Bermula dari sebuah update foto profil
dari sebuah aplikasi perpesanan, teman Dharma yang sudah dikenal akrab memberikan
pesan bahwa fotonya sudah diberikan kepada teman perempuan di negeri tembakau. Terasa
disambar petir di siang bolong, tingkah nyeleneh
temen Dharma sudah dikenalnya semenjak masa sekolah, semakin menjadi saja
tatkala masih melihat temannya masih berada dalam kesendirian.
“Fotomu, sudah aku kirim ke temenku
seorang perempuan” papar Rafael
“Kok kamu gak bilang dulu tho? Tau begitu tak kirim fotoku yang lebih banyak
lagi” ujar Dharma sembari berkelakar
“Siapamu Raf”
“Teman satu kampung aku kenal kok
tentang dia, kayaknya cocok sama kamu”
“Namanya siapa Raf?”
“Ohh...namanya dia Fernita sekarang
masih bekerja di lembaga kemanusiaan”
“Nih aku kirimin fotonya ke kamu”
“Oya...Raf, penampilannya anggun dan
kalem ya”
“Nanti tak kenalkan
Dharma, tenang ajah”
“Wah terserah kamu lah Raf, hobi mu suka
iseng gak ilang-ilang sampai
sekarang”
Percakapan berakhir
kala itu waktu siang sudah berganti agak sore, sebagai tanda aktifitas
pekerjaan akan berakhir. Dharma masih berkutat bersama pekerjaan, terasa
berbeda dengan hari biasanya. Terkesan lebih semangat dibenaknya Dharma seakan
rasa percaya diri itu kembali bangkit menapaki jalan hidup.
Sebelum akhir pekan
sebagai sejarah awal Dharma mencari beberapa akun media sosial yang bernama
Fernita . Tidak begitu lama pencarian itu karena beberapa nama terdapat
kesesuaian foto yang diberikan oleh Rafael. Mutually pertemanan juga bersamaan
dengan Rafael, hal tersebut menguatkan dugaan Dharma atas real akunnya dari
Fernita. Permintaan pertemanan pun dikirim oleh Dharma.
Rasa Ge eR Dharma menyeruat diantara
tanda-tanda begitu cepat pertemanan itu diterima. Betapa bahagianya terungkap
disaat memulai sebuah percakapan pertama dengan Fernita.
“Terima kasih udah di accept ”, Dharma membuka percakapan itu
bersama Fernita
“Iyaa”, jawab singkat
Fernita
“Apa benar ini temannya
dari Rafael?”tanya kembali Dharma
“Iya..gimana?”
“Berarti gak salah orang”
“Iya...temennya
sekolahnya Rafael ya?”
“Iya betul sekali”
“Salam kenal ya”
“Salam kenal juga”,
Dharma membalas percakapan tersebut sembari membuka beberapa foto di galeri
akun Fernita.
Bukan lagi
kemunafikan bahwasanya laki-laki untuk pertama kali meski bukan yang lebih
utama melihat dari perempuan dari bentuk fisiknya. Memberikan pujian kepada
Fernita sebatas rasa nyaman perkenalan melalui pandangan pertama yang Dharma
kenal selama hidupnya. Rasa jujur perasaan itu terungkap mengalir begitu saja.
“Dik kamu cantik ya”,
ucap Dharma tanpa rayuan menggiurkan.
“Perempuan”, kembali
Fernita menjawabnya dengan singkat.
“Sedang apa
sekarang?”
“Masih ngelembur di
Kantor, meski hari sabtu tetap kerja karena pekerjaaan numpuk”
Pertemanan dilanjutkan melalui percakapan singkat melalui massanger terasa ada kesesuaian kriteria antara keinginan Dharma
kepada seorang perempuan. Beberapa bulan kemudian Fernita menceritakan mengenai
kekasihnya yang cukup arogan. Sudah tidak tahan lagi kesabaran Fernita memuncak
akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Dharma hanya sekedar
mengetahui betapapun kegundahan Fernita betapa cukup menyisakan kesedihan.
Pertemanan melalui
dunia maya kiranya sampai ada batasnya, keinginan itu dirasa oleh Dharma
sekedar bermain ke rumah Fernita yang berada di Negeri Tembakau. Ada kesempatan
yang tidak disepelekan begitu saja oleh Dharma, disaat ingin ke rumah Fernita
teman sejawatnya pun turut membantu meluangkan waktunya.
“Jadi ke rumah mas?”
tanya Fernita
“InsyaAllah jadi dek,
ini lagi menuju ke sana, paling tidak nanti sore sampai”.
