Saturday, 28 January 2017

Keringat Anak Kecil

Sudah 4 bulan yang lalu atau pada akhir mendekati pergantian tahun 2017 saya dibuat terenyuh oleh pedagang makanan yang keliling di depan rumah. Bapak-bapak berpostur tubuh kurus mengayuh sepeda butut berkali-kali bersuara menawarkan kue bapel berharap ada calon pembeli memanggilnya. Pemandangan itu aku lihat disaat bapak itu sudah 15 meter meninggalkan jalan depan rumah. Sudah begitu sederhananya beliau menawarkan kue yang sudah sangat jarang digemari masyarakat jaman sekarang.

Bagi saya kejadian dihari itu terlalu mengesankan. Penampilan beliau sangat sederhana berjenggot tipis pakaian yang bagi kalangan umum menyebutnya sebagai pakaian syar’i. Ada beberapa pesan yang saya tangkap rasa tanggung jawab begitu besar kepada keluarga terutama istri dan anak-anaknya.. Apapun keadaan bagi dirinya tidaklah penting mengenai sesuatu yang dikenakan meski demikian nilai zuhud tetap beliau terapkan dalam berpakaian.

Akhir-akhir ini suara pedagang kue bapel itu tidak terdengar mungkin karena sengaja jalanan rumah saya tidak dilewati. Mungkin karena calon pembeli di kawasan RT saya tidak begitu banyak dan lagi posisi blok perumahan paling belakang dan pojok sehingga aksesnya pun jarang dilewati oleh pengguna jalan lainnya.

Diwaktu pagi yang cukup luang, saya berencana ke sebuah  provider layanan akses seluler, jaraknya kurang lebih 5 kilometer dari rumah. Motor saya siapkan di depan rumah, bersama ibu akhirnya perjalanan dimulai. Berjarak sekitar 500 meter akses dari rumah menuju ke gerbang awal atau pintu utama perumahan yang berada di kawasan Jalan Yos Sudarso Wiradesa. Dari gerbang ini lah masyarakat sering keluar masuk perumahan yaitu tempat pertama sebagai akses interaksi dunia luar.

Dari pintu utama, sebelum saya menyeberang ada pemandangan yang tidak seperti biasanya di pinggir jalan, ditempat saya menunggu lintasan agar benar-benar aman. Terlihat anak berusia sekitar 10 tahun berpeci dan mengenakan baju koko berdiri sedang menjaga barang dagangan. Dalam hati saya berkata ini pasti tidak sendirian, bahasa tubuhnya terasa kaku berdiri disamping meja. Posisi motor saya majukan sedikit sembari menunggu hilir mudik lalu lintas, saya kembali menerka mengenai barang yang dijualnya.  Setelah saya amati barang yang berada di atas meja seperti tumpukan kue setengah lingkaran berwarna coklat dari situlah saya menyimpulkan bahwa anak kecil itu ternyata menjajakan kue bapel.

Setelah saya menyeberang, sembari berkendara motor, pikiran saya masih tertuju kepada anak tersebut sepertinya ada korelasi dengan bapak-bapak pedagang kue bapel yang biasa keliling di perumahan. Sepertinya perkiraan-perkiraan sementara itu harus saya pending, karena keamanan berkendara lebih saya prioritaskan.

Kurang lebih satu jam proses acara di sebuah  provider layanan akses seluler telah selesai. Tidak ada tujuan lainnya dan kemudian perjalanan dilanjutkan pulang ke rumah. Sesampainya di pintu gerbang perumahan saya melihat bapak-bapak pedagang kue bapel berada tepat di meja yang ditunggu oleh anak tadi, ternyata perkiraan saya benar adanya. Bahwasanya anak yang berjualan kue bapel itu anaknya dari bapak yang sering berjualan keliling di perumahan.


Pelajaran berharga kepada anak bahwasanya dia dididik agar bisa merasakan keadaan orang tua. Belajar merasakan keprihatianan mengenai tujuan hidup di dunia haya sebatas pemenuhan kebutuhan bukan keinginan hawa nafsu. Meski di hari Jum’at hari libur sekolah karena bersekolah di madrasah tidak digunakan bermain layaknya teman sebayanya. Ini bukan melanggar hak-hak anak bermain, bisa dikatakan bahwa peraturan pemerintah tidak setuju jika seorang anak bekerja. Anggapan bahwa memperkerjakan anak bagi pemerintah sebagai tindak diluar batasanya. Semua itu pandangan pemerintah, namun disisi lain pemerintah juga tidak menjamin warga negaranya memperoleh penghidupan yang layak. Menciptakan suasana perekonomian yang kondusif pun masih jauh dari target yang diharapkan. Rakyat sudah terbiasa dengan cara-cara tersendiri memperoleh penghidupan, pastinya kerja sama antara bapak dan anak pedagang kue bapel tersebut berusaha memperoleh rezeki yang halal.

Melepasmu

Sudah mengertikah engkau mengenai sesuatu
Yang aku tunjukkan tentang indahnya kebun bunga
Gemercik air pada surau di pojok kanan
Aku melihatmu diseberang hamparan
Diantara beberapa  rayuan para pangeran

Aku masih duduk tak berdaya
Mendengar tentang engkau yang begitu berharga
Aku menggila  disaat  jarak itu tak terbayarkan
Aku merajuk ketika mendengar  cerita itu datang
Aku kecewa tentang datangnya orang lain
Sebagai pendampingmu kelak

Aku tak bisa membahagiakanmu
Atas dasar keterbatasanku meraih restu
Aku menunduk memilih tidak lagi berbicara
Mengenai masa depan yang belum datang

Aku melangkah terhadap apa yang aku bisa
Tidak ada pesan untukmu
Tidak ada pesan juga untukku
Jarak ini memudahkan langkahku

Ketika aku membuang semua rasa itu

Pupus Cinta Di Negeri Tembakau

Thursday, 26 January 2017

Kita Utuh Dan Telah Bersama

“Suatu saat kalian akan merasakan kehilangan momen kebersamaan seperti ini. Disaat satu per satu melucuti status hidup maka sedikit demi sedikit mereka akan meninggalkan. Kekosongan dari kebersamaan kian sulit ditemukan, bingkai-bingkai kenangan telah berganti stase-stase kehidupan di ruang lingkup yang kompleks yang disebut pernikahan”

“Kalian sama halnya menyebut aku, kamu dan kita semua, sebagai satu keutuhan yang berawal dari sebuah pertemanan”.

