Wednesday, 26 October 2016

"Jago Melu Babon" Megono Pincuk

Dharma masih menunggu Angger yang masih membeli nasi megono di Lek Siru seberang kanan jembatan. Yatmi yang masih nyuci pakaian disamping rumah terus saja menikmati pagi. Dharma kala itu memang masih merasakan capeknya berdagang agaknya malas beranjak dari kursi panjang di teras rumah.

“Angger…kok ndak keliatan? dimana Mbok?”, tanya Dharma kepada istrinya Yatmi.
“Masih tak suruh buat belikan sarapan megono di Lek Siru”,
“Apa sudah sekalian suruh beli tempe goreng dan bakwan kesukaanku Mbok?”, tanya kembali Dharma.
“Iya Pakne...sekalian tak suruh belikan tapi ya jangan berharap cepet sampai, wong sudah siang sekarang, mesti yang beli juga banyak”,

“Ya Mbok,..ora popo yang penting bisa sarapan”.
“Lho…kenapa Mbok nyuci pagi-pagi, biasanya nunggu nanti jam 9?”, Dharma sembari melihat Yatmi di samping rumah.
“Lha kalau nanti siang waktunya udah ndak nyukup buat kegiatan lain”.
“Terus nanti siang mau kemana?”
“Nanti siang mau kondangan Lek Warti yang sedang mantu”.

“Ohh…Lek Warti mantu? Anak yang ke berapa?”
“Anak yang bungsu sendiri’.
“Lek Warti masih saudaramu kan ya, Mbok?”
“Iya…masih ada saudara dari mbahnya”, jawab Yatmi sembari meneruskan cuciannya.
“Dapat mantu orang mana Mbok?”
“Katanya sih…teman sekuliahnya dulu”,
“Ohh…paling nanti ikut ke sini mantunya”
“Kok Pakne bilang gitu?”tanya Yatmi sembari memeras pakaian.
“Lha memang benar tho ya… !”
“Rata-rata masyarakat Pekalongan khususnya perempuan enggan tinggal serumah dengan keluarga laki-lakinya”, sembari melengos Dharma meragukan keadaan  mereka

“Hussshh…apa sih Pakne”,
“Kok tau banget masalah begitu”
Yatmi memberi peringatan kecil kepada Dharma

“Lha iyaa… coba tengok tetangga kita ini banyak laki-laki yang ikut dengan keluarga istrinya”
“Meskipun nantinya akan misah tidak satu rumah dengan mertuanya”                   
“Sepertinya perempuan di Pekalongan belum siap mengalami gejolak berumah tangga dengan orang tua suaminya”,
“Kalaupun ada perempuan yang mampu hidup bareng mertuanya, berarti memang tangguh secara mental dan itu terasa berat”, Yatmi terdiam sejenak seakan melebur dalam pembicaraan yang menarik.


“Ya bukannya begitu Pakne biasanya ada penyebab lain kan yang menjadi alasan perempuan sini lebih memilih menetap dengan orang tuanya. Mungkin kalau tinggal serumah dengan keluarga laki-lakinya masih merasa risih karena saking banyaknya anggota keluarga”,

“Tapi terlepas dari semua itu Mbok rata-rata laki-laki Pekalongan juga memaklumi adanya. Serasa tidak ada pilihan lain untuk tinggal satu atap bersama keluarga dari istrinya”.
“Yaa…benar ya Pakne…tapi biarlah memang kenyataannya begitu disini”,
“Ya biarlah lha wong kita juga gak mau ikut campur masalahnya mereka kok”,
“Hanya saja Aku bicara sendiri denganmu Mbok..”
“Laki-laki asal Pekalongan lebih bisa legowo dengan pasangannya disaat mereka benar-benar belum bisa berpisah dari keluarganya”,
“Iya Pakne… Nyatanya satu gang saja memang sebagian besar suaminya yang pendatang”.

“Kok sampe segitunya Pakne mikirin kebiasaan masyarakat Pekalongan?”
“Ya pengen ngitung aja kemampuan mental perempuan ngadepi persoalan rumah tangganya”.
“Terus kesimpulannya apa Pakne?
“Kok tanya kesimpulan?memang Aku ceramahi kamu Mbok?”
“Ya aku kira begitu”.

“Dari omongan tadi Mbok bisa ambil kebaikan dari kebiasaan masyarakat Pekalongan ndak?”, tanya Dharma
“Ada sih jadi perempuan harus lebih mandiri bisa membiasakan dan menyabarkan polah tingkah keluarga dari suami, meski idealnya harus hidup mandiri”.
“Lha itu bisa Mbok…nyimpulin masalah hidup?”
“Halah Pakne…Aku gini karena laper bisa mikir kalau udah kenyang hawanya ngantuk”.
“Berarti pagi ini untung ya Mbok belum makan, otakmu juga belajar mandiri”
“Hehehe…”

Sembari senyum-senyum Dharma masuk rumah sementara Yatmi masih melanjutkan nyucinya di samping rumah.
 foto: google

No comments:

Post a Comment