“Oh iya aku di rumah,
nanti kalau sudah dekat rumah sms aja ya”
“Iya dek, nanti mas
kabari”
Wardono teman lama
yang sudah mengerti keadaan Dharma langsung menebak isi hati yang dirasakan
Dharma. Setelah ke rumah Wardono kemudian Dharma bersamanya menuju ke rumah
Fernita menjelang sore perjalanan itu ditempuh.
“Mau kemana sekarang
Dhar?”tanya Wardono
“Aku ajak ke rumah
temenku namanya Fernita”,
“Ohh, asyik tu
calonmu Dhar?”
“Belum sih cuma
sekedar teman, ini dikenalin oleh Rafael sudah 4 bulan yang lalu, ini mau maen
ke rumahnya”
“Oh begiitu , okelah
nanti kita ke sana”
Perjalanan hampir 2
jam berlalu dari rumah Wardono menuju ke Negeri Tembakau. Berbagai ejekan
bernuansa guyon tertuju kepada Dharma
atas pertemuan pertama bersama Fernita. Sore itu hujan menyambut diperjalanan
menambah suasana syahdu diantara keramaian jalan pegunungan. Perasaan gembira
bercampur dengan grogi melanda disaat hampir mendekati rumah Fernita. Namun
suasana itu terpecah disaat Fernita
berada di depan rumah, betapa indah dan menyenangkan pertemuan ini, bagi
Dharma.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum
salam”, jawab Fernita langsung menuju ke belakang. Saat
itu pula Dharma diterima oleh ibunya Fernita. Tidak begitu lama Dharma
memperkenalkan diri kepada ibu Fernita.
“Ibu saya temennya Fernita”
“Oya mas silakan
duduk”
“Iyaa ibu terima
kasih”
Dari arah belakang
Fernita datang menuju ke ruang tamu menemui Dharma.
“Sudah sampai sini
tho, gimana? sesuai dengan foto ku kan?”
“Iyaa sesuai kok”
“Dari rumah jam
berapa mas?”
“ Kemaren sore sampai
ke rumah Wardono semalam, biasa ngobrol
bareng jarang ketemu sama dia”
“Oh ini temen satu
sekolah juga bareng Rafael?”
“Iya betul dulu satu
kosan kita makanya saking akrabnya, jarang ketemu mumpung ada waktu”
“Ohh iyaa...semacam
kaya reunian ya kalian”
“Hhahaaha...iya
begitulah kiranya”, jawab Dharma.
“Kamu kalau berangkat
ke kantor cukup jauh kah Nita?”
“Sekitar 15 menit kok
mas gak terlalu jauh banget, hanya
saja nanti aku pergi ke kota”
“Hmmm iya....”,Dharma
sembari menikmati secangkir teh buatan Fernita.
“Alhamdulillah ya dek
gak begitu jauh banget kamu dari
rumah buat pergi ke kantor”
Obrolan semakin
hangat bersama Fernita dan saling tukar pengalaman terhadap teman-teman Wardono
yang mungkin ada yang saling mengenal diantara mereka. Sore berganti dengan
senja maka pertemuan itu berakhir dengan sebuah perpisahan.
“Dek kok sudah mulai
malam, aku tak pamitan dulu ya”
“Lha kok buru-buru
mas?”
“Iyah soalnya sudah
ditunggu oleh bus buat pulang”
“Oh begitu lha nanti
yang anter kesana siapa?”
“Ini bareng sama Mas
Wardono yang akan nganter kesana”
”Ya sudah hati-hati
ya’
“Dek aku mau pamitan
sama ibu”
“Bentar mas...aku
panggilkan”, Fernita ke belakang menemui ibunya.
“Ibu...Saya mau
pamitan dulu”
“Lha kok cepat-cepat
nak?”
“Iya soalnya saya
sudah ditunggu sama bus, ini sudah perjalanan menuju kota”
“Oh begitu...ya sudah
kamu nanti hati-hati di jalan ya nak!”
“Iya bu terima kasih
ya bu”
Dharma dan Wardono
berpamitan kepada keluarga Fernita kemudian perjalanan dilanjutkan menuju kota
sampai di pertigaan halte bus. Tak lama kemudian handphone Dharma berdering panggilan dari sopir bus. Dharma segera memberitahu kepada Wardono bahwa
dia harus segera berpamitan pulang.
