Sebuah
narasi hidup yang tidak menampakan belas kasihan orang lain, justru memberikan
inspirasi makna ketekunan, ketelatenan dan juga kerja keras dalam menjemput
rezeki berupa nafkah kepada keluarga.
Seorang laki-laki tua sedang duduk di
pinggir jalan perempatan Pasar Doro
Kabupaten Pekalongan menunggu adonan terigu yang sedang dimasaknya. Mbah Adem beliau sering disebutnya, laki-laki
berasal dari kampung Dororejo yang mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang
kue bandhos dengan bahan dasar terigu berserta parutan kelapa. Diusianya yang
sudah mencapai 72 tahun beliau masih tetap bersemangat giat bekerja. Perempatan
Pasar Doro merupakan tempat strategis aktifitas lalu lalang perekonomian. Baginya
spot perempatan tersebut dipilihnya agar kue bandhos dapat mudah dijumpai calon
pembelinya.
Menekuni usaha dagang kue bandhos
bukan hal sepele atau mudah dilakukan. Tidak hanya bermodal alat dan bahan
pembuat kue untuk bisa eksis hingga sekarang. Hal yang paling utama adalah kesabaran,
telaten dan semangat berdagang yang tiada hentinya. Sangat mengagumkan pada
tahun 1977, Mbah Adem merintis usahanya di sebuah kota di Jawa Timur yaitu Wonokromo. Pengalaman kerja yang tidak
singkat, 38 tahun masih setia berdagang kue bandhos hingga sekarang. Selama
kurun waktu bertahun-tahun Mbah Adem bermukim disana, terkadang rasa kangen
keluarga pasti ada. Apabila keadaan sudah memungkinkan kembali ke Pekalongan
tentunya akan pulang dengan membawa bekal nafkah kepada keluarganya. Faktor
usialah yang mengharuskannya beliau pulang kampung dan melanjutkan dagangnya
keliling dekat rumahnya.
Mbah Adem berusaha ramah disaat
melayani pembeli dan suka bercanda. Meski senyumnya yang tak lagi terlihat
giginya, namun kedamaian hidup terpancar dalam raut wajahnya. Serasa hidup dibuat
senang meski beban terkadang menghimpit hidupnya. Sebuah prinsip hidup yang
memang harus dijalani ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT.
Tersenyum adalah cara Mbah Adem yang
tidak ingin terlalu membebani hidupnya. Beliau menekankan prinsip meringankan
semua permasalahan, berusaha tersenyum agar penat pikiran dan hati tidak
melanda. Ujian hidup berupa waktu luang ataupun sempit, disaat ramai atau sepi
pembeli dan pelajaran hidup lainnya, sesuai dengan ucapannya, “Urip kuwi kudu dijalani, gari manut kaleh
Gusti Allah”, sebuah saran dari Mbah Adem disela-sela candanya. Meski
sangat sederhana dan dikemas dalam suasana bercanda maksud dari perkataan Mbah
Adem diantaranya tentang hidup tetap semangat dan terus menyadari agar tetap
mematuhi sesuatu yang digariskan oleh Allah SWT.
Saat ditanya tentang libur berdagang,
beliau menjawab. “Libur kulo dinten
Jemuah, ben biso Jumatan” ucap Mbah Adem sembari meniriskan kue bandhos
yang sudah matang. Nuansa religi Mbah Adem tersirat atas penghormatan hari
Jum’at sebagai hari raya agamanya. Kegiatan hari Jum’at meskipun tidak
berdagang Mbah Adem masih mengurusi ladang kecil dekat rumahnya. Selain itu
terkadang beliau masih mengurusi sawah tinggalan orang tuanya. Diusianya yang
bisa dikatakan tua, secara fisik tentunya masih mampu dalam batasan ringan.
Menghargai waktu baginya sebuah ketelatenan terhadap apapun yang beliau bisa
lakukan, selama itu masih mampu.
Orang lain melihatnya Mbah Adem dengan
rasa haru yang mendalam atas usia yang tak lagi muda masih tetap mencari
nafkah. Namun, itu menjadi kemuliaan baginya karena selama nafas berjalan
prinsip hidupnya tak pernah padam. Beliau tidak ingin mengandalkan pemberian
dari anak-anaknya. Mengenai harapan, dia hanya pasrah menjalani hidup dan
berusaha dalam langkah kaki membawa dua kotak yang berisi kompor masak dan
tempat penyajian kue bandhos. Pembeli yang bisa membaca keadaan terkadang akan
merasa malu atas semangatnya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
barokah hidup kepadanya.
Doro, 26 November 2016
No comments:
Post a Comment