“Aku dan kamu sebuah istilah pembenaran disaat kita satu bersama, satu irama, satu juang serta satu keutuhan tali yaitu saudara yang tidak ditemukan oleh selain kita. Aku dan kamu sengaja dipertemukan diruang singkat dalam tiga kedipan mata”.

“Sedang selain kita yaitu mereka dalam waktu sesingkat itu tidak menemukan hal itu seperti kita. Terlepas dari singkatnya waktu itu, aku dan kamu mencoba mengukir kata bukan seperti mereka tanpa ada kata-kata lalu hilang begitu saja dan tentunya hal itu tidak ingin terjadi kepada kita”.

*** 

Satu kedipan mata belum pernah ada rasa keterikatan satu sama lain, berjalan memasuki suasana baru di momen yang sama yaitu masa awal masuk SMA. Ruang lingkup berbagi saling mengenal  hanya sebatas masing-masing nama. Bagiku keberadaan teman yaitu Ardi teman yang mengajariku pertama kali naik motor, keliatan begonya disaat motor kesayangan harus nabrak pagar pohon dan ngrusuk di samping rumah.

Banyak acara yang menyisakan lelah yaitu ekstrakurikuler wajib di hari Jumat rutinitas berkumpul hanya di akhir jam pulang sekolah di rumahnya Ardi. Diantara kita yang bisa satu jalan menuju rumah hanya dia dan Afed alias Sodron terkadang Yayan juga ikut nebeng ,tapi tidak demikian Yayat yang masih akrab dengan Farid alias Gobel yang lebih memilih pulang jalan kaki.

Ada satu teman seperjuangan SMP dari Afed yaitu Widya alias Mas Bos yang menjadi rumpun pertemanan sekelas di SMA seakan reunian kembali seperti sediakala.  Sifat kedermawanannya Widya alias Mas Bos seakan menjadi magnet yang disukai teman-temannya. Alhamdulillah dari situlah pertemanan kita mulai terjalin begitu akrabnya.


Dua kedipan saat beranjak kelas 2 ruang kelas mulai diacak, suasana berbeda dan banyak mengenal teman-teman baru. Pertemanan ku dengan Ardi masih saja bersama karena baik berangkat maupun pulang aku selalu nebeng bareng motornya.  Saat itu Afed punya teman baru yaitu Munawir alias Gembus yang juga sering main ke rumah Ardi sepulang sekolah. Tidak sekedar Munawir alias Gembus karena Afed alias Sodron sangat getol modifikasi motor maka banyak sekali temannya seperti Edi, Burhan yang berada di bengkel Gumawang.

Masa ini merupakan masa keemasan di waktu SMA sudah tidak ada intimidasi dari kakak kelas dan untuk memikirkan ujian nasional masih terlalu panjang. Aktifitas ekstrakulikuler bertambah menjadi ikut-ikutan tren main basket yang menjadi duta-duta pemain basket diantaranya kembar Yayan & Yayat, Farid alias Gobel, adik kelas Teguh alias Tekek masih banyak lainnya. Aku sama Ardi pun ikut-ikutan sebagai penggembira disore waktu menjelang ke sekolahan main basket meski ada Iwung pemain T-Rex 21 menjadi pelatih dadakan. Perhelatan tren basket itu pun sangat singkat sudah tidak begitu nyaman menekuni olah raga tersebut.

Tiga kedipan telah dimulai dahi semakin banyak berkerut, waktu istirahat pertama banyak dihabiskan mengerjakan PR matematika, sedang memasuki istirahat kedua mata pelajaran Bahasa Inggris sudah menanti dengan mencatat kosa kata. Belajar di kelas IPA terasa banyak tuntutan terutama agar bisa lulus dari Ujian Akhir Nasional.

Aku masuk di kelas IPA 3 sedangkan Ardi, Afed alias Sodron, masuk di kelas IPA 2 yang letaknya dipisahkan oleh tembok kesemrawutan kelas IPA 3 tidak separah IPA 2 yang notabene banyak siswa yang rada koplak, aneh dan lurus tergabung dalam heterogenitas sifat di satu kelas. Atas dasar keterikatan teman di kampung hubungan pertemanan lebih banyak dihabiskan dengan teman-teman IPA 2.

Di kelas IPA 2 kekerabatannya semakin nyata diantara teman-teman baru seperti Dede Cholil alias Cholil, Agustina dan Linda yang masih satu kampung juga sama halnya aku dengan Ardi. Sedangkan Agustina dan Oktaviana alias Nana yang berada di kelas IPA 3 sudah bersahabatan semenjak kelas 1 SMA. Kesimpulannya dimanapun ada Agustina disitupun ada sosok Oktaviana alias Nana yang juga mulai kelas 3 ini semakin akrab bareng kita.

Diantara kesibukan sekolah sudah barang tentu target-target penguasaan menghadapi Ujian Akhir Sekolah semakin dekat. Alhasil berbagai bimbingan ditempuh disore hari sepulang sekolah. Selain Linda yang memilih mengikuti bimbingan Ujian Akhir Nasional di NEUTRON biasanya mengikuti acara les di rumahnya Pak Mugi Guru Fisika ,yang tidak lain ayahnya dari Aditya alias Popo yang satu kelas denganku di IPA 3.

Les di rumahnya Pak Mugi serasa main dirumahnya teman sendiri, diantara teman-teman yang sudah pulang ke  rumahnya masing-masing, aku dan Ardi sering menunggu kumandang adzan magrib tiba. Hanya ngobrol dengan Aditya alias Popo yang sebagai anak kota banyak sekali cerita tentang pengalamannya. Disaat waktu jam makan tiba terkadang aku dan Ardi diikut sertakan jika kebetulan ada mas-mas nasi goreng keliling lewat di rumahnya. Momen yang menyenangkan les pelajaran sampai rumah hingga malam dengan berkendara menggunakan HONDA C70 menambah asoynya perjalanan malam.

