Malam penuh kehangatan diantara rasa
kantuk ada rasa kerinduan menulis sesuatu, tentang kopi dihadapan masyarakat.
Menjamurnya penjaja warung kopi disekitaran Pekalongan memberikan tanda sebuah
tradisi “ngopi” semakin menunjukkan eksistensinya.
Penataan lampu led agak remang nuansa artistik ala “cafe” memberikan nilai plus dalam segi penataan kios meskipun
berada dipinggir trotoar.
Prolog mengenai dasar judul kali ini Saya
tidak akan membahas lebih dalam tentang minuman yang bernama kopi. Melainkan
penggunaan kata kopi mempunya homonim dengan kata dari istilah bahasa inggris
yaitu “copy” yang berarti salin atau
menggandakan. Sering kita mendengar disaat berhubungan dengan alat yang berupa
software digital baik komputer atau perangkat lainnya misalnya smartphone istilah “copy” sering digunakan. Adapun pasangannya sebagai eksekusi dari
tindakan tersebut yaitu paste atau tempel. Dua kata selalu beriringan serasa
sebuah tindakan sebab akibat yang tak dapat dipisahkan.
Istilah “copy paste” atau Saya lebih enak menyebutnya kopi tempel sangat
memudahkan dalam menyalin data. Kelebihan diantaranya yaitu tidak ada
kekurangan apapun, bisa dikatakan hasil dari kopi tempel mempunyai keakurataan
data 100% dari data asli yang disajikan. Merambah hal lain berbasis informasi
media online yang berkembang melalui status jejaring sosial seperti facebook,
twitter dan lain sebagainya. Semakin hari terus merasuk ditiap detik informasi
tersebut seakan mengudara bagi yang mengikuti atau menerimanya dalam bentuk
sebuah tautan.
Kemajuan aplikasi pengunggah tulisan
turut memberikan andil kepada pengguna internet memvisualisasikan ide dan
pemikirannya. Sifat tersebut masih dalam batas netral artinya bisa digunakan
sebagaimana mestinya dalam ranah hal positif akan melahirkan ajakan kebaikan
seperti memotivasi pembaca ataupun memberikan pengetahuan baru lainnya. Saya
pun menyayangkan masih banyak penyalahgunaakan karya berupa tulisan sebagai
alat pemprovokasi keadaan tatkala terjadi masalah atau acara rutin pemilu baik
presiden maupun daerah.
Resolusi masalah yang diungkapkan ke
media belum menjamin kedalaman serta kejelian baik isi maupun referensi. Hal ini dapat berakibat apabila menjadi
sesuatu acuan orang lain yang hanya meng-“kopi tempel” sekaligus disebarluaskan
akan berakibat sebagai informasi yang tidak bertanggung jawab secara moral
bahkan berpotensi menjadi provokasi keadaan.
Menurut Saya langkah yang patut
dilalui bagi pengguna internet baik berupa media sosial ataupun sejenisnya
dapat memberikan filter yang berhubungan dengan informasi yang berkembang.
Kategori pemfilteran masalah dilihat dari berbagai cara diantaranya melakukan
pengecekan terhadap akun pembawa berita baik secara isi ataupun tendensi sebuah
media elektronik, commond sense yaitu
menanyakan manfaat atau kemungkinan negatif yang akan terjadi, sebelum menyebarkan
berita kepada orang lain dan terakhir mencoba membuat berita melalui aplikasi
pengunggah tulisan berisi tentang
sesuatu disekitar kita yang bisa diberikan manfaatnya kepada orang lain.
Memberikan informasi bukan semata-mata
seperti wartawan yang benar-benar bekerja dengan spesifikasi pengalaman bidang
jurnalistik. Sebenarnya sangat mudah, dimulai dari sebuah hobi yang sekarang
masih ditekuni. Bagi seseorang yang hobi memasak, selain masih tetap
tersalurkan dan tidak hanya sampai dalam membuat makanan, akan lebih baik
apabila pengalaman tersebut dibuat dalam bentuk catatan pengalaman pribadi.
Melalui media sosial pengalaman tersebut dibagikan dengan keasilan isi maupun
kejernihan berita dari pengalamannya sendiri.
Contoh lain bagi seseorang yang mempunyai
hobi travelling setiap destinasi yang
dijumpainya tentunya mempunyai kesan yang dirasakan sendiri. Saya amati ada
kecenderungan khususnya bagi penghobi kegiatan ini lebih mementingkan pengakuan
publik melalui visualisasi foto yang lebih mudah dilakukan. Hanya bermodal
kamera melalui smart phone atau
sejenisnya kemudian mengunggahnya serasa sudah mendapatkan pengakuan dari orang
lain yang belum tentu bisa melakukannya.
Pada dasarnya pengalaman positif bukan
hanya sebatas pengakuan kemampuan individu melainkan sensitifitas dalam melihat
sesuatu yang disekitarnya untuk dapat bermanfaat orang lain. Hal itu yang
menjadi tujuan dari media sosial, misalkan facebook dalam kolom status
dituliskan “Apa yang Anda pikirkan?”, secara buku panduan aplikasi menerangkan
bahwa facebook sudah mengarahkan ketujuan netralitas bagi penggunanya. Pengguna
akan diberi kebebasan dalam memberikan pemikiran yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Keseluruhan dari yang diberikan kepada
orang lain hasilnya dapat diketahui kemampuan baik cara berfikir, tingkat
emosional, resolusi pandang sebuah masalah dari pengguna akun akan bergantung
dari status yang diunggahnya. Adanya
kemadirian dalam berfikir, kejernihan dalam memberikan sesuatu akan mengajarkan
nilai-nilai edukasi kepada masyarakat tentang nilai tanggung jawab di era informasi
yang serba elektronik.
Keprihatinan Saya sudah sangat miris
terhadap informasi yang beredar khususnya melalui facebook. Tingkat kesalahan
dari informasi bahkan tidak ada artinya semua menganggap benar dan orang lain
harus mengakui kebenaran informasi yang ada. Akhirnya setiap orang mempunyai
perspektif informasi yang saling membenarkan tanpa didahului dengan kedewasaan
menyikapi perbedaan. Layaknya kopi tempel yang selalu diminum dan diberitakan
kepada orang lain melalui media sosial.
foto:google
No comments:
Post a Comment