Monday, 16 January 2017

Etika “Kemrungsung” Seorang Pemimpin

Kali ini tidak akan menyebutkan mengenai literatur penjelasan tiap kata dalam sebuah judul, karena setiap orang bisa mendefinisikan sebuah istilah menurut pemahaman, kepentingan serta sampai atau tidaknya dari sesuatu yang dimaksudkan. Termasuk seperti tingkah laku manusia yang setiap pagi bercermin sebelum bekerja, lalu tidak mengetahui esensi perubahan tingkah laku manusia itu sendiri. Mementingkan pembenahan dalam bentuk fisik yang hanya sebagai kamuflase topeng membohongi bahkan membahayakan bagi siapa saja yang berada didekatnya. Lain halnya pak tani menyapa sawahnya tanpa menggunakan alas kaki, sebagai bentuk penghormatan laku dekat dengan alam. Baik bentuk rupa tidak terlalu diperhatikan baginya, hanya harapan begitu dekat kepada pemilik musim agar panennya bisa sempurna. Tolok ukur persamaan keduanya hanya rasa tulus, kemurnian dari dasar abdi dalem seorang hamba sepenuhnya menuju tempat kembali yaitu kesejatian.

Barangkali disaat kita melihat balita sedang asyik makan roti dipinggir jalan dengan posisi berdiri menunggu kereta api lewat sudah bukan tindakan yang merujuk kepada tindak ketidaksopanan. Bahkan semua orang dewasa memakluminya atas keterbatasan akal balita tersebut yang belum sampai tingkatnya, adapun apabila cara makan itu terjadi dan sesuai dengan norma kesopanan, hanya sebatas perintah dari orang dewasa tanpa mengetahui maksud yang disampaikan. Berjalannya usia manusia bertambah pengalaman, mengenal satu sama lain berinteraksi berbagai jenis sifat manusia, berbagai sifat dikenal mulai meniru gaya-gaya kebaikan dan meninggalkan tingkah-tingkah yang dianggap melebihi batas kewajaran manusia. Kalangan individu yang berkumpul di sebuah tempat yang disebut sebagai masyarakat menyandangnya sebagai manusia dalam batas nilai kewajaran.

Lantas etika mereka disaat berada di simpang perempatan bersama dengan teman seumuran menyanyi mengaku sebagai anak yang dilindungi undang-undang namun dibiarkan begitu saja. Mereka dianggap sebagai sampah masyarakat yang hanya sebatas anak kaum papa bahkan asal keluarganya pun merasa malu atas tingkah laku kerabatnya. Penilaian manusia hanya sebatas jangkauan penglihatan yang bisa menerka dan memberikan simpulan sementara. Masyarakat tidak mengedepankan rasa keprihatinan tentang cita-cita luhur yang keluar dari hatinya. Faktor keadaan bisa jadi semuanya bisa menghancurkan harapan hidup baginya, lalu menjadi korban frustasi membutuhkan pelarian. Oleh karena keadaan itu sudah mencapai kronik bahkan semangat untuk mencapai kesembuhan pun tidak ada, bahkan mereka sudah menyeru bahwa semua itu tidak bisa disembuhkan.

Bagi yang menganggap sebelah mata atas keadaan mereka yang berada di batas kewajaran manusia patut diberi apresiasi bahkan nobel dengan tulisan “Sepatutnya Anda Bersyukur”, dengan keadaan orang tua yang harmonis, berkecukupan, bisa mengantarkan Anda menjadi manusia dengan predikat mencapai batas kewajaran. Biarkan kami menyandang manusia bagaikan sampah masyarakat yang buta akan etika, perilaku  bahkan sering melakukan hal-hal sembrono, pada dasarnya kami hanya mencari perhatian atas sesuatu perlindungan yang seharusnya layak kami terima.

Kegelisahan bagi seorang pemimpin mempertahankan sebuah kedudukan, jabatan, pangkat atau sesuatu yang bisa memberikan nilai lebih serta mempunya kuasa terhadap kebijakan. Atas semua itu lalu mereka merasa menjadi orang yang penting atas kehadirannya bahkan merasa paling berjasa mengubah pola-pola perubahan yang mendasar.

Segala sesuatu sebagai tempat yang mengenakkan bagi pimpinan adalah yang bisa mendatangkan kesenangan yang bersifat sementara, kamuflase dunia berupa gurun-gurun emas kemudian menjebaknya dalam memutuskan perkara antara hitam dan putih, kemaslahatan dan kemudhorotan, golongan dan rakyat pada akhirnya melanggar sumpah serapah atas pelantikannya. Mempertahankan agar tetap berada dalam posisi nyaman bgi dirinya sedangkan hakikat tugas dikesampingkan. Barometer langkah diantara rugi dan untung sampai disaat memberikan persetujuan tanda tangan harus menghasilkan keuntungan baginya. Hati yang terlampui batas nikmat lalu rasa membedakan segala sesuatunya, aji mumpung dan aji untung sebagai motto andalan sehari-hari.

Mulutnya tertutup rapat terkunci atas lobi-lobi dan kesepakatan intern mengabaikan kemurnian keputusan membedakan hitam dan putih atau mengaduknya dalam pengatasnamaan legalisasi. Bibir enggan bergerak semakin kaku mengucap kebenaran. Budaya pendekatan semakin bergairah kembali, merebak, lalu tanah-tanah kejujuran semakin terkikis tipis. Terasa sudah aman dinaungi berbagai kawanan yang melakukan hal yang sama bahkan para tengkulak-tengkulak jabatan membentengi atas slentingan apabila informasi itu merembes keluar.

Jarum waktu tetap berjalan layaknya pergantian siang dan malam, kuasa-kuasa hebat akan tergantikan oleh birokrasi yang berbeda dalam konteks maksud agar pelantikan itu segera dimulai. Memenangkan tradisi pesta demokrasi secara paksa dihadirkan wakil-wakil atas permintaan dari kendaraan yang bernama partai. Sedang sepak terjang pengetahuan rakyat menilai kredibilitas mereka, dikaburkan oleh program tim sukses di saat fajar menyingsing.

Elemen perangkat birokrasi mulai sama-sama goyah diantara kekosongan pemimpin mereka. Diam-diam membawa misi mendukung diantara mereka yang dirasa akan memenangkan percaturan politik. Kunjungan ke rumah kandidat tak sekedar aksi silaturahmi, melainkan memberikan dukungan agar bisa sama-sama membangun kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan pidatonya saat konferensi pers menjelang kampanye. Strategi yang sangat ampuh sebagai kutu loncat mencari kedamaian diantara pergantian pemimpin menyelamatkan jabatan agar tetap terjaga bahkan bisa naik tingkatannya.


Pengumpulan strategi dirancang sembari melirik ke kanan dan ke kiri, berharap tidak ada orang lain yang ingin mengisi kursi empuknya. Kalaupun ada rival, tentunya masih banyak jalan ke Roma, membuat tawaran-tawaran menggiurkan atas sesuatu yang disepakati, pembagian prosentase sebagai timbal balik atas rasa aman tersebut. Kegelisahan pemimpin karena enggan turun melucuti seragam kebesaran, merasa malu bertelanjang atas kembalinya manusia sebagai orang biasa. Rasa selalu dihormati bahkan disegani ternyata membutakan segalanya memilih jalan meskipun harus berpeluh keringat melewati jalur yang bukan sebagaimana mestinya.

No comments:

Post a Comment