Satu yang tertinggal yaitu Iwan alias Iwan Katub seorang teman dari IPA 2 yang super usil sekali baik dengan teman-temanya bahkan dengan gurunya pun berani mengusilinya. Sewaktu disuruh maju mengerjakan soal hitung-hitungan Iwan alias Iwan Katub tidak bisa mengerjakannya, karena merasa dirinya kesal dari tempat duduk paling belakang nomor hape guru tersebut ditelp private number dan tiba-tiba dimatikan. Kejadian tersebut sempat membuat rempong guru dengan mondar-mandir keluar masuk ruang kelas Iwan alias Iwan Katub pun serasa tidak mempunyai dosa tertawa melihat reaksi guru tersebut.

Banyak hal cerita yang sempat mengukir kebersamaan, baik belajar bareng di rumahnya Iwan alias Iwan Katub, jajan camilan lontong tahu di Mbah Ipah Kauman Wiradesa, merayakan jika ada teman yang ulang tahun dan masih banyak kenangan wisata misalnya yang pernah ke Bandung di rumahnya Dede Cholil alias Aziz dan masih banyak kenangan lainnya diantara kita. Dimasa yang belum secanggih sekarang kenangan-kenangan itu tidak bisa diabadikan melalui foto-foto seperti sekarang. Hanya guratan-guratan memori yang hampir digerus oleh kesibukan yang melupakan segalanya dan itu adalah kejadian yang lumrah sebagai proses kehidupan.






Bola Tenis Sang Pemimpin

Sebuah petikan esensi yang mengenai kebiasaan yang dilakukan oleh pemimpin yang lebih merasa dihormati dalam konteks fungsinya sebagai turunan teknis dari kewenangan bidang. Termasuk contoh lain disaat pemimpin yang seharusnya bersusah payah mengecek keadaan pangkat bawahan, menelusuri berbagai macam jumlah standar hutang karyawan yang dibolehkan, malah berkebalikan acuh terhadap gelombang-gelombang gaya hidup bawahan. Bahkan rasa apatis tersebut seakan hilang dengan langsung ditanda tanganinya pengajuan tersebut melalui disposisi asisten ataupun sekertarisnya, yang turut menyelesaikan proses pengakaran birokrasi hingga sekarang.

Tanpa disadari bawahan pun menjadi pemicu sebagai aksi tidak tega melihat pemimpin melaksanakan  kerharusan program kinerjanya mengawasi beberapa staf yang berada di bagan bawahnya.  Malahan contoh-contoh pemimpin tersebut menurutnya adalah hal yang dihindari demi mensukseskan aksi penyalahgunaan variable peniliaian yang berhubungan kenaikan pangkat. Seperti beberapa contoh karyawan yang melebihkan jumlah gaji sebenarnya, pada saat pengajuan hutang. Semuanya itu berpotensi sebagai sesuatu yang akan mengancam rasa kenyamanan.

Seorang pelawak pernah berceloteh dalam aksinya yang mengatakan “Semakin orang itu pintar, kaya dan berpangkat pada akhirnya akan menjadi sakit. Sedangkan orang sehat adalah mereka yang bekerja melayani”. Sangat berdampak bagi pemimpin dari rumah sudah disiapkan baju beserta sarapannya oleh istri tercinta. Disaat keluar dari rumah, sopir sudah standby membuka pintu mobil, sedangkan tas  kerjanya istri masih setia membawanya dan serahken kepada sang suami sembari mencium tangannya. Alangkah mulianya Pak Pemimpin ini, hidup terasa nyaman tanpa merasakan bekerja langsung bahkan masih dihormati.

Sebelum kaki Pak Pemimpin menapaki jalanan depan kantor terlebih dahulu si sopir turun memutar melewati depan mobil kemudian membukakan pintu sebelah kiri agar Pak Pemimpin bisa keluar dari mobil. Bagaikan raja yang terus dihormati sepatu hitam dilangkahkan dari atas mobil menuju aula depan kantor. Penjaga kantor senyum ramah kepaada beliau, mengucapkan “Selamat pagi, Pak” sapa satpam kantor kepada Pak Satpam.

Pak Pemimpin mempunyai asisten ahli sebagai bentuk turunan fungsi menyelesaikan tugas-tugas pokok pemimpin. Disaat memperoleh masalah baru maka pemimpin hanya menampakkan diri sebagai sosok bisa berwujud, sedangkan asistennya yang menghandel dari keseluruhan pokok permasalahan dan juga konsep penanganannya. Pukul 10.00 rapat dipimpinya disamping pojok kiri notulen menuliskan beberapa hal penting termasuk jalannya rapat. Di akhir sesi acara asisten ahli berjalan menuju meja paling pojok sambil berbisik, ”Mbak mohon kopikan notulen hasil rapat hari ini”, sembari menyodorkan  flash disk kepada notulen rapat. Pak Pemimpin keluar dari ruangan rapat menuju gedung berikutnya menunggu rapat koordinasi dengan bidang lain membahas anggaran tahunan. Hal yang sama dan senada dengan rutinitas kerja asisten ahli yang turut berjalan kemana pun Pak Pemimpin ini mengikuti rapat.

Sabtu hari akhir pekan Pak Pemimpin pagi itu memakai kaos oblong menikmati indahnya kota bersama istri dan anak-anaknya tercinta. Di pinggir lapangan beliau joging agar berat badan yang sudah mulai melebar agar tidak terlihat sebagai pemimpin yang tidak pernah mengatur pola makanannya. Tiba-tiba dari belakang ada yang memanggilnya,”Pak kok sendirian jogingya?” tanya staf kantor menghampiri Pak Pemimpin dengan rasa begitu hormat. Kemudian beliau menjawab, “Ini sama istri dan anak-anak, tapi di warung sebelah timur lapangan sedang sarapan” jawab Pak Pemimpin kepada stafnya.

