Wednesday, 18 January 2017

Cinta di Negeri Tembakau

Bermula dari sebuah update foto profil dari sebuah aplikasi perpesanan, teman Dharma yang sudah dikenal akrab memberikan pesan bahwa fotonya sudah diberikan kepada teman perempuan di negeri tembakau. Terasa disambar petir di siang bolong, tingkah nyeleneh temen Dharma sudah dikenalnya semenjak masa sekolah, semakin menjadi saja tatkala masih melihat temannya masih berada dalam kesendirian.
“Fotomu, sudah aku kirim ke temenku seorang perempuan” papar Rafael
“Kok kamu gak bilang dulu tho? Tau begitu tak kirim fotoku yang lebih banyak lagi” ujar Dharma sembari berkelakar

“Siapamu Raf”
“Teman satu kampung aku kenal kok tentang dia, kayaknya cocok sama kamu”
“Namanya siapa Raf?”
“Ohh...namanya dia Fernita sekarang masih bekerja di lembaga kemanusiaan”
“Nih aku kirimin fotonya ke kamu”
“Oya...Raf, penampilannya anggun dan kalem ya”
“Nanti tak kenalkan Dharma, tenang ajah”
“Wah terserah kamu lah Raf, hobi mu suka iseng gak ilang-ilang sampai sekarang”

Percakapan berakhir kala itu waktu siang sudah berganti agak sore, sebagai tanda aktifitas pekerjaan akan berakhir. Dharma masih berkutat bersama pekerjaan, terasa berbeda dengan hari biasanya. Terkesan lebih semangat dibenaknya Dharma seakan rasa percaya diri itu kembali bangkit menapaki jalan hidup.

Sebelum akhir pekan sebagai sejarah awal Dharma mencari beberapa akun media sosial yang bernama Fernita . Tidak begitu lama pencarian itu karena beberapa nama terdapat kesesuaian foto yang diberikan oleh Rafael. Mutually pertemanan juga bersamaan dengan Rafael, hal tersebut menguatkan dugaan Dharma atas real akunnya dari Fernita. Permintaan pertemanan pun dikirim oleh Dharma.

Rasa Ge eR Dharma menyeruat diantara tanda-tanda begitu cepat pertemanan itu diterima. Betapa bahagianya terungkap disaat memulai sebuah percakapan pertama dengan Fernita.
“Terima kasih udah di accept ”, Dharma membuka percakapan itu bersama Fernita
“Iyaa”, jawab singkat Fernita
“Apa benar ini temannya dari Rafael?”tanya kembali Dharma
“Iya..gimana?”
“Berarti gak salah orang”
“Iya...temennya sekolahnya Rafael ya?”
“Iya betul sekali”
“Salam kenal ya”
“Salam kenal juga”, Dharma membalas percakapan tersebut sembari membuka beberapa foto di galeri akun Fernita. 

Bukan lagi kemunafikan bahwasanya laki-laki untuk pertama kali meski bukan yang lebih utama melihat dari perempuan dari bentuk fisiknya. Memberikan pujian kepada Fernita sebatas rasa nyaman perkenalan melalui pandangan pertama yang Dharma kenal selama hidupnya. Rasa jujur perasaan itu terungkap mengalir begitu saja.

“Dik kamu cantik ya”, ucap Dharma tanpa rayuan menggiurkan.
“Perempuan”, kembali Fernita menjawabnya dengan singkat.
“Sedang apa sekarang?”
“Masih ngelembur di Kantor, meski hari sabtu tetap kerja karena pekerjaaan numpuk

Pertemanan dilanjutkan melalui percakapan singkat melalui massanger terasa ada kesesuaian kriteria antara keinginan Dharma kepada seorang perempuan. Beberapa bulan kemudian Fernita menceritakan mengenai kekasihnya yang cukup arogan. Sudah tidak tahan lagi kesabaran Fernita memuncak akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Dharma hanya sekedar mengetahui betapapun kegundahan Fernita betapa cukup menyisakan kesedihan.

Pertemanan melalui dunia maya kiranya sampai ada batasnya, keinginan itu dirasa oleh Dharma sekedar bermain ke rumah Fernita yang berada di Negeri Tembakau. Ada kesempatan yang tidak disepelekan begitu saja oleh Dharma, disaat ingin ke rumah Fernita teman sejawatnya pun turut membantu meluangkan waktunya.

