Tadabbur daur #100
Sudah berapa tahun kita telah akrab
dengan istilah “Gak Patheken?”. Sebuah slogan yang menjadi jurus khatam diakhir
kepemimpinan besar di Negara Khatulistiwa. Sangat sulit bagi mereka menjelaskan
mengenai peristiwa di tahun 1998. Penjelasan sejarah mereka masih dalam koridor
sudut pandang yang mereka bawakan. Batasan mengenai latar belakang, hanya
berupa kejenuhan rakyat yang begitu mencapai puncaknya yang dikatakan sebagai
“menata kembali” atau reformasi. Sedangkan mengenai resolusi dhalang sesungguhnya hanya orang-orang
tertentu yang bisa menembus memaknai sebuah sejarah jauh lebih komprehensif,
terstruktur dan bukan sejarah yang dituliskan beberapa versi apalagi mempunyai
tendensi kepentingan publik.
pic: wayang google wordpress
Pola-pola gebrakan masih sama dan
cara-caranya yang ditempuh sama yaitu melupakan beberapa peradaban yang telah
berlalu dan menuai beberapa prestasi gemilang lalu ditenggelamkan atas jalannya
sendiri. Seperti perjuangan atlit di kancah dalam maupun luar negeri yang
mencapai puncaknya bertanding bahkan pujian terus berdatangan, akan keluar
rumah pun selalu dikawal bagaikan artis lapangan yang paling berarti bagi
negara. Perubahan drastis pun mereka rasakan disaat power syndrome atas dasar usia atau memang kemampuannya ada, sudah
tidak bisa di upgrade kembali. Lalu kemampuannya
dijegal berbagai cara yang seharusnya menyelamatkan kariernya malah nasibnya
tergantung bagaikan medali yang sudah tidak ada bebannya. Anaknya semakin tidak
meyakini bahwa mendiang bapaknya sangat pawai atas prestasinya tatkala itu
semua hanya kiasan dan ucapan jempol dari tulisan-tulisan kliping surat kabar
yang tertempel di tembok belakang piala. Kebanggaan anaknya tidak merefleksikan
tokoh pahlawan yang mengalir dalam latihan, memancar deras disaat bertanding
bahkan membeku disaat kedinginan tanpa sinar karier yang menghangatkan. Orang
tua dan sejarah mempunyai ikatan emosional agar bisa memaknai sesuatu meskipun
hanya sebatas penghargaan sekaligus mengilhami keadaan anaknya yang tidak serta
merta tercipta begitu saja.
Kembali lagi ke masa awal reformasi
yang dirasa sebagai model cara terbaru yang menghadirkan menu-menu terbaik
disajikan dalam sebuah sistem pemerintahan. Demokrasi adalah menu yang
ditawarkan sebagai pengejawantahan dari kelemahan sistem sebelumnya. Cara
pemilihan melalui perwakilan digantikan dengan cara langsung seakan menjadi
obat kedaulatan rakyat yang telah lama sakit berkepanjangan. Rakyatpun semakin
senang disaat ditawarkan obat yang diyakini sangat mujarab. Disaat obat itu
bekerja sistem lain pun bekerja perlahan dengan melakukan perubahan yang
mendasar yaitu melolosi Undang Undang Dasar 1945 melalui 4 kali amandemen.
Perlahan aset-aset negara dijual, propinsi bagian timur ada yang melepaskan
diri, krisis moneter, keadaan politik semakin kacau dan korupsi sekarang sudah tidak
terpusat melainkan sampai meracuni rakyat bahkan menjadi percontohan massal
diberbagai instansi baik negeri maupun swasta.
Sistem yang menonjolkan ke-aku-an atau
melebihkannya dan melabeli cara yang baru akan lebih baik justru menjadi racun
bagi kelangsungan hidup rakyat. Pemimpin baru, kabinet baru, sistem baru,
program baru dan irama kerja serba baru. Tatkala semua itu baru akan berjalan
maka sebenarnya tidak rugi apabila melihat spion yang sudah menorehkan
perjalanan. Tanpa mereka sadari telah sombong menganggapnya sebagai mata air di
tengah oase panggung kepemimpinan sedangkan mental sebenarnya hanyalah sebatas
fatamorgana yang membiaskan. Apalagi melahap mentah-mentah sistem tersebut yang tidak harus diterapkan secara keseluruhan yang menimbulkan masalah baru
yang merujuk hak-hak dasar manusia. Masyarakat awam pun merasa seperti
dibebaskan melalui kemudahan akses internet berbagai cara menyampaikan pendapat
meskipun tidak selalu menimbulkan konfik fisik. Dari cara menelaah makna sistem
sudah ada ketimpangan yang harusnya tidak tak terbatas dan bertanggungjawab
menjadi akses 24 jam tanpa batas sesuai hak dasar manusia. Akhirnya bak
kebakaran jenggot serta sadar bahwa batasan kewajaran sudah ditinggalkan. Untung
saja Negara Nasional Khatulistiwa masih bisa menghormati secara fisik mengenai
makna filosofi bendera, jika tidak mungkin sudah hilang pemaknaan dari sisi
historisnya.