Dari percakapan diatas Pak Pemimpin meskipun sudah berada diluar jam kerjanya, emblem pemimpin masih dipangkunya sembari dibawa lari mengelilingi lapangan. Keinginan senatiasa disegeni menyeru kepada khalayak dalam hatinya bersuara lantang bahwasanya “Aku ini pemimpin kalian” betapa angkuhnya dada Pak Pemimpin terus bicara. Lain halnya dengan penghormatan Raja Kraton selain sebagai pemimpin beliau Sang Raja mempunyai trah kebangsawanan yang bersifat hierarki dan masyarakat yang menghormati atas keabsahannya meskipun di luar istana kerajaan.

Perbedaan keduanya apabila bahwa jabatan Pak Pemimpin dalam fungsional umum kerangka birokrasi pemerintahan. Batasan jabatannya sudah jelas dipilahkan dari wilayah fungsi yang lain. Disaat Pak Pemimpin makan, sebenarnya yang makan adalah manusianya. Sedangkan posisinya Pak Pemimpin tatkala  menjalankan fungsionalnya.

Akan tetapi keadaan jabatan Pak Pemimpin tersebut sudah dianggap masyakarat sebagai jabatan kultural dimana Pak Pemimpin berada disitulah bawahan harus bisa menghormatinya. Ketimpangan tersebut apabila diwujudkan pertandingan tenis dengan bawahan. Maka disaat bawahan memberi bola lambung yang seharusnya direspon cepat, karena telah tahu yang aka merespon Pak Pemimpin maka bawahan tidak bermain serius layaknya lawan main biasanya.
Sumber gambar : google luvictordolay.baseball
Rasa pakewuh (enggan bersungguh-sungguh) bawahan disaat berlatih tenis bedampak sekali pada teknik yang sebenarnya ingin dicapai oleh Pak Pemimpin yaitu teknik kejujuran skil seorang petenis. Makin lama Pak Pemimpin semakin tak menyadari kebodohannya atas pemanjaan, pelayanan dan kemudahan yang didapat. Penghormatan salah kaprah itu tak ujar diberantasnya bahkan mengakar hingga Pak Pemimpin menganggapnya semua yang diberikan oleh bawahannya sebagai kemudahan “nasib baik” nya padahal itu semua kekeliruan yang mutlak adanya.

Lapangan tenis tersebut apabila digantikan dengan berbagai seri keragaman dunia pemerintahan banyak sekali contoh-contoh kemudahan yang diterima oleh Pak Pemimpin. Kepengurusan naik pangkat, pengajuan kredit dan lain sebagainya akan lebih “nyaman” apabila dari bawahan memberikan “bonus” cuma-Cuma kepada Pak Pemimpin dianggapnya sebagai “nasib baik” dan juga sebagai bola-bola umpan lambung yang dimudahkan oleh bawahannya.

Cara-cara tersebut yang digunakan oleh bawahan memberikan pelayanan, kemudahan serta berbagai umpan-umpan lain untuk meraih sesuatu hal yang berhubungan dengan birokrasi Pak Pemimpin. Suatu saat Pak Pemimimpin melakukan pembenaran dengan cara mainnya namun sebenarnya akan membahayakan bagi dirinya.

#tadabbur Sedang Tuhan pun Cemburu (EAN)


Wednesday, 25 January 2017

Tentang Usaha Konveksi

Diantara beberapa teman, baik seumuran maupun selisih beda usia menikmatinya adalah sebagai anugerah yang patut disyukuri termasuk dari kebiasaan masa anak-anak, remaja dan bahkan saat sama-sama menjadi dewasa. Pertemanan tersebut melingkupi dikehidupan desa agraris dan industri yang termasuk mempunyai heterogen latar belakang, sosial dan ekonomi sebagai unsur pendukungnya.

Di kawasan pesisir Laut Jawa tepatnya di Pekalongan yang terkenal unsur religi budaya sebagai kebiasaan serta kehidupan perekonomian, industri rumah tangga, pertanian dan perikanan membuat ragam kebiasaan masyarakat. Lebih mudahnya, masyarakat pesisir lebih banyak bermatapencaharian sebagai wiraswasta. Diantara banyak hal yang termasuk pekerjaan yang dilakukan di rumah baik sebagai dalam bidang perdagangan ada pula berbenetuk jasa. Konveksi sebuah contoh bentuk bisnis yang bergerak di bidang pengolahan bahan setengah jadi dalam bentuk kain diubahnya menjadi barang jadi yaitu berupa pakaian.

Berawal dari bekerja sebagai buruh menjahit rumahan yang sudah diakui masyarakat setempat akan menjadi magnet bagi yang seseorang dalam mengasah ketrampilannya. Itu pun tingkatannya hanya sebagai penjahit sedangkan yang membentuk pola pakaian dan memotong kainnya dilakukan oleh bosnya atau owner penjahit. Dari situlah sedikit demi sedikit  pengalamaan dapat dilihatnya bentuk rumus pola, pengukuran sekaligus pemotongan dipelajari bagi yang benar-benar serius akan mengembangkan jenjang ketrampilan tidak hanya bisa menjahit. Sebuah slogan yang berkembang  dimasyarakat bahwa orang yang bisa menjahit belum tentu bisa memotong kain (membuat pola). Sebaliknya sudah barang tentu orang yang sudah diakui bisa memotong kain, maka tentu orang tersebut bisa menjahit. Dari pemahaman tersebut muncul starata dalam bidang konveksi atau bidang menjahit.

Akan lebih bisa merubah nasib seseorang apabila sedikit demi sedikit menapaki proses pekerjaan. Tahap berikutnya membuka ruang gerak sebagai relasi bisnis pakaian jadi. Hubungan tersebut sangat berpengaruh dalam membuka awal usaha khususnya bagi para penjahit. Tindakan tersebut masyarakat menyebutnya “nggolek sanggan” . Semacam proses mencari pelanggan tetap yang mempunyai omset besar akan mudah melanggengkan usaha pengusaha konveksi. Sangat berdampak sekali dengan kelangsungan usaha, hal ini menyangkut dengan pengadaan mesin jahit dan seperabot buruh jahit. Tentunya apabila nasib mujur mendapatkan pelanggan dari penguasa besar pakaian jadi akan berimbas baik dengan melalukan spekulasi pengembangan usaha konveksi yang lebih besar lagi.

