Dharma masih menunggu Angger
yang masih membeli nasi megono di Lek Siru seberang kanan jembatan. Yatmi yang
masih nyuci pakaian disamping rumah terus saja menikmati pagi. Dharma kala itu
memang masih merasakan capeknya berdagang agaknya malas beranjak dari kursi
panjang di teras rumah.
“Angger…kok ndak keliatan?
dimana Mbok?”, tanya Dharma kepada istrinya Yatmi.
“Masih tak suruh buat belikan
sarapan megono di Lek Siru”,
“Apa sudah sekalian suruh beli
tempe goreng dan bakwan kesukaanku Mbok?”, tanya kembali Dharma.
“Iya Pakne...sekalian tak suruh
belikan tapi ya jangan berharap cepet sampai, wong sudah siang sekarang, mesti
yang beli juga banyak”,
“Ya Mbok,..ora popo yang
penting bisa sarapan”.
“Lho…kenapa Mbok nyuci
pagi-pagi, biasanya nunggu nanti jam 9?”, Dharma sembari melihat Yatmi di
samping rumah.
“Lha kalau nanti siang waktunya
udah ndak
nyukup buat kegiatan lain”.
“Terus nanti siang mau kemana?”
“Nanti siang mau kondangan Lek
Warti yang sedang mantu”.
“Ohh…Lek Warti mantu? Anak yang
ke berapa?”
“Anak yang bungsu sendiri’.
“Lek Warti masih saudaramu kan
ya, Mbok?”
“Iya…masih ada saudara dari
mbahnya”, jawab Yatmi sembari meneruskan cuciannya.
“Dapat mantu orang mana Mbok?”
“Katanya sih…teman sekuliahnya
dulu”,
“Ohh…paling nanti ikut ke sini
mantunya”
“Kok Pakne bilang gitu?”tanya
Yatmi sembari memeras pakaian.
“Lha memang benar tho ya… !”
“Rata-rata masyarakat
Pekalongan khususnya perempuan enggan tinggal serumah dengan keluarga
laki-lakinya”, sembari melengos Dharma meragukan keadaan mereka
“Hussshh…apa sih Pakne”,
“Kok tau banget masalah begitu”
Yatmi memberi peringatan kecil
kepada Dharma
“Lha iyaa… coba tengok tetangga
kita ini banyak laki-laki yang ikut dengan keluarga istrinya”
“Meskipun nantinya akan misah
tidak satu rumah dengan mertuanya”
“Sepertinya perempuan di
Pekalongan belum siap mengalami gejolak berumah tangga dengan orang tua
suaminya”,
“Kalaupun ada perempuan yang
mampu hidup bareng mertuanya, berarti memang tangguh secara mental dan itu
terasa berat”, Yatmi terdiam sejenak seakan melebur dalam pembicaraan yang
menarik.
“Ya bukannya begitu Pakne
biasanya ada penyebab lain kan yang menjadi alasan perempuan sini lebih memilih
menetap dengan orang tuanya. Mungkin kalau tinggal serumah dengan keluarga
laki-lakinya masih merasa risih karena saking banyaknya anggota keluarga”,
“Tapi terlepas dari semua itu
Mbok rata-rata laki-laki Pekalongan juga memaklumi adanya. Serasa tidak ada
pilihan lain untuk tinggal satu atap bersama keluarga dari istrinya”.
“Yaa…benar ya Pakne…tapi
biarlah memang kenyataannya begitu disini”,
“Ya biarlah lha wong kita juga
gak mau ikut campur masalahnya mereka kok”,
“Hanya saja Aku bicara sendiri
denganmu Mbok..”
“Laki-laki asal Pekalongan
lebih bisa legowo dengan pasangannya disaat mereka benar-benar belum bisa
berpisah dari keluarganya”,
“Iya Pakne… Nyatanya satu gang
saja memang sebagian besar suaminya yang pendatang”.
“Kok sampe segitunya Pakne
mikirin kebiasaan masyarakat Pekalongan?”
“Ya pengen ngitung aja
kemampuan mental perempuan ngadepi persoalan rumah tangganya”.
“Terus kesimpulannya apa Pakne?
“Kok tanya kesimpulan?memang
Aku ceramahi kamu Mbok?”
“Ya aku kira begitu”.
“Dari omongan tadi Mbok bisa
ambil kebaikan dari kebiasaan masyarakat Pekalongan ndak?”, tanya Dharma
“Ada sih jadi perempuan harus
lebih mandiri bisa membiasakan dan menyabarkan polah tingkah keluarga dari
suami, meski idealnya harus hidup mandiri”.
“Lha itu bisa Mbok…nyimpulin masalah
hidup?”
“Halah Pakne…Aku gini karena
laper bisa mikir kalau udah kenyang hawanya ngantuk”.
“Berarti pagi ini untung ya
Mbok belum makan, otakmu juga belajar mandiri”
“Hehehe…”
Sembari senyum-senyum Dharma
masuk rumah sementara Yatmi masih melanjutkan nyucinya di samping rumah.
foto: google
No comments:
Post a Comment