Pemimpin kencing berdiri, bawahan
kencing berlari dan rakyat pun kencing sambil menari. Seni memimpin dikawal
melalui media sebagai peliput yang secara obyektif menelaah peristiwa telah berganti sebagai tim sukses perjuangan
dalam industri perpolitikan. Media sudah menjadi barometer menciptakan pamor,
kredibilitas ataupun eksistensi kualitas pemimpin yang sebenarnya tidak mutlak dilihat
sebagai apresiasi dengan Maha Kebenaran Publiknya. Gaya eksis bekerja merebak
ke lapangan yang diikuti oleh bawahan hingga aksi stuntman melompat pagar sebagai cara yang diajarkan atasan sebagai
bukti capaian pekerjaan lalu rakyat terus memberikan ucapan simpati sambil
menari seraya mengucapkan “Ini pemimpinku, bisa begini dan bisa begitu, mana
pemimpinmu yang hanya bisa merayu”. Kembali lagi rakyat hanya terpesona memperoleh
kejelasan pekerjaan yang meletup dipermukaan. Mereka tidak akan pernah
mengetahui deal-deal poltik dibalik
irama kerja yang mempunyai indikasi pro rakyat pun mereka tidak mengetahui
keberadaannya. Bahkan sebelum menjadi pemimpin disaat menjadi calon mereka
tidak mengetahui sepak terjang pendukung dibalik layar. Sedangkan penggempuran
asumsi-asumi pemberitaan semakin gencar berlomba-lomba bahkan memberikan
apresiasi. Muncul pandangan-pandangan rakyat yang mblinger melihat sesuatu dari kacamata publik atas pembenaran
media.
Kembali lagi mengenai sejarah atas
batasan-batasan media dalam menerangkan sesuatu hal mempunyai keterikatan atas
dasar pemersatu bangsa dan segenap rakyat di dalamnya. Dahulu apresiasi media
mengumpulkan para petani melihat keadaan masalah pangan dan kompleksitas
masalah pedesaan menjadi konsumsi masyarakat luas. Penghargaan sebagai rakyat
lebih besar bahkan menjadi motivasi generasi selanjutnya minimal sebagai
ensiklopedi informasi bagi akademisi di bidang pertanian. Sekarang sudah
ditinggalkan hanya demi pencapaian rating pemirsa media mengusung topik
kontroversi, maka rakyat kembali disibukan atas atas media yang pro dan kontra.
Kemudian mengenai tingkat kepercayaan masyarakat kepada media pun tidaklah
semurni atas dasar informasi melainkan kepentingan besar dibalik agen yang
mencengkram dari industri informasi global dan itu sudah menjadi rahasia publik
bagi yang menyadari hal itu.
Ibarat sebuah penyakit sudah mencapai
titik komplikasi dan yang sudah terjadi bersifat tidak dapat berdiri sendiri
artinya sangat dipengaruhi berbagai kejadian yang telah lampau. Ahli-ahli
sejarah sudah sangat lelah menuliskan peristiwa melalui rumus-rumus konsep
masalah. Untuk menentukan garis komprehensif dan variabel yang multi
dimensional bagi mereka sangatlah sulit apalagi masyarakat awam. Padahal
apabila mereka mau mempelajari masalah lalu dan mengabaikan rasa “ke-aku-an”
pengulangan langkah yang berakibat jatuh di lubang yang sama dapat dielakkan. Masyarakat
kembali tersungkur lalu terjebak dalam angan cita-cita terperosok terus bernyanyi
dengan jargon-jargon semangat melantangkan aksi revolusi. Masih belum sadar
masyarakat terus di nina bobokan atas kamuflase semangat membangun kemudian
mereka tidak mengetahui kepemilikan aset-aset pembangunan yang sebenarnya sedangkan
istilah pembangunan itu sendiri sudah mengalami konotasi makna yang mendasar.
No comments:
Post a Comment