Kepercayaan dari pengusaha pakaian jadi tidak serta merta diberikan kepada pengusaha konveksi. Dari keberhasilan beberapa lapis kain dan diberikan target waktu yang ditentukan bisa sesuai dengan kesepakatan, akan membuahkan kepercayaan berkelanjutan. Sehingga apabila pengusaha konveksi meminta peningkatan orderan kain akan lebih mudah dikabulkan. Jika itu demikian, keadaan jumlah peralatan jahit masih tetap, yang akan terjadi beban kerja buruh semakin tinggi. Maka pengusaha konveksi harus memutar otak agar bisa menambah beberapa unit mesin sebagai aset tambahan dalam memenuhi target kerja kepada pengusaha pakaian jadi.

Hubungan yang baik seorang pengusaha konveksi kepada buruhnya dan rekan pengusaha pakaian jadi tetap dikondisikan dalam ruang yang sangat kondusif. Meskipun mesin jahit sudah sesuai yang diharapkan dalam menggarap orderan maka tinggal kinerja buruh yang diperhatikan diantaranya dengan menciptakan suasana kerja agar buruh jahit betah dan bisa menghasilkan karya-karya yang optimal. Bayangkan saja semisal buruh jahit berjumlah 20 orang tiap satu orang mampu menghasilkan 20 potong pakaian jadi tiap harinya. Rata-rata pengusaha konveksi itu akan menghasilkan pakaian jadi sebanyak 400 pakaian. Dalam satu hari tersebut 2 orang saja tidak bisa bekerja maka target tersebut sudah berkurang hanya mencapai 360 pakaian. Belum lagi apabila tersandung masalah buruh jahit yang mogok kerja dengan berbagai alasan misalnya butuh uang mendadak sedangkan bosnya (pengusaha konveksi) belum bisa memberikan uang karena target mingguannya belum terpenuhi. Sedangkan untuk mencari buruh jahit yang loyal terhadap hasil kerja berupa karya yang sesuai standar yang diinginkan oleh pengusaha pakaian jadi sangatlah tidak mudah. Maka keluwesan seorang pengusaha konveksi perlu memudahkan khususnya mengerti sedikit keadaan buruh jahid khususnya dalam menyokong keadaan perekonomian yang tiba-tiba ambruk karena sesuatu hal.

Sumber Gambar Ilustrasi  : Google oleh Harry Ramdhani Blogspot

Ada beberapa pengusaha konveksi melakoni usahanya dengan meloyalkan buruh jahit dengan cara memberikan kemudahan dari persyaratan kredit kendaraan. Cara ini berlaku kepada buruh jahit yang mempunyai daya etos kerja yang pandangan subyektif seorang pengusaha konveksi dinilai pantas karena berbagai faktor ketelatenan, pemenuhan target dan loyaliatas tinggi dalam membantu usaha konveksinya. Merebaknya kredit kendaraan murah dan mudah oleh finance termuka memberikan syarat harus memenuhi total penghasilan yang mencukupi terhadap jenis kendaraan yang dibelinya. Bagi seorang buruh jahit sangat enggan disorot masyarakat apabila pihak finance mendatangi rumah yang bersangkutan. Proses tersebut berkaitan dengan prosedural pengajuan kredit maka survey langsung ke rumah kreditor tetap penting dilakukan. Adanya stase prosedural  tersebut dinilai bisa menyebabkan dampak beban moral meskipun tidak semua buruh jahit merasakan demikian. Pada akhirnya sang bos yaitu pengusaha konveksi memberikan kemudahan kredit kendaraan dengan atas nama pengajuan dirinya. Cara tersebut akan memudahkan finance dalam meloloskan pengajuan kredit karena syarat penghasilan tiap bulan dinilai memenuhi persyararatan yang diberlakukan. Sedangkan tiap kali cicilan bulanan pengusaha konveksi akan memotong gaji buruh jahit sebagai angsuran kendaraan yang harus dibayarnya.  Dengan demikian maka loyalitas buruh jahit akan dirasa oleh pengusaha konveksi akan langgeng minimal para buruhnya tidak akan berpindah ke pengusaha konveksi lain.

Permasalahan pengusaha konveksi tidak hanya berbatas dengan para buruh jahitnya mengenai hubungan kepada pengusaha pakaian jadi yang lebih sering mengenai ikhwal pembayaran jasa konveksi. Harapan dari setiap para pengusaha akan lebih mengutamakan kelancaran dan kelanggengan usaha, namun keadaan pasar juga sering tidak menentu dengan permintaan fluktuatif. Terkadang meningkat drastis menjelang Hari Raya Idul Fitri yang menggairahkan khususnya disektor perdagangan. Apabila kondisi menurun akan berdampak menurunnya omset penjualan pakaian jadi, secara otomatis berdampak pada pembayaran jasa konveksi yang mengalami keterlambatan.  

Meski pencapaian target oleh pengusaha konveksi sudah optimal, pada keadaan tertentu misalnya perekonomian masih lesu pengusaha konveksi dibuat kepayang dalam memberikan penggajian kepada buruh jahitnya. Betapa tidak, yang secara tiap bulan ada setor uang dari pengusaha pakaian jadi, maka itu pun tidak bisa masuk ke rekeningnya. Meskipun penyisihan anggaran berbagai pos pendapatan seorang pengusaha konveksi sudah ada dana cadangan untuk penggajian buruh jahit pada kondisi tertentu. Apabila keadaan ini semakin terpuruk, maka langkah yang diambil yaitu adanya pengurangan buruh jahit. Keadaan ini bukan hal yang jarang terjadi oleh pengusaha konveksi. Pada momen tertentu keadaan ini akan berangsur pulih sejalan dengan daya beli masyarakat meningkat dan perekonomian nasional membaik.


