Semilir desiran angin menghempas
dedaunan rimba disamping teras seberang bukit sekumpulan burung menari
mengepakkan sayap lantas berkicau. Kepada dunia terus memberikan kabar suatu saat
akan dibuatkan kumpulan anyaman serabut berbentuk seperti gedung kebanggaan
bersama. Kicauan terus berkumandang sampai hilir pedalaman seraya menjadi
kewajiban mengumpulkan serabut agar tujuan tersebut terlaksana.
Dharma yang sedang asyik melukis
panorama keanehan dalam diri tiap manusia tersentak mendengar kicuan dari timur
serasa terus memberi kabar. Lalu dibiarkan suara itu gaduh menggelegar serasa
tak terjadi apa-apa. Pagi hingga petang menjelang malam keanehan kicuan
dibiarkan. Namun, semakin hari terus berkicau menekan, terdengar suara ambigu
bergemuruh sampai tak bertuan kejelasannya. Dharma bertanya kepada burung yang berada
didekatnya,
“Lalu kenapa engkau menyuruhku untuk
mengumpulkan serabut untuk membuat gedung?”, dengan penuh damai Dharma
berbicara kepada burung. Lalu burung itu seakan tak mengerti apa yang
sebenarnya terjadi dari sesama burung dibalik bukit timur. Burung itu kemudian
menjawab, “Akh….Saya hanya penerus kicauan yang dipergunakan untuk kepentingan
bersama”. Dharma semakin tidak mengerti maksud jawaban tersebut. Secangkir teh
diseduhnya agar percakapan Dharma agar terasa lebih lama, “Hai burung bukan masalah
tentang serabut yang dibutuhkan melainkan cara meminta serabut agar cukup untuk
membuat gedung”, sanggah Dharma sembari meneguk kembali teh dihadapannya.
Geliat burung kembali menunjukkan
ketidaktahuannya, semakin memelas melihat ada benarnya saat Dharma memberikan
argumennya, lalu burung kembali bersuara, “Sangat benar apa yang dikatakan
Engkau wahai Dharma, semua atas perintah pengumpulan serabut itu bisa
mendatangkan kecurigaan antar sesama pelukis alam, sementara mereka tidak
mengetahui sampai berapakah serabut yang dibutuhkan dan akan dibentuk seperti
apa gedung itu akan dibuat”, jawab burung seakan ia menyetujui pendapat Dharma.
Dharma menimpali pernyataan disela
pembicaraan tersebut, “Seharusnnya burung disaat berkicau dirasa bisa menampilkan
sisi keindahan dan keharmonisan diantara pelukis-pelukis yang tidak sama baik
derajat maupun pangkatnya disisi kerajaan. Semua akan berjalan dengan berkesinambungan
apabila seluruh pelukis mempunyai kesamaan, namun perbedaan formalitas kerajaan
menjadi hal yang beda dalam memberikan serabut meskipun hanya 5 untaian serabut
bagi mereka yang dibilang mampu karena berbagai tunjangan dari kerajaan”.
Burung kembali berujar, “Lho kok merasa berat bukannya itu bisa
diberikan tiap serabut biar saya sampaikan maha burung dibalik bukit?” tanya
burung kepada Dharma. “Iyah permasalahannya yang pertama bukan bukan ikhlas
atau pun tidak, bukan mau atau tidak mau, selama ini burung dibalik bukit tidak
mengetahui secara jelas kemampuan dan kemauan pelukis yang katanya sudah tanpa
dibedakan diantara pelukis dari kerajaan. Baik secara peraturan tetap ada
kebijakan namun secara faktual peran burung tidak akan bisa berkutat melawan
birokrasi rimba yang sudah dinaungi pelukis didalamnya. Lalu sekarang burung
dibalik bukit akan meminta serabut dengan cara yang penuh pertanyaan.
Sepertinya pelukis sudah dianggap sebagai perwujudan kemakmuran bersama yang
bisa memberikan sesuatu yang lebih, sepertinya harus menjadi cerminan dari
kinerja masing-masing”, Dharma semakin kritis memberikan jawaban atas kicauan burung
didekatnya.
Dipertemukan keadaan Dharma dan burung
dihadapnya kembali berdiam, menatap
hampa satu sama lain menjadi kesamaan. Mereka dengan penuh tanya tentang
fenomena serabut yang menjadi target tujuan fisik bukan target tujuan prinsipil
guna menyetarakan antara diantara pelukis-pelukis. Seakan mereka sudah bebas
dari tujuan utamanya. Rasa lupa itu terlalu mendasar tidak mengetahui apa yang
menjadi keinginan pelukis yang tidak diakui dibawah kerajaan cinta, yang kita huni
bersama.
foto : google
No comments:
Post a Comment