“Jadi ke rumah mas?” tanya Fernita
“InsyaAllah jadi dek, ini lagi menuju ke sana, paling tidak nanti sore sampai”.
“Oh iya aku di rumah, nanti kalau sudah dekat rumah sms aja ya”
“Iya dek, nanti mas kabari”

Wardono teman lama yang sudah mengerti keadaan Dharma langsung menebak isi hati yang dirasakan Dharma. Setelah ke rumah Wardono kemudian Dharma bersamanya menuju ke rumah Fernita menjelang sore perjalanan itu ditempuh.

“Mau kemana sekarang Dhar?”tanya Wardono
“Aku ajak ke rumah temenku namanya Fernita”,
“Ohh, asyik tu calonmu Dhar?”
“Belum sih cuma sekedar teman, ini dikenalin oleh Rafael sudah 4 bulan yang lalu, ini mau maen ke rumahnya”
“Oh begiitu , okelah nanti kita ke sana”

Perjalanan hampir 2 jam berlalu dari rumah Wardono menuju ke Negeri Tembakau. Berbagai ejekan bernuansa guyon tertuju kepada Dharma atas pertemuan pertama bersama Fernita. Sore itu hujan menyambut diperjalanan menambah suasana syahdu diantara keramaian jalan pegunungan. Perasaan gembira bercampur dengan grogi melanda disaat hampir mendekati rumah Fernita. Namun suasana itu terpecah disaat  Fernita berada di depan rumah, betapa indah dan menyenangkan pertemuan ini, bagi Dharma.

“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”, jawab Fernita langsung menuju ke belakang. Saat itu pula Dharma diterima oleh ibunya Fernita. Tidak begitu lama Dharma memperkenalkan diri kepada ibu Fernita.
“Ibu saya temennya Fernita”
“Oya mas silakan duduk”
“Iyaa ibu terima kasih”

Dari arah belakang Fernita datang menuju ke ruang tamu menemui Dharma.

“Sudah sampai sini tho, gimana? sesuai dengan foto ku kan?”
“Iyaa sesuai kok”
“Dari rumah jam berapa mas?”
“ Kemaren sore sampai ke rumah Wardono semalam, biasa ngobrol bareng jarang ketemu sama dia”

“Oh ini temen satu sekolah juga bareng Rafael?”
“Iya betul dulu satu kosan kita makanya saking akrabnya, jarang ketemu mumpung ada waktu”

“Ohh iyaa...semacam kaya reunian ya kalian”
“Hhahaaha...iya begitulah kiranya”,  jawab Dharma.

“Kamu kalau berangkat ke kantor cukup jauh kah Nita?”
“Sekitar 15 menit kok mas gak terlalu jauh banget, hanya saja nanti aku pergi ke kota”

“Hmmm iya....”,Dharma sembari menikmati secangkir teh buatan Fernita.
“Alhamdulillah ya dek gak begitu jauh banget kamu dari rumah buat pergi ke kantor”

Obrolan semakin hangat bersama Fernita dan saling tukar pengalaman terhadap teman-teman Wardono yang mungkin ada yang saling mengenal diantara mereka. Sore berganti dengan senja maka pertemuan itu berakhir dengan sebuah perpisahan.

“Dek kok sudah mulai malam, aku tak pamitan dulu ya”
“Lha kok buru-buru mas?”
“Iyah soalnya sudah ditunggu oleh bus buat pulang”
“Oh begitu lha nanti yang anter kesana siapa?”

“Ini bareng sama Mas Wardono yang akan nganter kesana”
”Ya sudah hati-hati ya’
“Dek aku mau pamitan sama ibu”
“Bentar mas...aku panggilkan”, Fernita ke belakang menemui ibunya.

“Ibu...Saya mau pamitan dulu”
“Lha kok cepat-cepat nak?”
“Iya soalnya saya sudah ditunggu sama bus, ini sudah perjalanan menuju kota”
“Oh begitu...ya sudah kamu nanti hati-hati di jalan ya nak!”
“Iya bu terima kasih ya bu”

Dharma dan Wardono berpamitan kepada keluarga Fernita kemudian perjalanan dilanjutkan menuju kota sampai di pertigaan halte bus. Tak lama kemudian handphone Dharma berdering panggilan dari sopir bus.  Dharma segera memberitahu kepada Wardono bahwa dia harus segera berpamitan pulang.