Gambaran-gambaran tersebut saya rangkai dari berbagai teman-teman buruh jahit yang bercerita tentang pengalamannya. Ada yang dari buruh jahit sampai berubah tinggkatanya menjadi pengusaha konveksi, dengan proses liku tantangan yang dihadapinya. Bagi pengusaha tantangan tersebut merupakan cambuk sebagai ruang gerak untuk bangkit menatap harapan hari esok memajukan usahanya, semoga kita bisa belajar darinya.

Thursday, 19 January 2017

Berharap Kita Tetanggaan di Akhirat

Terlalu muluk-muluk omonganku ini biarkan mengudara seperti cairan alkohol 70% tumpah di lantai lalu dibiarkan menguap begitu saja. Hidup di dunia dengan kemulukan maka tidak ada salahnya menghadapi dengan kemulukan hakiki yang menghadirkan hidup itu dibuat lebih enjoy bahkan melupakan tethek bengek berkutat urusan dunia yang tiada habisnya. Tampaknya kalimat tersebut belum sampai kepada mereka yang merasakan putus cinta, cinta tak direstui, cinta kalah modal, perceraian dan apapun karena cinta kepada lawan jenis termasuk  mencari pasangan hidup yang sebenarnya.

Bagi orang yang sedang jatuh cinta, perasaan itu nomor pertama diantara omongan orang lain berupa nasihat yang bisa menenangkan terlebih jika terjadi permasalahan. Pikirannya keluar dari batas nilai kesadaran manusia, yang tidak akan kuat merasakan rasa sakit hati tersayat perih. Rasa perih membebani mental merasakan harga diri bagi yang direndahkan atau tidak mampu memberikan segala sesuatu diluar batasan kemampuannya. Seakan tiada jalan keluar untuk bisa menguraikan segala permasalahan. Mengerti dan menyadari bahwa semuanya adalah proses jalan hidup yang jarus dijalani, pun terasa sangatlah sulit. Pada akhirnya pemikiran jalan pintas bagi dirinya akan bisa menjawab semuanya.

Bagi yang sudah mengalami indahnya malam pertama dan bulan madu bersama pasangannya begitu mengesannya selanjutnya terserah Anda. Layaknya iklan sebuah deodorant memang begitu adanya kesan pertama itu begitu menggoda, dari sesuatu yang belum pernah menjadi pernah bahkan keseringan membuat yang luar biasa menjadi biasa. Mereka yang menikah dengan segala problematika ruang kehidupan di samudra waktu pernikahan sampai keduanya berhenti karena kematian yang memisahkan. 

Ternyata tidak begitu sampai mengarungi samudera disaat menit-menit mengenal seorang nahkoda haruslah berujung perceraian. Terlalu banyak dari cerita-cerita dari mereka yang menjalaninya. Tidak usah membahas mengenai penyebabnya, namun diantara manisnya sebuah hubungan dari sekian kenikmatan dunia harus berujung kepada perpisahan. Jawabannya sangat singkat, “Itu sudah menjadi keputusan kita bersama untuk mengakhiri hubungan pernikahan”. Terasa gampang memutuskan sebagaimana meremehkan keputusan Tuhan untuk menyatukan mereka.

Diantara perpisahan dari setiap hubungan baik pra nikah ataupun paska nikah salah satunya ada menorehkan luka yang tidak akan pernah hilang. Luka itu terus bersemayam membekas dalam ruang perasaan hati manusia. Lebih menyakitkan lagi apabila perasaan cinta itu masih ada tak pernah padam meski luka itu kembali teringat diantara melihat kebahagiaan pasangannya dengan orang lain. Maka luangkanlah sejenak bahwa hidup itu tidak lebih dari 200 tahun yang sebentar lagi akan mengubah keadaan manusia yang begitu cepat. 

Sesuatu yang berharga adalah waktu yang diberikan kita disaat harus mengingat kembali ujung dari perjalanan hidup menuju kesejatian. Tuhan akan menghidupkan manusia dan mereka akan memperoleh dari beberapa balasan atas tingkahnya. Biarkan rasa sakit yang diderita berujung sebuah keridhoan Tuhan agar membangun sebuah istana orang yang kita cintai di samping istana kita sebagai tetangga.





Wednesday, 18 January 2017

Senandung Rasa

Seakan aku tak pernah lagi menikmati bait irama
Tumpukan-tumpukan pita di dalam lemari
Biarkan berdiri tegak dan ku biarkan
Jamur-jamur mengahampiri bersua
Berpesta berbagi rasa dengannya
Aku salahkan usia semakin hari menua
Mereka memakan kebahagiaanku
Yang terlalu terbatas 
Sedangkan aku,
Ingin tak pernah lagi menua
Maka jika aku melihatmu dan aku ikut berpesta
Serasa aku ditampar semaunya
Berkatalah mereka,
Masihkah lama hidupku ini hanya sekedar
Menikmati bisikan yang melalaikan
***
Hmmm....Itu bohong dan kemunafikan
Disaat aku merasakan penat tiada tara
Memoriku melayang menelusuri
Petak-petak bait irama rasa iba menyedihkan
Biarkan perasaan hati menabur pesona
Diantara taman-taman terpendam mati
Oleh cerita-cerita pilu menyengsarakan
Biarkan aku malu kepada mereka yang berpesta
Diantara sekat-sekat bait irama
Aku masih saja ingin mendendangkan

Ahh...manusia ingin sekali mendrama

Cinta di Negeri Tembakau

Bermula dari sebuah update foto profil dari sebuah aplikasi perpesanan, teman Dharma yang sudah dikenal akrab memberikan pesan bahwa fotonya sudah diberikan kepada teman perempuan di negeri tembakau. Terasa disambar petir di siang bolong, tingkah nyeleneh temen Dharma sudah dikenalnya semenjak masa sekolah, semakin menjadi saja tatkala masih melihat temannya masih berada dalam kesendirian.
“Fotomu, sudah aku kirim ke temenku seorang perempuan” papar Rafael
“Kok kamu gak bilang dulu tho? Tau begitu tak kirim fotoku yang lebih banyak lagi” ujar Dharma sembari berkelakar

“Siapamu Raf”
“Teman satu kampung aku kenal kok tentang dia, kayaknya cocok sama kamu”
“Namanya siapa Raf?”
“Ohh...namanya dia Fernita sekarang masih bekerja di lembaga kemanusiaan”
“Nih aku kirimin fotonya ke kamu”
“Oya...Raf, penampilannya anggun dan kalem ya”
“Nanti tak kenalkan Dharma, tenang ajah”
“Wah terserah kamu lah Raf, hobi mu suka iseng gak ilang-ilang sampai sekarang”

Percakapan berakhir kala itu waktu siang sudah berganti agak sore, sebagai tanda aktifitas pekerjaan akan berakhir. Dharma masih berkutat bersama pekerjaan, terasa berbeda dengan hari biasanya. Terkesan lebih semangat dibenaknya Dharma seakan rasa percaya diri itu kembali bangkit menapaki jalan hidup.