“Don, aku pulang
duluan ya...makasih banget atas semuanya”
“Oke sama-sama Dhar, InsyaAllah secepatnya kita ketemu”
Perpisahan itu pun
terjadi saat Dharma melangkah masu ke bus menuju ke rumahnya. Diiringi gerimis
disepanjang perjalanan, Dharma terasa bahagia bisa bertemu langsung dengan
Fernita. Berbagai angan terus menggelayuti pikiran-pikiran Dharma hingga pulang
ke rumah.
Sesampainya di rumah
pesan melalui aplikasi messanger berbunyi
ternyata itu dari Fernita.
“Mas sudah sampai di
rumah?”
“Iya dek
alhamdulillah sudah sampai”. Jawab Dharma
“Makasih ya mas sudah
maen ke rumah, nanti kalau ada waktu maen lagi ke sini”
“Oh iya dek InsyaAllah nanti maen lagi”
“Adek besok
berangkat kerja kan?”
“Iya mas besok
kerja seperti biasa”
“Ya udah adek
sekarang buat istirahat saja”
“Iya, mas”
Hampir tiap
minggu hubungan Dharma dengan Fernita berlanjut di atas massanger sungguh tidak ingin diharapkan bagi Dharma karena jarak
bisa menjadi ujian pertemanan mereka. Andai saja jarak itu bukan menjadi
halangan untuk berkomunikasi tentunya tidak harus mencari waktu yang tepat
memisahkan waktu pekerjaan dan hari libur yang sama. Betapa sungguh tidak
mungkin hal menyangkut pekerjaan berada dinomor sekian karena pekerjaan Dharma
harus mengandalkan keberadaannya langsung dan tidak bisa diwakilkan. Tentunya
ini menjadi kecewa yang sangat kecil terjadi di hati Dharma.
“Ya...Allah,
jika itu menjadi kebaikan bagiku maka aku memohon mudahkanlah segala urusanku”
Berharap ada
keajaiban yang terjadi disaat Dharma harus membicarakan lebih serius kepada
ibunya. Disebuah kamar yang hening Dharma bersimpu menceritakan keadaan
sebenarnya mengenai sesuatu yang disebut sebagai bentuk kewajaran sebagai
manusia untuk berpasangan. Ibunya tersenyum memelas mendengar kabar itu
mengisyaratkan betapa keseriusan itu ada bahwasanya langkahpun sudah mulai
dijalankan atas sebuah usaha.
“Andaikan
jarak itu menghadang, akankah ibu masih bisa merasakan perhatian darimu, Nak?”
Disaat Dharma
mendengar ucapan dari mulut ibunya, seketika itu Dharma langsung diam seribu
bahasa karena secara tersirat Dharma telah mengerti maksud yang diutarakan.
Mulutnya kaku tidak bisa mengatakan sesuatu, kepalanya tertunduk menikmati kesedian yang cukup mendalam karena
jawban itu. Rasa diam itu pun tidak nampak dihadapan Ibunya. Tangan ibunya
membelai kepala Dharma seakan memberikan kekuatan mental baginya. Tetap berdoa
saja agar keadaan semuanya biar baik-baik saja.
Rasa pilu
mendera disetiap malam saat tetap berkomunikasi dengan Fernita. Keinginan itu
terasa bertolak belakang dengan kejadian yang ada. Kegagalan terus menghadang
diantara langkah yang dilaluinya.
Perasaan masih
tersimpan rapi dalam ruang yang sama, berharap agar Tuhan memberikan jalan
keluar diantara rasa beda antara harapan dan kenyataan. Meski terlalu dini
untuk bisa saling menguatkan rasa itu telah terjalin disaat pandangan pertama
itu jatuh bersemi dalam ruang hati yang amat dalam. Terasa sangat berlebihan
terus berujar yang membuaiakan angan, memang harus Dharma sadari bahwa perasaan mengapa ada jika
itu menyisakan rasa kesedihan.
Waktu pun
berbicara di bulan awal pergantian tahun, Dharma menyadari keinginan perempuan
adalah kepastian dari seorang laki-laki. Dharma pun hanya bisa berserah
menyerahkan segala perasaan. Selama ini Dharma belum sepenuhnya memberikan
kebahagiaan kepada Ferina. Tidaklah berarti keberadaan Dharma bagi kehidupan
Ferina. Pengakuan terberat disaat Dharma harus bertahan disaat pesan massanger itu dari Fernita,
“Jangan
pernah lagi memanggil aku berlebihan”
Perasaan
Dharma langsung memberikan simpulan bahwa sekarang sudah ada laki-laki lain
yang akan senantiasa menjaganya dan ternyata itu benar adanya.
foto :google.galih sedayu