terjadi pada saat pagi hari disaat aktivitas pelajar dan pekerja dimulai diwaktu yang sama. Selain itu terjadi pada sore hari hari di titik keramaian seperti di persimpangan atau jalur trafic light. Dampak lain yang dapat dirasakan mengenai buruknya kualitas udara yang berada di jalur kemacetan. Untuk alat ukur tingkat polusi di sudut perkotaan masih belum terpasang sehingga masyarakat juga tidak bisa mengakses secara realtime kondisi udara yang mereka hirup setiap melewati jalur kemacetan.
Goweser menjadi gerakan sunyi diantara merebaknya geliat industri otomotif
yang berkorelasi dengan kondisi Sumber Daya Alam yang terkuras sedemikian
pesatnya. Goweser atau penggemar sepeda melalui komunitasnya berkembang melalui
akses media sosial meskipun mereka memulai aktifitasnya di akhir pekan. Tingkat
motivasi para goweser lebih sebagai olah raga yang bersifat wisata atau lebih
menghilangkan penat aktifitas kesehariannya. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa bersepeda sebagai sarana alternatif menikmati perjalanan
selain menggunakan kendaraan bermotor. Kerisauan terjadi sebagai bentuk
kepedulian terhadap banyaknya kendaraan bermotor dan modalitas alat
transportasi berupa sepeda semakin ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.
Selain itu permasalahan lain berakibat dengan ketersediaan Sumber Daya Alam berupa
minyak bumi bagi generasi mendatang. Hubungan
dengan keadaan perekonomian untuk saat ini, semakin tinggi permintaan industri
otomotif, bagi pemerintah sangat mudah menekan kebijakan yang berhubunagan
tarif regulasi, pajak dan BBM. Andaikan harga BBM yang sudah dipatok dengan
harga tinggi bagi goweser akses transportasi tidak menutup kemungkinan bisa
secara langsung berpindah menggunakan sepeda. Bagi mereka gerakan sunyi sebagai
seorang agen menyuarakan bebas polusi karena kendaraan sudah tertanam melalui
kegiatan berolah raga selain itu dampak lain yang dapat dirasakan yaitu sebagai
kepedulian penghematan sumber energi berupa minyak yang dieksploitasi secara
besar-besaran, guna memenuhi kebutuhan berkendara.
Sebagai rakyat sekaligus masyarakat yang turut memperhatikan gaya
pemerintah yang memberikan kebijakan mengenai pajak ataupun pungutan lain. Rumusnya
sangat mudah, sesuatu yang bersifat banyak akan berpotensi menjadi pendapatan
negara. Pada era tahun 80-90 an pengguna sepeda atau sejenisnya sangat
banyak. Momen tersebut dimanfaatkan pemerintah dengan menarik biaya entah akan masuk
pajak ataupun non pajak. Untuk saat ini goweser masih bisa tersenyum riang
karena pemilik sepeda tidak dibebankan biaya apapun dari pemerintah dalam tiap
tahunnya. Akankah ini akan bertahan atau kembali ke tahun 80-90 an jika gerakan
sunyi ini sukses merubah pola hidup masyarakat?
Entahlah, semoga tidak terjadi demikian.
Entahlah, semoga tidak terjadi demikian.
No comments:
Post a Comment