Sebelum akhir pekan sebagai sejarah awal Dharma mencari beberapa akun media sosial yang bernama Fernita . Tidak begitu lama pencarian itu karena beberapa nama terdapat kesesuaian foto yang diberikan oleh Rafael. Mutually pertemanan juga bersamaan dengan Rafael, hal tersebut menguatkan dugaan Dharma atas real akunnya dari Fernita. Permintaan pertemanan pun dikirim oleh Dharma.

Rasa Ge eR Dharma menyeruat diantara tanda-tanda begitu cepat pertemanan itu diterima. Betapa bahagianya terungkap disaat memulai sebuah percakapan pertama dengan Fernita.
“Terima kasih udah di accept ”, Dharma membuka percakapan itu bersama Fernita
“Iyaa”, jawab singkat Fernita
“Apa benar ini temannya dari Rafael?”tanya kembali Dharma
“Iya..gimana?”
“Berarti gak salah orang”
“Iya...temennya sekolahnya Rafael ya?”
“Iya betul sekali”
“Salam kenal ya”
“Salam kenal juga”, Dharma membalas percakapan tersebut sembari membuka beberapa foto di galeri akun Fernita. 

Bukan lagi kemunafikan bahwasanya laki-laki untuk pertama kali meski bukan yang lebih utama melihat dari perempuan dari bentuk fisiknya. Memberikan pujian kepada Fernita sebatas rasa nyaman perkenalan melalui pandangan pertama yang Dharma kenal selama hidupnya. Rasa jujur perasaan itu terungkap mengalir begitu saja.

“Dik kamu cantik ya”, ucap Dharma tanpa rayuan menggiurkan.
“Perempuan”, kembali Fernita menjawabnya dengan singkat.
“Sedang apa sekarang?”
“Masih ngelembur di Kantor, meski hari sabtu tetap kerja karena pekerjaaan numpuk

Pertemanan dilanjutkan melalui percakapan singkat melalui massanger terasa ada kesesuaian kriteria antara keinginan Dharma kepada seorang perempuan. Beberapa bulan kemudian Fernita menceritakan mengenai kekasihnya yang cukup arogan. Sudah tidak tahan lagi kesabaran Fernita memuncak akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Dharma hanya sekedar mengetahui betapapun kegundahan Fernita betapa cukup menyisakan kesedihan.

Pertemanan melalui dunia maya kiranya sampai ada batasnya, keinginan itu dirasa oleh Dharma sekedar bermain ke rumah Fernita yang berada di Negeri Tembakau. Ada kesempatan yang tidak disepelekan begitu saja oleh Dharma, disaat ingin ke rumah Fernita teman sejawatnya pun turut membantu meluangkan waktunya.

“Jadi ke rumah mas?” tanya Fernita
“InsyaAllah jadi dek, ini lagi menuju ke sana, paling tidak nanti sore sampai”.
“Oh iya aku di rumah, nanti kalau sudah dekat rumah sms aja ya”
“Iya dek, nanti mas kabari”

Wardono teman lama yang sudah mengerti keadaan Dharma langsung menebak isi hati yang dirasakan Dharma. Setelah ke rumah Wardono kemudian Dharma bersamanya menuju ke rumah Fernita menjelang sore perjalanan itu ditempuh.

“Mau kemana sekarang Dhar?”tanya Wardono
“Aku ajak ke rumah temenku namanya Fernita”,
“Ohh, asyik tu calonmu Dhar?”
“Belum sih cuma sekedar teman, ini dikenalin oleh Rafael sudah 4 bulan yang lalu, ini mau maen ke rumahnya”
“Oh begiitu , okelah nanti kita ke sana”

Perjalanan hampir 2 jam berlalu dari rumah Wardono menuju ke Negeri Tembakau. Berbagai ejekan bernuansa guyon tertuju kepada Dharma atas pertemuan pertama bersama Fernita. Sore itu hujan menyambut diperjalanan menambah suasana syahdu diantara keramaian jalan pegunungan. Perasaan gembira bercampur dengan grogi melanda disaat hampir mendekati rumah Fernita. Namun suasana itu terpecah disaat  Fernita berada di depan rumah, betapa indah dan menyenangkan pertemuan ini, bagi Dharma.

“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”, jawab Fernita langsung menuju ke belakang. Saat itu pula Dharma diterima oleh ibunya Fernita. Tidak begitu lama Dharma memperkenalkan diri kepada ibu Fernita.
“Ibu saya temennya Fernita”
“Oya mas silakan duduk”
“Iyaa ibu terima kasih”

Dari arah belakang Fernita datang menuju ke ruang tamu menemui Dharma.

“Sudah sampai sini tho, gimana? sesuai dengan foto ku kan?”
“Iyaa sesuai kok”
“Dari rumah jam berapa mas?”
“ Kemaren sore sampai ke rumah Wardono semalam, biasa ngobrol bareng jarang ketemu sama dia”

“Oh ini temen satu sekolah juga bareng Rafael?”
“Iya betul dulu satu kosan kita makanya saking akrabnya, jarang ketemu mumpung ada waktu”

“Ohh iyaa...semacam kaya reunian ya kalian”
“Hhahaaha...iya begitulah kiranya”,  jawab Dharma.

