Kali ini tidak akan
menyebutkan mengenai literatur penjelasan tiap kata dalam sebuah judul, karena
setiap orang bisa mendefinisikan sebuah istilah menurut pemahaman, kepentingan
serta sampai atau tidaknya dari sesuatu yang dimaksudkan. Termasuk seperti
tingkah laku manusia yang setiap pagi bercermin sebelum bekerja, lalu tidak
mengetahui esensi perubahan tingkah laku manusia itu sendiri. Mementingkan
pembenahan dalam bentuk fisik yang hanya sebagai kamuflase topeng membohongi
bahkan membahayakan bagi siapa saja yang berada didekatnya. Lain halnya pak
tani menyapa sawahnya tanpa menggunakan alas kaki, sebagai bentuk penghormatan
laku dekat dengan alam. Baik bentuk rupa tidak terlalu diperhatikan baginya,
hanya harapan begitu dekat kepada pemilik musim agar panennya bisa sempurna.
Tolok ukur persamaan keduanya hanya rasa tulus, kemurnian dari dasar abdi dalem
seorang hamba sepenuhnya menuju tempat kembali yaitu kesejatian.
Barangkali disaat kita
melihat balita sedang asyik makan roti dipinggir jalan dengan posisi berdiri
menunggu kereta api lewat sudah bukan tindakan yang merujuk kepada tindak
ketidaksopanan. Bahkan semua orang dewasa memakluminya atas keterbatasan akal
balita tersebut yang belum sampai tingkatnya, adapun apabila cara makan itu terjadi
dan sesuai dengan norma kesopanan, hanya sebatas perintah dari orang dewasa
tanpa mengetahui maksud yang disampaikan. Berjalannya usia manusia bertambah
pengalaman, mengenal satu sama lain berinteraksi berbagai jenis sifat manusia,
berbagai sifat dikenal mulai meniru gaya-gaya kebaikan dan meninggalkan
tingkah-tingkah yang dianggap melebihi batas kewajaran manusia. Kalangan
individu yang berkumpul di sebuah tempat yang disebut sebagai masyarakat
menyandangnya sebagai manusia dalam batas nilai kewajaran.
Lantas etika mereka
disaat berada di simpang perempatan bersama dengan teman seumuran menyanyi mengaku
sebagai anak yang dilindungi undang-undang namun dibiarkan begitu saja. Mereka
dianggap sebagai sampah masyarakat yang hanya sebatas anak kaum papa bahkan
asal keluarganya pun merasa malu atas tingkah laku kerabatnya. Penilaian
manusia hanya sebatas jangkauan penglihatan yang bisa menerka dan memberikan
simpulan sementara. Masyarakat tidak mengedepankan rasa keprihatinan tentang
cita-cita luhur yang keluar dari hatinya. Faktor keadaan bisa jadi semuanya
bisa menghancurkan harapan hidup baginya, lalu menjadi korban frustasi membutuhkan
pelarian. Oleh karena keadaan itu sudah mencapai kronik bahkan semangat untuk
mencapai kesembuhan pun tidak ada, bahkan mereka sudah menyeru bahwa semua itu
tidak bisa disembuhkan.
Bagi yang
menganggap sebelah mata atas keadaan mereka yang berada di batas kewajaran
manusia patut diberi apresiasi bahkan nobel dengan tulisan “Sepatutnya Anda
Bersyukur”, dengan keadaan orang tua yang harmonis, berkecukupan, bisa
mengantarkan Anda menjadi manusia dengan predikat mencapai batas kewajaran.
Biarkan kami menyandang manusia bagaikan sampah masyarakat yang buta akan
etika, perilaku bahkan sering melakukan hal-hal sembrono, pada dasarnya
kami hanya mencari perhatian atas sesuatu perlindungan yang seharusnya layak
kami terima.
Kegelisahan bagi seorang pemimpin mempertahankan sebuah kedudukan, jabatan,
pangkat atau sesuatu yang bisa memberikan nilai lebih serta mempunya kuasa
terhadap kebijakan. Atas semua itu lalu mereka merasa menjadi orang yang
penting atas kehadirannya bahkan merasa paling berjasa mengubah pola-pola
perubahan yang mendasar.
Segala sesuatu
sebagai tempat yang mengenakkan bagi pimpinan adalah yang bisa mendatangkan
kesenangan yang bersifat sementara, kamuflase dunia berupa gurun-gurun emas
kemudian menjebaknya dalam memutuskan perkara antara hitam dan putih,
kemaslahatan dan kemudhorotan, golongan dan rakyat pada akhirnya melanggar
sumpah serapah atas pelantikannya. Mempertahankan agar tetap berada dalam
posisi nyaman bgi dirinya sedangkan hakikat tugas dikesampingkan. Barometer
langkah diantara rugi dan untung sampai disaat memberikan persetujuan tanda
tangan harus menghasilkan keuntungan baginya. Hati yang terlampui batas nikmat
lalu rasa membedakan segala sesuatunya, aji mumpung dan aji untung sebagai
motto andalan sehari-hari.
Mulutnya tertutup rapat
terkunci atas lobi-lobi dan kesepakatan intern mengabaikan kemurnian keputusan
membedakan hitam dan putih atau mengaduknya dalam pengatasnamaan legalisasi.
Bibir enggan bergerak semakin kaku mengucap kebenaran. Budaya pendekatan
semakin bergairah kembali, merebak, lalu tanah-tanah kejujuran semakin terkikis
tipis. Terasa sudah aman dinaungi berbagai kawanan yang melakukan hal yang sama
bahkan para tengkulak-tengkulak jabatan membentengi atas slentingan apabila informasi itu merembes keluar.
Jarum waktu tetap
berjalan layaknya pergantian siang dan malam, kuasa-kuasa hebat akan
tergantikan oleh birokrasi yang berbeda dalam konteks maksud agar pelantikan
itu segera dimulai. Memenangkan tradisi pesta demokrasi secara paksa dihadirkan
wakil-wakil atas permintaan dari kendaraan yang bernama partai. Sedang sepak
terjang pengetahuan rakyat menilai kredibilitas mereka, dikaburkan oleh program
tim sukses di saat fajar menyingsing.
Elemen perangkat birokrasi
mulai sama-sama goyah diantara kekosongan pemimpin mereka. Diam-diam membawa
misi mendukung diantara mereka yang dirasa akan memenangkan percaturan politik.
Kunjungan ke rumah kandidat tak sekedar aksi silaturahmi, melainkan memberikan
dukungan agar bisa sama-sama membangun kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan pidatonya
saat konferensi pers menjelang
kampanye. Strategi yang sangat ampuh sebagai kutu loncat mencari kedamaian
diantara pergantian pemimpin menyelamatkan jabatan agar tetap terjaga bahkan
bisa naik tingkatannya.
Pengumpulan strategi dirancang
sembari melirik ke kanan dan ke kiri, berharap tidak ada orang lain yang ingin
mengisi kursi empuknya. Kalaupun ada rival, tentunya masih banyak jalan ke
Roma, membuat tawaran-tawaran menggiurkan atas sesuatu yang disepakati,
pembagian prosentase sebagai timbal balik atas rasa aman tersebut. Kegelisahan
pemimpin karena enggan turun melucuti seragam kebesaran, merasa malu
bertelanjang atas kembalinya manusia sebagai orang biasa. Rasa selalu dihormati
bahkan disegani ternyata membutakan segalanya memilih jalan meskipun harus
berpeluh keringat melewati jalur yang bukan sebagaimana mestinya.
No comments:
Post a Comment