“Don, aku pulang duluan ya...makasih banget atas semuanya”
“Oke sama-sama Dhar, InsyaAllah secepatnya kita ketemu”

Perpisahan itu pun terjadi saat Dharma melangkah masu ke bus menuju ke rumahnya. Diiringi gerimis disepanjang perjalanan, Dharma terasa bahagia bisa bertemu langsung dengan Fernita. Berbagai angan terus menggelayuti pikiran-pikiran Dharma hingga pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah pesan melalui aplikasi messanger berbunyi ternyata itu dari Fernita.
“Mas sudah sampai di rumah?”
“Iya dek alhamdulillah sudah sampai”. Jawab Dharma
“Makasih ya mas sudah maen ke rumah, nanti kalau ada waktu maen lagi ke sini”
“Oh iya dek InsyaAllah nanti maen lagi”

“Adek besok berangkat kerja kan?”
“Iya mas besok kerja seperti biasa”
“Ya udah adek sekarang buat istirahat saja”
“Iya, mas”

Hampir tiap minggu hubungan Dharma dengan Fernita berlanjut di atas massanger sungguh tidak ingin diharapkan bagi Dharma karena jarak bisa menjadi ujian pertemanan mereka. Andai saja jarak itu bukan menjadi halangan untuk berkomunikasi tentunya tidak harus mencari waktu yang tepat memisahkan waktu pekerjaan dan hari libur yang sama. Betapa sungguh tidak mungkin hal menyangkut pekerjaan berada dinomor sekian karena pekerjaan Dharma harus mengandalkan keberadaannya langsung dan tidak bisa diwakilkan. Tentunya ini menjadi kecewa yang sangat kecil terjadi di hati Dharma.

“Ya...Allah, jika itu menjadi kebaikan bagiku maka aku memohon mudahkanlah segala urusanku”

Berharap ada keajaiban yang terjadi disaat Dharma harus membicarakan lebih serius kepada ibunya. Disebuah kamar yang hening Dharma bersimpu menceritakan keadaan sebenarnya mengenai sesuatu yang disebut sebagai bentuk kewajaran sebagai manusia untuk berpasangan. Ibunya tersenyum memelas mendengar kabar itu mengisyaratkan betapa keseriusan itu ada bahwasanya langkahpun sudah mulai dijalankan atas sebuah usaha.

“Andaikan jarak itu menghadang, akankah ibu masih bisa merasakan perhatian darimu, Nak?”

Disaat Dharma mendengar ucapan dari mulut ibunya, seketika itu Dharma langsung diam seribu bahasa karena secara tersirat Dharma telah mengerti maksud yang diutarakan. Mulutnya kaku tidak bisa mengatakan sesuatu, kepalanya tertunduk  menikmati kesedian yang cukup mendalam karena jawban itu. Rasa diam itu pun tidak nampak dihadapan Ibunya. Tangan ibunya membelai kepala Dharma seakan memberikan kekuatan mental baginya. Tetap berdoa saja agar keadaan semuanya biar baik-baik saja.

Rasa pilu mendera disetiap malam saat tetap berkomunikasi dengan Fernita. Keinginan itu terasa bertolak belakang dengan kejadian yang ada. Kegagalan terus menghadang diantara langkah yang dilaluinya.

Perasaan masih tersimpan rapi dalam ruang yang sama, berharap agar Tuhan memberikan jalan keluar diantara rasa beda antara harapan dan kenyataan. Meski terlalu dini untuk bisa saling menguatkan rasa itu telah terjalin disaat pandangan pertama itu jatuh bersemi dalam ruang hati yang amat dalam. Terasa sangat berlebihan terus berujar yang membuaiakan angan, memang harus  Dharma sadari bahwa perasaan mengapa ada jika itu menyisakan rasa kesedihan.

Waktu pun berbicara di bulan awal pergantian tahun, Dharma menyadari keinginan perempuan adalah kepastian dari seorang laki-laki. Dharma pun hanya bisa berserah menyerahkan segala perasaan. Selama ini Dharma belum sepenuhnya memberikan kebahagiaan kepada Ferina. Tidaklah berarti keberadaan Dharma bagi kehidupan Ferina. Pengakuan terberat disaat Dharma harus bertahan disaat pesan massanger itu dari Fernita,

“Jangan pernah lagi memanggil aku berlebihan”


Perasaan Dharma langsung memberikan simpulan bahwa sekarang sudah ada laki-laki lain yang akan senantiasa menjaganya dan ternyata itu benar adanya.

foto :google.galih sedayu

No comments:

Post a Comment