“Kamu kalau berangkat ke kantor cukup jauh kah Nita?”
“Sekitar 15 menit kok mas gak terlalu jauh banget, hanya saja nanti aku pergi ke kota”

“Hmmm iya....”,Dharma sembari menikmati secangkir teh buatan Fernita.
“Alhamdulillah ya dek gak begitu jauh banget kamu dari rumah buat pergi ke kantor”

Obrolan semakin hangat bersama Fernita dan saling tukar pengalaman terhadap teman-teman Wardono yang mungkin ada yang saling mengenal diantara mereka. Sore berganti dengan senja maka pertemuan itu berakhir dengan sebuah perpisahan.

“Dek kok sudah mulai malam, aku tak pamitan dulu ya”
“Lha kok buru-buru mas?”
“Iyah soalnya sudah ditunggu oleh bus buat pulang”
“Oh begitu lha nanti yang anter kesana siapa?”

“Ini bareng sama Mas Wardono yang akan nganter kesana”
”Ya sudah hati-hati ya’
“Dek aku mau pamitan sama ibu”
“Bentar mas...aku panggilkan”, Fernita ke belakang menemui ibunya.

“Ibu...Saya mau pamitan dulu”
“Lha kok cepat-cepat nak?”
“Iya soalnya saya sudah ditunggu sama bus, ini sudah perjalanan menuju kota”
“Oh begitu...ya sudah kamu nanti hati-hati di jalan ya nak!”
“Iya bu terima kasih ya bu”

Dharma dan Wardono berpamitan kepada keluarga Fernita kemudian perjalanan dilanjutkan menuju kota sampai di pertigaan halte bus. Tak lama kemudian handphone Dharma berdering panggilan dari sopir bus.  Dharma segera memberitahu kepada Wardono bahwa dia harus segera berpamitan pulang.

“Don, aku pulang duluan ya...makasih banget atas semuanya”
“Oke sama-sama Dhar, InsyaAllah secepatnya kita ketemu”

Perpisahan itu pun terjadi saat Dharma melangkah masu ke bus menuju ke rumahnya. Diiringi gerimis disepanjang perjalanan, Dharma terasa bahagia bisa bertemu langsung dengan Fernita. Berbagai angan terus menggelayuti pikiran-pikiran Dharma hingga pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah pesan melalui aplikasi messanger berbunyi ternyata itu dari Fernita.
“Mas sudah sampai di rumah?”
“Iya dek alhamdulillah sudah sampai”. Jawab Dharma
“Makasih ya mas sudah maen ke rumah, nanti kalau ada waktu maen lagi ke sini”
“Oh iya dek InsyaAllah nanti maen lagi”

“Adek besok berangkat kerja kan?”
“Iya mas besok kerja seperti biasa”
“Ya udah adek sekarang buat istirahat saja”
“Iya, mas”

Hampir tiap minggu hubungan Dharma dengan Fernita berlanjut di atas massanger sungguh tidak ingin diharapkan bagi Dharma karena jarak bisa menjadi ujian pertemanan mereka. Andai saja jarak itu bukan menjadi halangan untuk berkomunikasi tentunya tidak harus mencari waktu yang tepat memisahkan waktu pekerjaan dan hari libur yang sama. Betapa sungguh tidak mungkin hal menyangkut pekerjaan berada dinomor sekian karena pekerjaan Dharma harus mengandalkan keberadaannya langsung dan tidak bisa diwakilkan. Tentunya ini menjadi kecewa yang sangat kecil terjadi di hati Dharma.

“Ya...Allah, jika itu menjadi kebaikan bagiku maka aku memohon mudahkanlah segala urusanku”

Berharap ada keajaiban yang terjadi disaat Dharma harus membicarakan lebih serius kepada ibunya. Disebuah kamar yang hening Dharma bersimpu menceritakan keadaan sebenarnya mengenai sesuatu yang disebut sebagai bentuk kewajaran sebagai manusia untuk berpasangan. Ibunya tersenyum memelas mendengar kabar itu mengisyaratkan betapa keseriusan itu ada bahwasanya langkahpun sudah mulai dijalankan atas sebuah usaha.

“Andaikan jarak itu menghadang, akankah ibu masih bisa merasakan perhatian darimu, Nak?”

Disaat Dharma mendengar ucapan dari mulut ibunya, seketika itu Dharma langsung diam seribu bahasa karena secara tersirat Dharma telah mengerti maksud yang diutarakan. Mulutnya kaku tidak bisa mengatakan sesuatu, kepalanya tertunduk  menikmati kesedian yang cukup mendalam karena jawban itu. Rasa diam itu pun tidak nampak dihadapan Ibunya. Tangan ibunya membelai kepala Dharma seakan memberikan kekuatan mental baginya. Tetap berdoa saja agar keadaan semuanya biar baik-baik saja.

Rasa pilu mendera disetiap malam saat tetap berkomunikasi dengan Fernita. Keinginan itu terasa bertolak belakang dengan kejadian yang ada. Kegagalan terus menghadang diantara langkah yang dilaluinya.

Perasaan masih tersimpan rapi dalam ruang yang sama, berharap agar Tuhan memberikan jalan keluar diantara rasa beda antara harapan dan kenyataan. Meski terlalu dini untuk bisa saling menguatkan rasa itu telah terjalin disaat pandangan pertama itu jatuh bersemi dalam ruang hati yang amat dalam. Terasa sangat berlebihan terus berujar yang membuaiakan angan, memang harus  Dharma sadari bahwa perasaan mengapa ada jika itu menyisakan rasa kesedihan.

Waktu pun berbicara di bulan awal pergantian tahun, Dharma menyadari keinginan perempuan adalah kepastian dari seorang laki-laki. Dharma pun hanya bisa berserah menyerahkan segala perasaan. Selama ini Dharma belum sepenuhnya memberikan kebahagiaan kepada Ferina. Tidaklah berarti keberadaan Dharma bagi kehidupan Ferina. Pengakuan terberat disaat Dharma harus bertahan disaat pesan massanger itu dari Fernita,

“Jangan pernah lagi memanggil aku berlebihan”


Perasaan Dharma langsung memberikan simpulan bahwa sekarang sudah ada laki-laki lain yang akan senantiasa menjaganya dan ternyata itu benar adanya.

foto :google.galih sedayu